Nayla terduduk lemas di halte busway, setelah pelariannya dari hotel. Napasnya terengah-engah, keringat bercucuran di dahi dan air mata yang membekas di pipi. Ya, sepanjang pelariannya tadi, Nayla terus menangis, meratapi kemalangan yang baru saja menimpanya dan ini semua gara-gara si ular Laura!
Laura sialan!
Kedua tangan Nayla mencengkram kuat tepian bangku halte, emosinya kembali meradang. Harusnya Nayla sadar dari awal, mana mungkin seorang Laura yang terkenal licik akan memberinya uang sepuluh juta hanya untuk pekerjaan sepele. Memberikan berkas ke pak Broto! Sungguh tidak masuk akal, tapi bodohnya Nayla semalam terlalu percaya dan sialnya ia masuk perangkap Laura.
Semua itu karena ia sangat butuh uang sepuluh juta untuk biaya operasi adiknya. Ngomong-ngomong gimana sama Malika, apa operasinya sudah dilakukan? Nayla teringat dengan adiknya yang tengah dirawat di rumah sakit, ia pun segera menghubungi nomor ibunya. Beruntung panggilan Nayla langsung diangkat, meski sambutannya tidak mengenakkan.
"Ke mana saja kamu, Nayla! Kenapa kamu nggak datang ke rumah sakit! Kamu pasti lagi enak-enakan tidur di rumah, 'kan? Tega kamu sama ibu sendiri, semalaman ibu harus begadang dengan perut kosong!"
Nayla menghela napas, berusaha tidak terpancing amarah karena ucapan ibunya. "Maaf Bu, Nayla semalam cari uang sampingan buat biaya operasi Malika. Gimana operasinya, berjalan lancar kan?"
Sepertinya ibu Nayla pun tersadar, kalau ucapannya tidak benar. Namun, nyatanya ia enggan meminta maaf, meski sudah menuduh Nayla yang tidak-tidak. "Sudah, Malika sudah dioperasi, tapi masih harus menjalani pemulihan di rumah sakit dan kamu tahu kan, kita masih perlu biaya banyak. Uang yang kamu kasih semalam, sudah habis buat bayar tunggakan BPJS dan ibu nggak megang uang sama sekali, buat makan saja ibu nggak ada, sampai harus nahan lapar semalaman. Kalau begini terus, bisa-bisa ibu juga ikutan dirawat!"
Nayla kembali menghela napas panjang, sesak rasanya mendengar keluhan ibunya di saat situasinya sendiri sangat susah. Isi kepalanya bagaikan tumpukan sampah yang tak lagi bisa dimuat, suara bising di dalam sana seperti dinamo yang hampir rusak dan sangat menyiksanya saat ini. Namun, ia tidak berdaya untuk lepas tanggung jawab, mengingat semua beban keluarga memang berada di pundaknya setelah kematian sang ayah. Meskipun sebenarnya ia punya abang, tapi abangnya itu tidak berguna dan hanya menyusahkan!
"Kamu dengar ibu nggak sih, Nayla!" Suara sang ibu menyentak Nayla dari lamunan.
Ia buru-buru merespon, sebelum ibunya makin tantrum. "Iya Bu, Nay dengar. Habis ini Nay kirim buat makan. Tapi kayanya Nay nggak bisa ke rumah sakit. Nay harus kerja, malam juga Nay harus mulai kerja sampingan buat ganti uang semalam." Padahal Nayla sama sekali belum terpikirkan mau kerja apa, tapi ia memang harus cari sampingan, buat jaga-jaga kalau ia akan dipecat. "Ibu nggak apa-apa, kan, kalau jagain Malika sendiri?"
"Nggak apa-apa, yang penting ibu dikasih pegangan buat makan, buat beli keperluan di sini." Ibu mulai melunak, membuat Nayla lega.
"Iya Bu, habis ini Nay kasih pegangan, tapi Nay minta ibu jangan boros-boros ya, soalnya gajian Nay masih lama," kata Nayla, mewanti-wanti ibunya. "Jangan dikasih ke abang juga. Kalau ibu kasih ke abang, Nay kedepannya nggak bisa ngasih lagi. Uang Nay udah abis."
"Iya, iya! Bawel banget sih kamu! Buruan transfer, perut ibu udah keroncongan ini! Maaf ibu juga udah kumat dari semalam!"
Nayla pun mengirimkan sebagian uang pegangannya buat sang ibu, setelah itu kembali meratapi nasibnya. Otaknya terus berisik, bekerja keras memikirkan bagaimana caranya ia bisa mendapat uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan dan bayar semua utang-utangnya. Gajinya sudah tidak memumpuni untuk memenuhi itu semua. Di saat Nayla tengah larut dengan pikirannya yang semrawut, suara denting notifikasi menginterupsi.
Takut itu dari ibunya, Nayla buru-buru mengeceknya. Ibu Nayla suka marah-marah kalau Nayla tidak cepat merespon pesan atau panggilan darinya. Namun, ketika Nayla membuka notifikasi yang masuk, emosinya kembali mendidih saat tahu pesan itu bukan dari ibunya melainkan dari si ular Laura!
Balikin duit gue, sekarang!
Dahi Nayla mengerut, tidak habis pikir dengan pesan yang ia terima dari Laura. Bisa-bisanya si Laura menagih uangnya setelah apa yang ia lakukan padanya! Kurang ajar! Nayla tidak terima dan langsung membalas pesan Laura.
Setelah menjebak gue, lo masih punya keberanian buat nagih uang yang lo kasih! Harusnya gue yang minta uang lagi ke lo, atas apa yang udah Lo lakuin ke gue. Atau gue harus lapor polisi?
Nayla tanpa gentar menggertak Laura. Sebuah ide juga tercetus di otaknya, kenapa ia tidak memanfaatkan kesempatan ini. Kalau Laura saja sudah jahat padanya, maka tidak masalah kan kalau Nayla membalas kejahatannya! Anggap saja apa yang Nayla lakukan adalah sebagai bentuk permintaan tanggung jawab atas apa yang telah Laura lakukan padanya!
Dua puluh juta. Kalau lo kasih dua puluh juta lagi, gue nggak bakal lapor polisi dan gue akan anggap yang semalam itu nggak pernah terjadi!
Nayla yakin Laura akan memberinya uang tersebut, mengingat apa yang telah Laura lakukan bisa membuatnya mendekam di balik jeruji besi. Namun, ekspetasi Nayla terlalu tinggi saat ia mendapati balasan Laura tidak sesuai yang ia harapkan.
Berani-beraninya lo meres gue! Asal lo tahu ya, yang ada lo yang bakal dilaporin ke polisi sama pak Broto! Lo lupa sama yang udah lo lakuin ke pak Broto? Hah! Lo juga bakal dipecat dari kantor! Jadi sebaiknya Lo balikin duit gue kalau lo nggak mau itu semua terjadi!
Geram! Emosi Nayla memuncak! Ia langsung membalas pesan Laura dengan amarah berapi-api.
Nggak punya malu! Gue benar-benar bakal laporin lo berdua ke polisi! Gara-gara lo masa depan gue hancur! Gue bakal jeblosin lo ke penjara karena udah jebak gue dan jual gue ke pak Broto! Siap-siap aja lo bakal pakai baju orens!
Nayla rasanya ingin membanting ponselnya, melampiaskan amarahnya pada Laura. Namun, ia tersadar jika ponsel butut itu banyak menyimpan kenangan, juga usaha untuk mendapatkannya tidak main-main. Mana mungkin Nayla berani merusaknya, ia kembali mengurungkan niatnya dan memilih menjedotkan kepalanya pada tiang halte. Sakit! Tapi tidak sebanding dengan sakit hati dan kecewa yang ia rasakan saat ini.
Sepertinya Laura mulai panik, karena ia langsung menelepon Nayla. Panggilan itu pun Nayla angkat dan ia sudah akan bersiap menyembur Laura dengan kata-kata mutiara, tapi ucapan Laura berhasil membuat semua kata yang sudah ia siapkan terangkut di tenggorokan.
"Masa depan siapa yang hancur! Lo aja main kabur, abis mukul kepala pak Broto pakai asbak! Pak Broto sekarang di rumah sakit dan dia bakal nuntut lo, kalau lo nggak balikin duitnya. Jadi mending lo balikin duit pak Broto, atau lo mau dipenjara!!!"
Nayla terdiam, pikirannya berkelana mengingat kejadian semalam. Kalau laki-laki yang menodainya bukan pak Broto, lantas siapa? Kepingan memori semalam berhamburan di dalam kepala Nayla, satu per satu mulai terangkai dan membuatnya syok!
Ya, kini Nayla ingat apa yang terjadi semalam. Nayla berhasil kabur dari kamar pak Broto setelah memukul laki-laki tua itu dengan asbak yang terbuat dari kayu jati. Namun, pak Broto yang mengerang kesakitan dengan kepala berdarah-darah masih mampu mengejarnya. Nayla yang panik takut tertangkap pak Broto, tanpa pikir panjang menerobos masuk ke kamar hotel ketika si pemilik kamar baru saja masuk dan belum sempat menutup pintu.
"Tolong aku!"
Nayla menepuk jidat, mengingat wajah laki-laki itu dan kini ia juga menyadari pakaian yang ia kenakan merupakan kemeja putih milik laki-laki itu, karena blouse miliknya sudah disobek oleh pak Broto dan teronggok mengenaskan di kamar hotel. Tapi laki-laki itu siapa? Pikiran Nayla makin awut-awutan, masalahnya bertambah saat mengetahui yang merengut kesuciannya ternyata orang asing.
Ya Tuhan, haruskah aku mati saja!
Pikiran sesat terus bergelayutan, memprovokasi Nayla untuk bertindak di luar akal sehat. Nayla nyaris saja mengikuti pikiran sesatnya untuk mengakhiri hidupnya, ketika sebuah mobil yang menepis berhasil menggagalkan niatnya untuk melangkah ke jalan raya yang padat oleh kendaraan pagi ini. Suara klakson menginterupsi Nayla dan kaca mobil di bagian belakang terbuka, menampilkan wajah yang familiar dan tengah mengusik pikirannya saat ini.
"Kamu—!" pekik Nayla, tak menyangka akan bertemu dengan laki-laki itu lagi.
"Masuk!" suruh laki-laki itu, menatap Nayla dengan sorot mata tajam menusuk.