Salsa akhirnya mengutarakan maksud permintaannya, membuat Raivan menggeleng tak percaya. Baginya, permintaan itu di luar nalar. Poligami memang diizinkan dalam Islam, tapi bukan tanpa syarat. Seorang pria Muslim boleh memiliki hingga empat istri, asalkan mampu berlaku adil—bukan hanya dalam hal materi, tapi juga kasih sayang, perhatian, dan waktu. Dan Raivan tahu, dirinya tak sanggup berlaku adil karena seluruh cintanya hanya untuk Salsa.
“Dari semua keinginanmu, hanya ini yang tidak bisa aku kabulkan, Sayang. Kamu akan sembuh dan anak kita akan lahir dengan selamat,” ucap Raivan, menjadikan kalimat itu sebagai mantra penguat.
Salsa menggenggam tangan Raivan, lalu meletakkannya di atas perutnya yang masih rata. “Tapi bagaimana jika umurku tak sepanjang itu? Kamu dan anak kita butuh seseorang untuk menjaga dan mendampingi kalian, Mas.”
Raivan menggeleng pelan, lalu menarik Salsa ke dalam pelukannya. “Aku bisa melakukan apa pun demi kamu, tapi jangan minta aku untuk menikahi wanita lain, Sayang. Hanya kamu satu-satunya.”
***
“Jangan bercanda, Sa. Adil itu bukan perkara mudah. Bukan hanya Raivan, kamu juga tak akan mudah menjalani pernikahan seperti itu,” kata Nayla, menatap sahabatnya tak percaya.
Siang itu, Nayla mengunjungi butik milik Salsa untuk makan bersama. Salsa selalu meminta Nayla memasakkan sesuatu setiap kali rindu masakan rumah. Masakan tangan Nayla memang tak pernah mengecewakan.
“Mungkin awalnya sulit. Tapi bukankah lama-lama akan terbiasa?” ujar Salsa dengan senyum kecil.
Nayla hanya menggeleng. Ia tidak mengerti jalan pikiran sahabatnya yang tiba-tiba berbicara tentang poligami. Lalu, dengan nada santai tapi serius, Salsa mengatakan ia akan mencarikan dan memilih sendiri istri untuk Raivan. Wanita yang ia kenal luar dalam. “Mana ada wanita yang mau dengan tawaran seperti itu?” ujar Nayla sambil menyendokkan nasi ke mulutnya.
“Ada.” Nayla melirik sahabatnya menanti kelanjutan kalimat yang menggantung. “Kamu, kamu wanita itu, Nay. Aku ingin Mas Raivan menikahi kamu,” ujar Salsa membuat Nayla mengurungkan niatnya untuk melahap makannya.
Tentu saja Nayla menolak. Mereka bersahabat sejak lama. Empat tahun di tanah rantau, Nayla tak pernah sekalipun meninggalkan Salsa, selalu mendampingi sahabatnya melewati masa-masa sulit, terapi demi terapi, perjuangan demi perjuangan melawan sakitnya.
Nayla tertegun saat Salsa mendekat dan menggenggam tangannya. Mata sahabatnya itu mulai berkaca.
“Aku mohon, Nay. Aku dan Mas Raivan butuh kamu. Kita bertiga. Kamu, aku, dan Mas Raivan, bersama-sama membesarkan anak ini,” ucap Salsa sambil menuntun tangan Nayla menyentuh perutnya yang masih datar. “Aku butuh kamu.”
“Maaf, Sa. Aku tidak bisa.”
Untuk pertama kalinya Nayla menolak permintaan sahabatnya. Salsa kehabisan cara. Ia melepaskan genggaman tangannya dengan paksa, lalu menatap Nayla sinis.
“Bukankah kamu berutang budi pada aku dan orang tuaku? Tidakkah kamu berpikir untuk membalas semua itu?”
Nayla membeku. Kata-kata Salsa menancap tajam. Nayla yatim piatu yang tumbuh di panti asuhan milik ibu Raivan. Sementara keluarga Salsa adalah donatur tetap panti itu. Mereka bahkan menyekolahkannya di tempat yang sama, membuka jalan agar Nayla berdiri sejajar dengan Salsa.
Namun Nayla tetap bungkam dan Salsa pun memalingkan wajah.
“Wanita gila mana yang rela meminta wanita lain jadi madunya? Tapi aku harus, Nay. Kamu tahu kondisiku lebih dari siapa pun. Bagaimana jika aku tak sanggup bertahan? Bagaimana dengan Mas Raivan dan anakku nanti?”
Air mata jatuh membasahi pipi Salsa. Suaranya lirih saat akhirnya berkata, “Lebih baik kamu pergi, Nay.”
Nayla menurut. Ia merapikan meja—meraih tasnya dan pergi—meninggalkan Salsa seorang diri meratapi diri dan hidup yang kian redup harapan. Bagi Salsa, bisa bertahan sejauh ini saja sudah terasa seperti bonus.
***
Sore itu, Nayla melangkah tanpa arah. Ia diminta Bu Zara, ibu Raivan, untuk datang ke panti. Kepala Nayla penuh dengan percakapan siang tadi dengan Salsa. Apakah ia benar-benar tak tahu diri jika menolak? Atau justru tak tahu tempat jika menerima? Nayla dilanda dilema. Ia nyaris tak sadar—melintas saat lampu lalu lintas pejalan kaki menyala hijau. Ia menyeberang tanpa memperhatikan tanda peringatan yang mulai berkedip, lalu dalam sekejap berganti merah.
Suara klakson bersahutan, membuyarkan lamunannya. Nayla panik. Suara-suara marah para pengemudi, deru mesin, dan klakson memekakkan telinga. Ia ingin menepi, tapi langkahnya seperti terkunci.
“Ibu… Ayah….” Suara tangisan anak kecil mendesak masuk ke dalam kepalanya. Nayla menutup telinga, memukul-mukulnya pelan. “Ibu… Ayah….”
“Nay!” Seseorang meraih tubuhnya yang berjongkok di tengah jalan ketakutan. “Nayla!”
“Raivan,” gumamnya, nyaris tak terdengar—mengangkat pandangannya.
“Kamu aman, Nay. Aku di sini.” Raivan merengkuh Nayla, mengusap air matanya yang jatuh tak tertahan.
Nayla diam. Wajah Raivan, suaranya, genggaman tangannya, semua mengingatkannya pada permintaan Salsa. Dengan gemetar, Nayla melepas paksa tangan Raivan.
“Aku baik-baik saja,” katanya pelan, lalu berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Raivan yang hanya bisa berdiri mematung, tak mengerti dengan sikap sahabatnya.
Raivan pun segera masuk ke dalam mobilnya, melanjutkan perjalanan menuju panti asuhan, Salsa memintanya menjemput di sana.
Mobil Raivan berhenti sempurna di halaman panti. Keningnya mengerut saat melihat mobil mertuanya sudah terparkir. Namun, seketika senyum merekah di wajahnya ketika melihat semua keluarga telah berkumpul. Senyum itu perlahan memudar saat matanya menangkap wajah pucat Salsa.
“Sayang,” panggil Raivan pelan, memeluk Salsa dari belakang dan mengecup puncak kepala perempuan yang paling dicintainya. Setelahnya, ia menyalami kedua mertuanya dan bundanya.
“Mama dan Papa sudah lama di sini?” tanyanya sambil duduk. Kedua mertuanya mengangguk pelan. Raivan menoleh ke arah Salsa, menggenggam tangan istrinya, lalu mengecupnya penuh kasih. Salsa membalas genggaman itu, dan sekali lagi Raivan mengecup punggung tangannya.
“Papa sudah tahu dari Salsa, kalau kamu sudah mengetahui penyakitnya,” ucap Satrio, ayah Salsa, dengan suara yang tenang.
Raivan mengangguk. Tidak ada sorot kecewa di matanya. Ia terlalu mencintai Salsa untuk membuang waktunya dalam amarah. Yang ada dalam pikirannya hanya satu hal apa yang bisa ia lakukan untuk membuat sang istri tercintanya sembuh.
“Salsa sudah cerita semuanya ke Papa, Mama, dan juga Bunda-mu,” lanjut Satrio. “Termasuk soal poligami.”
“Maaf, Pa, kalau Raivan menyela,” sahut Raivan cepat, nadanya tegas tapi tetap sopan. “Raivan dan Salsa sudah membicarakan ini. Dan Raivan sudah memberi jawabannya.”
Pandangan Raivan berpindah pada ibu mertuanya dan bundanya, yang hanya bisa menunduk tanpa kata.
Satrio kembali bicara, mengatakan bahwa mereka telah mempertimbangkan semuanya dan menyetujui. Raivan menggeleng pelan, sulit mempercayai bahwa semua orang sudah tahu dan sepakat tanpa melibatkannya sejak awal. Salsa telah bergerak sendiri.
“Dan Salsa juga sudah memilih,” kata Satrio. Ia menoleh pada putri semata wayangnya dan mengulurkan tangan, mempersilakan untuk menyebutkan nama wanita itu.
Dengan suara yang nyaris tak terdengar, Salsa menoleh ke arah Raivan dan lelaki itu melakukan hal yang sama.
“Benar, Mas. Wanita itu ... Nayla, Mas.”
Raivan terkejut mendengar nama yang baru saja keluar dari bibir Salsa. Rahangnya mengeras, dadanya bergemuruh. Amarahnya memuncak, bukan hanya karena Salsa telah memilih calon madu tanpa persetujuannya, tapi karena orang tua mereka pun setuju.
Raivan tidak menanggapi. Ia meminta izin untuk berbicara empat mata dengan istrinya. Ia menggenggam tangan Salsa, menariknya menjauh dari keluarga. Tatapan mereka bertemu, tapi Raivan hanya menggeleng pelan.
“Kamu harus terima, Mas. Kamu tidak diberi pilihan,” ujar Salsa.
Raivan menatapnya tajam. “Aku kepala keluarga, Sa. Kamu seharusnya tunduk padaku.”
Salsa menggigit bibirnya, menahan emosi. “Kamu tidak mengerti, Mas,” lirih Salsa, dengan suara bergetar.
“Bagian mana yang tidak aku mengerti, huh?” Suara Raivan meninggi, nadanya terluka. “Tell me! Kamu bahkan tidak membicarakan apa pun denganku. Aku merasa asing sekarang. Selama ini aku kira aku mengenalmu, tapi ternyata aku tidak tahu apa-apa tentang kamu, Sa.”
Salsa menggenggam lengan Raivan, memohon dengan mata berkaca. Tapi Raivan menarik dirinya. “Dan lagi, Nayla tidak akan menerima pernikahan ini. Aku tahu dia. Dia tidak akan setega itu pada kita.”
Tepat saat kata-kata itu terlepas, sebuah suara terdengar dari belakang mereka—tegas tapi terdengar lembut.
“Aku bersedia.” Raivan dan Salsa serentak menoleh. Nayla berdiri tak jauh dari mereka. Wajahnya tenang, tapi jelas ada pergolakan di balik matanya. “Aku bersedia menjadi madumu, Sa,” lanjut Nayla. Ia menatap sahabatnya, lalu mengalihkan pandangan ke Raivan. “Menjadi istri kedua, Raivan.”