6

1201 Kata
"Terserah," jawab Igo begitu dingin dan terdengar angat ketus. Igo berdiri dan berjalan masuk ke dalam menuju kamarnya. Meira menatap Igo dengan bingung. Aneh sekali lelaki itu. Di panggil Om gak mau. Di tanya mau di panggil apa, malah bilang terserah. "Dasar Mas Bulu!" teriak Meira keras dengan sangat kesal. Igo yang masih bisa mendengar teriakan Meira yang terdengar sangat keal itu malah mengulum senyum. Ia senang karena sudah membuat Meira kesal malam ini. Rencananya tidak gagal sepenuhnya. Tapi, Igo perlu rencana kedua untuk bisa mengambil hati Meira. Meira tetap berada di Saung itu. Ia menyeruput kopi s**u yang masih panas buatan Bu Ismi. Raanya tenang sekali. Nyaman sekali berada di taman ini. Suara gemericik air mancur yang ada di belakang Saung mengairi kolam yang ada di bawah Saung. Kaki Meira sengaja turun ke kolam dan memainkan airnya. *** Pagi ini, seperti biasa, Meira terbangun saat matahari mulai muncul di ufuk timur. Meira segera turun dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Tidak perlu waktu yang lama, Meira udah berdiri di depan cermin untuk mematut dirinya. Semoga hari ini lebih baik dari hari kemarin. Seperti itulah doanya di dalam hati. Sore ini, ia akan bertemu dengan sahabatnya. Padahal baru beberapa bulan tidak bertemu. Kebetulan, Melia memiliki acara keluarga dan bisa meluangkan waktu sebentar saja, walau hanya nongkrong di sebuah kafe seperti yang dulu sering mereka lakukan. Meira menyantolkan tas hitam di pundaknya. Ia keluar kamar dan berjalan menuju ruang makan. Seperti udah menjadi kebiasaan ia selalu ke tempat itu setiap jam makan tiba. Dan, sepertti biasa, Igo sudah duduk di kursi yang sama seperti tadi malam. Ia hanya memakai piyama tidur dengan bagian dad4 terbuka. Lihat saja, bulu dad4nya mmebuat Meira menelan air liurnya. Biar bagaimana pun, Meira pernah merasakan sentuhan dan kecupan lelaki itu. Walaupun itu hanay sebuah kekhilafan. Merasa ada yang datang, Igo pun mengangkat wajahnya menatap Meira yang terdiam di ambang lorong ruang makan. Ia hanya melirik sekila tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir tebal lelaki itu. Meira merasa canggung dan tak pantas berada di sana. Ia berbalik dan ingin pergi ke kantor saja. Ia bia membeli sarapan di Kantor. Walaupun hanya membeli sepotong roti sobek yang paling murah dan air mineral. "Kamu gak mau sarapan?" tanya Igo denagn suara lantang. Meira ragu ingin berbalik lagi. Seharusnya ia tadi menyapa Igo. Begini nih, kalau terlalu terbawa suasana. Anggap saja, apa yang terjadi malam itu sama sekali tidak pernah terjadi. Dengan sangat terpaksa sekali, Meira menoleh dan tersenyum lebar. Meira haru menurunkan egonya. "Makan sini," ucap Igo sambil menunjukkan roti tawar dengan toping cokelat di dalamnya. "Iya ..." jawab Meira mau -malu. Meira segera berjalan ke kursi makan dan menariknya dan duduk dengan tenang. Perutnya benar -benar lapar sekali. Mungkin ia jadi terbiasa sarapan pagi. Igo memberikan satu piring makan berisi dua tangkup roti dengan selai cokelat di dalamnya. Kedua mata Meira menatap piring yang udah ada di depannya denagn kopi s**u yang ada di samping tangannya. Di meja itu tidak ada makanan lain selain roti dengan berjajar selai. Tidak ada nasi atau apapun seperti biasanya. "Bu Ismi tidak masak?" tanya Meira spontan. Igo menggelengkan kepalanya ambil menggigit satu tangkup roti yang ada di tangannya. "Enggak. Kenapa? Kamu gak suka roti?" tanya Igo dengan lembut. Tatapannya penuh kekhawatiran. "Eumm ... Suka kok. Cuma nanya aja," jawab Meira dengan gugup dan terbata. Meira menyeruput kopi s**u yang rasanya berbeda dengan kopi s**u yang kemarin atau semalam ia minum. Ini rasanya lebih pas dan susunya tidak buat eneg. Kalau yang kemarin terasa s**u kental manisnya. "Hmmm ... Enak banget. Rasanya beda," ucap Meira spontan