"Uang dari mana Bu? Nay nggak punya uang sebanyak itu." Nayla mengembuskan napas kasar, memijit kepalanya yang berdenyut.
Pening seketika melanda ketika ia mendapat kabar jika adik satu-satunya dilarikan ke rumah sakit dan harus segera dioperasi karena usus buntu.
"Iya tahu Bu, Nay juga paham. Tapi uang sepuluh juta itu nggak sedikit. Kalaupun musti minjem pinjol, limit Nay udah abis. Kan baru kemarin ibu pinjem buat bantu bayar utang bang Andra. Coba ibu nanya ke bang Andra, siapa tahu abang bisa bantu."
Bukan Nayla nggak mau bantu, tapi Nayla nggak tahu harus cari ke mana uang sebanyak itu. Jika selama ini Nayla selalu bergantung dengan aplikasi pinjaman online saat butuh dana mendesak, tapi kali ini tidak bisa karena limit pinjamannya sudah habis. Ini juga gara-gara ibunya yang lebih mementingkan membantu membayar hutang-hutang abangnya tanpa memikirkan bagaimana Nayla akan membayar cicilannya nanti, mengingat gaji Nayla sebulan saja cuma lima juta. Belum lagi ia harus menanggung resiko dapur dan kebutuhan sekolah adiknya.
Sedangkan abangnya? Si biang kerok pengangguran itu terus-menerus berutang untuk main judi online, tanpa peduli sedikitpun pada keluarganya yang sengsara dan hal yang membuat Nayla gondok, ibunya selalu saja membela abangnya dan menjadikan laki-laki sialan itu sebagai anak emas tanpa memikirkan bagaimana perasaannya selama ini. Nayla merasa cuma dijadikan sapi perah yang dijadikan tulang punggung keluarga menggantikan ayahnya yang sudah meninggal setahun lalu.
"Ibu lihat kan, di saat seperti ini pun Abang nggak peduli sama kita!" Emosi Nayla terpancing saat mendengar jawaban ibunya jika abangnya tak bisa bantu dengan alasan nggak ada uang. "Coba kalau kemarin ibu nggak suruh Nay cairin pinjeman buat nutup hutang abang di rentenir, uangnya bisa dipake buat operasi Malika, Bu." Napas Nayla memburu, meski sudah mati-matian ia tahan agar tidak meledak emosinya. Namun gagal, Nayla terlanjur kesal. "Kalau sudah begini gimana? Nayla juga bingung Bu, Musti cari uang sepuluh juta ke mana. Nggak ada yang buang!"
"Ibu nggak mau tahu Nayla, malam ini juga kamu harus transfer uangnya biar Malika bisa secepatnya ditangani. Kamu kan bisa gadai motor kamu ke teman-teman kamu atau ke siapa pun, yang penting kamu dapat uangnya malam ini! Ngerti! Kalau kamu nggak dapat uangnya malam ini, ibu nggak bakal maafin kamu sampai terjadi apa-apa sama Malika!"
"Tapi Bu-" Ucapan Nayla berhenti saat sambungan telepon diputus sepihak. Nayla menghela napas berat, menatap nanar layar ponselnya yang mulai meredup.
Pikiran Nayla semrawut, otaknya berusaha bekerja keras untuk berpikir cara mendapatkan uang sepuluh juta dalam waktu singkat. Opsi demi opsi sesat bermunculan, tapi tidak ada satupun yang berani Nayla ambil untuk realisasikan. Ia tidak mungkin jual diri hanya demi uang sepuluh juta, ia juga tidak mungkin jual organ dalamnya, ia juga tidak mungkin harus bobol ATM, ataupun merampok minimarket, semua opsi sesat itu membuat nyali Nayla menciut duluan.
Hanya ada satu opsi yang masih bisa Nayla lakukan, seperti yang dibilang ibunya tadi, Nayla bisa menggadaikan atau malah menjual motornya. Meski sejujurnya ia enggan melakukannya, mengingat motor itu kesayangannya karena hadiah dari almarhum ayahnya dulu dan kalaupun sekarang dijual, Nayla nggak yakin ada yang mau membelinya seharga sepuluh juta. Pasarannya saja sudah terjun bebas, mentok juga empat juta. Tapi tidak ada salahnya untuk dicoba, demi adik semata wayangnya.
Nayla keluar dari bilik toilet, sembari berpikir kepada siapa ia akan menawarkan motornya untuk dijual. Di saat yang bersamaan, suara seseorang yang sedang berdiri di dekat wastafel menginterupsi dan seketika itu juga menarik atensi Nayla.
"Aku bisa kasih kamu sepuluh juta," kata seorang wanita berpakaian seksi yang tak lain Laura, rekan kerjanya di divisi keuangan.
"Ya?" Nayla tentu saja terkejut, dalam hati bertanya-tanya. Apakah dia menguping pembicaraanku? Ah, sial! Kenapa harus dia?
Nayla menelan ludah, mengutuk keadaan. Dari sekian banyak rekan kerjanya, kenapa harus Laura. Wanita cantik yang suka berpakaian seksi itu hobi sekali bergosip dan sebentar lagi ia pasti akan menjadikan kemalangan Nayla sebagai bahan gosip dengan gengnya. Nayla hanya bisa pasrah, ia tak bisa berbuat apa-apa, terlebih Laura adalah seniornya dan ia sendiri masih karyawan magang.
"Tapi dengan syarat," lanjut Laura.
"Syarat apa?" tanya Nayla dengan polosnya.
Senyum Laura seketika mengembang, tanpa ba-bi-bu ia menarik Nayla keluar dari toilet dan membawanya ke teman-temannya yang sedang menikmati acara penyambutan atasan baru mereka. Ya, malam ini mereka tengah menghadiri acara penyambutan direktur baru di sebuah hotel mewah, di mana direktur baru mereka merupakan anak bungsu dari pemilik perusahaan Abadi Jaya Group.
"Hai semua." Laura menyapa teman-temannya, mereka sontak beralih menatap Laura dan Nayla yang ikut bersamanya. "Nayla udah setuju."
"Seriously?" Salah satu dari keempat wanita itu menyahut, tak menyangka akan semudah itu Laura membujuk Nayla.
"Beneran mau?" Yang lain juga tak kalah penasaran, memastikan Nayla benar-benar mau.
"Iya, Nayla mau kok. Iya kan, Nay. Lagian cuma bawain berkas pak Broto doang, beliau lagi nggak enak badan dan sedang beristirahat di salah satu kamar di hotel ini." Laura merangkul Nayla, meyakinkan pada teman-temannya kalau Nayla beneran mau. "Sesuai kesepakatan, kamu bakal dapat sepuluh juta. Mudah kan? Cuma nganter berkas, dapat sepuluh juta, harusnya kamu nggak sia-siakan kesempatan ini Nay. Apalagi kamu lagi butuh banget uangnya kan?"
Nayla bimbang, tapi ia tak punya pilihan lain. Tanpa menaruh curiga, ia langsung menyanggupinya. "Tapi aku ingin dibayar dimuka, gimana?"
"Oke." Laura langsung mengiyakan. "Mana nomor rekening kamu, aku transfer sekarang juga."
Nayla menyodorkan ponselnya, memberikan barcode nomor rekeningnya yang langsung dibarcode sama Laura. Transfer berhasil, Laura menunjukkan layar ponselnya pada Nayla. Harusnya Nayla sekarang lega, tapi entah kenapa perasaannya bukannya lega malah mendadak cemas. Pasalnya ia harus menemui pak Broto di kamar hotel, meski hanya sekedar memberikan berkas. Tapi sejujurnya Nayla takut, mengingat tempo hari ia pernah menolak ajakan pak Broto untuk menikah. Gila aja! Ya kali Nayla mau dijadikan istri ketiga sama si tua bangka itu!
"Cuma ngasih berkas aja, kan?" tanya Nayla, memastikan.
Laura mengangguk, memberikan map berisi berkas yang dimaksud kepada Nayla. "Sebelum pergi, minum dulu biar nggak grogi."
Nayla menatap gelas tangkai yang Laura sodorkan, ragu untuk menerimanya. Namun, Laura meyakinkan agar ia segera menyambut gelas tersebut dan meminumnya.
"Cuma orange juice, Nayla," kata Laura. "Ayolah. Minum dikit juga nggak apa-apa, bibir kamu dah kering gitu."
Tenggorokan Nayla memang terasa kering, karena ia belum minum apa pun sejak datang tadi. Lantas Nayla pun meminumnya sampai habis, membuat senyum Laura dan teman-teman mengembang.
"Good job Nayla." Laura menepuk bahu Nayla, antusias melihat Nayla berhasil meminumnya sampai habis. "Sekarang temui pak Broto, dia udah nunggu di kamarnya. Nomor dua kosong enam."
Nayla tak membuang waktu, bergegas menuju kamar yang dimaksud Laura. Sepanjang jalan jantung Nayla mulai berdegup kencang, tubuhnya juga mendadak gerah. Nayla masih berpikir positif, beranggapan karena pakaian blouse lengan panjang yang ia kenakan, makanya ia merasa kegerahan. Nayla pun mempercepat langkah kakinya, matanya bergerak liar menyusuri nomor-nomor kamar yang terpampang di depan pintu. Hingga akhirnya ia tiba di depan kamar dua kosong enam, di mana pak Broto sudah menunggu di dalam.
Cuma ngasih berkas aja Nay, jangan takut. Nayla meyakinkan diri, berusaha menyingkirkan rasa takut yang entah mengapa terus merongrong, menghasutnya untuk pergi saja. Namun, Nayla sudah terlanjur menerima uang Laura, jadi mau tidak mau ia tetap harus menjalankan tugasnya.
Nayla memberanikan diri mengetuk pintu, yang langsung mendapat sahutan dari dalam. Nayla pun menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang di dalam kamar, yaitu pak Broto. Dari suaranya saja Nayla sudah mengenalinya. "Ini saya, pak. Nayla. Saya diminta Laura untuk memberikan berkas yang pak Broto minta."
"Masuk," suruh pak Broto.
Nayla ragu, haruskah ia masuk. Bukankah ia cuma diminta memberikan berkas, jadi seharusnya Nayla nggak perlu masuk. Nayla masih berdiri di depan pintu, tidak ada tanda-tanda ia akan masuk. Hingga suara pak Broto memaksanya mau tidak mau untuk masuk.
"Masuk Nayla, kaki saya terkilir. Saya nggak bisa jalan," kata pak Broto, meyakinkan Nayla. "Makanya saya suruh Laura antarkan berkas ke sini. Kalau kamu nggak mau masuk, suruh Laura saja yang antarkan masuk ke sini!"
Nayla menelan ludah, tidak punya pilihan lain. Ia pun masuk, matanya bergerak awas ketika pintu kamar hotel terbuka dan ia mendapati pak Broto memang terbaring di atas ranjang.
"Letakkan di situ." Pak Broto menunjuk meja panjang di samping Nayla.
Nayla pun meletakkannya, kemudian langsung pamit undur diri. "Kalau begitu saya permisi ya Pak."
Nayla bergegas menuju pintu, tapi sialnya, langkah Nayla kalah cepat dengan pak Broto yang tiba-tiba saja mendorongnya ke pintu dan mengunci pintu kamar. Tentu saja Nayla panik bukan main.
"Apa-apaan ini Pak! Buka!" Nayla menarik gagang pintu, tapi pintunya sudah terkunci dan mustahil ia bisa keluar.
Nayla baru sadar, jika sebenarnya ia sudah dijebak oleh Laura. Terlebih ketika pak Broto tiba-tiba menggerayangi tubuhnya. Nayla jelas makin panik, sekuat tenaga melawan.
"Jangan sentuh saya!" Nayla mendorong pak Broto, hingga punggung pria itu membentur tembok. Namun, tak membuatnya berhenti untuk menjamah Nayla. "Jangan mendekat! Atau saya akan teriak!"
Pak Broto tertawa, meremehkan. "Teriak saja, sayangnya nggak ada yang akan mendengar teriakan kamu Nayla. Kamu pikir hotel mewah begini tidak dilengkapi dengan peredam suara? Tentu saja dilengkapi dengan peredam suara, jadi teriakan kamu cuma akan sia-sia! Lebih baik kamu turuti saja kemauan saya dan saya akan berikan apa pun yang kamu minta, saya bisa jadikan kamu karyawan tetap, atau kamu mau naik jabatan? Nggak apa-apa kamu nggak mau jadi istri ketiga saya, tapi untuk malam ini layani saya dan buat saya puas-"
Ucapan pak Broto terhenti karena Nayla dengan berani meludahinya. "Nggak sudi! Lebih baik saya mati dari pada harus melayani lelaki tua bangka macam Anda!"
Pak Broto jelas geram, tak lagi melunak. "Kamu memang lebih suka main kasar Nayla, baiklah. Saya akan buat kamu menyesal karena sudah meludahi saya!"
Dan detik selanjutnya, pak Broto menyeret Nayla. Lelaki paruh baya yang tenaganya masih kuat itu berhasil melempar Nayla ke atas ranjang. Tanpa membuang waktu, ia bahkan sudah melucuti pakaian dan langsung menyergap Nayla.
"Tolong!" Nayla tak berdaya, teriakannya memenuhi ruangan kamar. Sayangnya tak akan ada yang bisa menolongnya.