memuji kopi s**u yang sedang di minumnya. "Kamu suka?" tanya Igo serius. "Hu um ... Sangat suka sekali," jawab Meira dengan wajah berseri. Moodnya langung berubah bahagia hanya karena segelas kopi s**u. Roti yang ada di piring pun mulai Meira ambil dan ia gigit. Rasanya semakin menyatu di dalam lidah. Mirip seperti roti cokelat yang di jual di mall -mall ternama. "Enak?" tanya Igo dengan senyum tersembunyi. Meira mengangguk pasti, "Hu um ... Ini rotinya enak banget." Meira memuji lagi dan itu membuat Igo sangat bahagia. "Habiskan kalau gitu," titah Igo pada Meira. "Iya," jawabnya pelan dan kembali menikmati roti selai cokelat dan kopi s**u. Sungguh perpaduan arapan yang enak sekali. "Bu Ismi tidak ada. Beliau ijin untuk pulang kampung, katanya ada urusan penting yang tidak bisa di tinggalkan. Begitu juga tukang kebun kita yang ikut mengambil cuti panjang," jelas Igo pada Meira ambil mengunyah roti yang sama seperti milik Meira. "Ohh begitu. Memang ada acara apa? Kok, Mas tahu? Ehmmm ... But the way, aku panggilnya Mas aja ya. Kan ga boleh panggil Om," jelas Meira ambil menyeruput kopinya. Ia menelan kunyahan roti yang belum halus secara paksa tadi. Jadi perlu dorongan kopi s**u biar mauk emua ke dalam tenggorokan. Igo mengangguk senang mendengar panggilan Meira yang menurutnya sangat pas dan terdengar mesra. Sebelumnya, Igo tidak pernah mendengar panggilan ini. Ia terbiasa dengan panggilan, babe, darling, honey, sayang. Dan itu nampak sangat biasa sekali. "Terima kasih atas pilihan panggilannya," jelas Igo lagi dengan senyum bahagia yang tidak bisa di tutupi. "Sama -sama. Katanya mau cari kerja? Kamu kan tampan, mungkin bisa kerja di Kantor aku. Mau ikut? Atau mau titip lamaran? Biar aku titip ke bagian HRD," tawar Meira pada Igo. "Ikut kamu?" tanya Igo agak panik sekaligus meraa itu ide sangat baik. "Iya. Ikut aku ke kantor. Mungkin mereka buuh karyawan dadakan gitu. Bisa jadi kan? Kantornay gede banget dan karyawannya sangat banyak," jelas Meira menghabiskan potongan terakhir roti cokelatnya. "Boleh juga. Ide bagus. Kamu tunggu dulu, ya? Aku mau ganti baju," ucap Igo bergegas berdiri dan melesat jalan cepat menuju kamarnya. Meira belum sempat menjawab, lelaki itu sudah pergi begitu saja. Meira merapikan meja makan dan mencuci dua piring serta du cangkir kopi. Dapur bersih itu memang sangat sepi dan sunyi jika Bu Ismi tidak ada di sana. Meira membuka kulkas yang penuh dengan makanan dan bahan sayuran untuk masak. Sayangnya, Meira tidak pandai memasak. Ia juga melihat ke arah rak makanan yang di penuhi dengan beberapa cemilan utuh dan sangat lengkap sekali. Meira mengambil satu cemilan yang ia genggam di tangan lalu ia keluar menunggu Igo di teras. Igo sudah selesai mandi dan sedang bersiap. Tidak lupa ia menelepon beberapa orang penting yang menurutnay bia di percaya. "Oke. Ya, itu mau ku." Tatapannay lekat pada cermin dan terenyum tipis sekali. Rasanya senyuman itu adalah senyum penuh kemenangan. Igo dan Meira pun berangkat ke Kantor Setya Group berdua dengan menggunakan taksi online. Mobil Igo aman di dalam garai dan tidak akan ia keluakan sampai saatnya tiba nanti. Igo tidak membawa apapun. "Kamu gak bawa surat lamaran kerja?" tanya Meira yang baru sadar saat melihat Igo yang hanya menatap ke arah luar jendela mobil itu melihat pemandangan indah di luar. Igo menoelh ke arah Meira dan menggelengkan kepalanya pelan. "Untuk apa?" tanya Igo polos. "Ya ampun, Mas. Surat lamaran kerja yang buat melamar kerjaan dong. Mereka mau lihat apa kalau Mas gak bawa apa -apa," jelas Meira mengelus dad4. Meira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kenapa ia bisa teledor banget. Ini sudah mau sampai di Kantor. Tidak mungkin kembali lagi ke Griya. Akan memakan waktu lama. Bisa -bisa Meira terlambat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN