Prolog

1634 Kata
Darah Salsa berdesir. Tangannya gemetar, kakinya lemas tak lagi mampu menopang tubuhnya. Ia terduduk perlahan, menatap dua garis merah pada testpack yang kini terasa berat di genggamannya. Dadanya sesak oleh rasa yang membuncah menjadi satu—bahagia dan takut, harap dan cemas. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung membasahi pipi yang pucat. Ini adalah kabar yang selama ini ia tunggu, tapi juga kabar yang datang di waktu yang tak pernah ia bayangkan. “Sayang,” panggil Raivan. Cepat-cepat Salsa mengusap jejak air mata di pipinya dan keluar dari kamar mandi menemui suaminya. “Sini kesayanganku,” ujar Raivan, merentangkan tangannya meminta kesayangannya masuk ke dalam pelukannya. Kemudian Raivan menangkup kedua pipi cubby di hadapannya dan mengecup setiap inci wajah kesayangannya. “I’m home,” katanya kembali memeluk Salsa. Bagi Raivan, Salsa adalah rumahnya. Ke mana dan sejauh apa dia pergi, Salsa adalah tempat dia kembali. Raivan Devara adalah seorang direktur di sebuah perusahaan teknologi informasi. Ia anak tunggal dari pasangan suami istri, Danus dan Rena. Namun sejak SMP, ia sudah kehilangan sosok ayah yang sangat dikaguminya. Kepergian sang ayah meninggalkan luka mendalam. Bagi Raivan, Danus adalah panutannya. Di balik sisi gelap relung hatinya, hadir warna yang membuat hidupnya kembali bermakna yang ditorehkan oleh wanita yang kini menjadi permaisuri hatinya, Salsavira Enara, sang istri tercinta, yang akrab disapa Salsa. Malam itu, usai membersihkan diri, Raivan menyusul Salsa naik ke atas ranjang ikut duduk di samping sang istri. Salsa menyimpan novel di tangannya ke atas nakas samping ranjang, penasaran dengan box yang Raivan bawa. Raivan Devara “Will you marry me?” Salsavira Enara “Yes, I will.” Raivan menunjuk sebuah pesan singkat di ponsel lamanya—ponsel yang ia simpan bersama barang-barang kenangan lain, tersimpan rapi di dalam sebuah kotak berisi jejak manis masa lalu mereka. “Kamu masih ingat, ‘kan, waktu aku melamarmu hari itu?” tanya Raivan, terkekeh pelan mengingat momen yang jauh dari kata romantis itu. Bagaimana tidak, Raivan hanya melamar Salsa melalui pesan singkat. Salsa memberikan kembali ponsel itu pada Raivan. Seketika ekspresi wajah Salsa perlahan berubah, ia menyembunyikannya dengan merebahkan kepalanya di bahu sang suami. “Ingat,” jawabnya lirih. “Paling nggak romantis, ya, Sayang?” Raivan tertawa kecil. Salsa pun ikut tertawa sumbang. Mereka kembali mengenang masa-masa indah saat masih berpacaran. Lima tahun menjalin hubungan, dalam empat tahun menjalani LDR karena beda kampus pilihan. Akhirnya kapal cinta mereka berhasil berlabuh di dermaga paling indah yaitu pernikahan. “How lucky I’m to have you!” kata Raivan. Salsa mengangguk saja. Saat ini hati dan pikirannya kalut. Lidahnya terlalu kelu untuk bercerita perihal kehamilannya. “Sayang, aku lelah,” ujarnya, setengah berbisik. Raivan menyuruh istrinya untuk berbaring. Namun, tepat saat Salsa menegakkan tubuhnya, Raivan tiba-tiba panik. “Sayang!” serunya, melihat darah segar mengalir dari hidung istrinya. Raivan hendak mengulurkan tangan, tapi Salsa lebih dulu mengusap darah itu dan menengadah, mencoba menghentikannya. “Wajahmu pucat sekali, Sayang,” ucap Raivan lembut, mengusap pipi istrinya dengan khawatir—usai memastikan tidak ada lagi darah yang keluar. “Iya, ya? Akhir-akhir ini aku memang kelelahan,” aku Salsa pelan. “Karena sering lembur, ya? Jangan-jangan aku yang terlalu memaksakan—ah, sakit, Sayang!” Salsa mencubit lengan Raivan, membuat lelaki itu terkekeh geli. “Namanya juga pasutri sedang hangat-hangatnya. Jujur saja, Sayang. Malam nanti aku akan lebih hati-hati dan mengurangi durasi—” “Mas!” protes Salsa sambil menutup mulut suaminya dengan kedua tangannya. Meski telah setahun menikah, bagi Raivan, mereka selalu terasa seperti pengantin baru. Keduanya tertawa bersama. Raivan menarik sang istri masuk ke dalam dekapannya—memeluknya erat. “Salsavira Enara,” panggil Raivan. “Hmm.” “Aku sangat mencintaimu. Rasanya aku tidak bisa hidup tanpamu.” *** Salsa menyerahkan testpack itu pada Nayla, sahabatnya. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi—berbanding terbalik dengan Nayla yang langsung berkaca-kaca, tak henti mengucap syukur. “Raivan sudah tahu?” tanyanya pelan, tapi langsung menggeleng sendiri, seolah sudah tahu jawabannya. “Dokter bilang… kehamilan ini sangat berisiko, Nay,” lirih Salsa, bersamaan dengan jatuhnya air mata yang sejak tadi ditahannya. Nayla segera mendekat dan memeluk sahabatnya erat, berusaha menenangkan hatinya yang guncang. Ia tahu betul, Salsa mengidap penyakit jantung bawaan yang tak banyak orang tahu. Salsa, Nayla, dan Raivan bersahabat sejak SMA. Namun, Nayla telah mengenal Salsa lebih dulu sejak kecil. Di antara mereka bertiga, hanya Raivan yang belum tahu kondisi kesehatan Salsa—bahkan setelah mereka menikah, Salsa masih menyimpan rapat rahasia itu dari pria yang kini menjadi suaminya. “Apa tidak sebaiknya kamu memberitahu Raivan, Sa?” bisik Nayla pelan. “Apa yang sebaiknya aku ketahui?” suara berat Raivan membuat keduanya terkejut. Mata mereka membulat sempurna. Salsa menoleh dengan wajah pucat dan gugup tak terkira. Ia sama sekali tak menyangka suaminya akan menjemputnya ke butik hari ini. “Kamu belum selesai, Sayang?” tanya Raivan lembut, mendekat dan mengusap kepala istrinya, lalu mengecup puncaknya dengan penuh kasih. “A—aku sudah selesai, Mas,” jawab Salsa terbata, masih mencoba menenangkan degup jantungnya yang liar. Nayla yang bisa membaca perubahan ekspresi di wajah Raivan, segera berpamitan dan undur diri—memberi ruang bagi keduanya. Raivan kemudian membantu istrinya membereskan barang-barang, sebelum menuntun perempuan kesayangannya masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan. Keduanya memilih diam. Setibanya di rumah, Raivan menahan langkah Salsa hingga sang istri menoleh. “Mas?” tanya Salsa, bingung saat Raivan tiba-tiba memeluknya. “Bagaimana tadi di butik?” tanya Raivan, mengecup puncak kepala istrinya. “Butik ramai, tapi aku seharian di ruangan menggambar. Kamu tahu aku mudah lelah,” jawab Salsa. “Aku tahu. Karena itu aku nggak izinkan kamu nyetir sendiri dan minta Maura jadi asisten sekaligus sopirmu. Bahkan aku sudah memintamu istirahat di rumah, tapi kamu menolak. Anything for you, Sayang. Kamu tahu sebesar apa cintaku padamu.” Salsa tersenyum, memeluk suaminya. “Dan itu alasan kenapa aku juga jatuh sejatuh-jatuhnya padamu.” “Kalau begitu... bolehkah kamu jujur, Sayang? Perihal apa pun itu,” lirih Raivan, membuat darah Salsa berdesir. Salsa tak menjawab. Raivan melepaskan pelukannya, mengangkat dagu Salsa agar mata mereka bertemu. “Aku akan menunggu sampai kamu siap cerita.” Air mata Salsa jatuh. Lidahnya kelu. Raivan menarik tubuh kesayangannya, duduk di sofa, dan Salsa ikut duduk di pangkuannya. “Mau cerita?” bisik Raivan. Salsa mengangguk, tapi tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hanya air mata yang terus mengalir. Terlalu takut untuk jujur. Terlalu takut jika kisah mereka tak seindah yang ia bayangkan. Raivan menahan sesak di dadanya. “Sebanyak apa kamu tahu, Mas?” tanya Salsa pelan. Raivan langsung memeluknya erat. “Kenapa memilih untuk tidak cerita, Sayang? Aku merasa gagal menjadi suami.” Salsa menggeleng tidak setuju. Raivan begitu lembut dan sabar. Meski kecewa, ia tak menuntut apa-apa dari istrinya. Fokusnya bukan lagi pada kejujuran yang sempat tersembunyi, melainkan bagaimana ia bisa membantu Salsa sembuh. Kegagalan yang ia rasakan sebagai suami—yang belum bisa menjadi tempat pulang bagi istrinya—justru menjadi alasan terbesarnya untuk terus berjuang menjadi lebih baik. Agar Salsa tahu, bahwa dia pun bisa menjadi rumah. Sama seperti Salsa, yang sejak awal telah menjadi rumah baginya. Raivan terlihat bersemangat ingin melakukan segala hal demi kesembuhan Salsa. Wanita itu tertawa pelan, getir, meski air matanya terus mengalir. Ia sudah berjuang lebih dari dua puluh tahun, tapi takdir belum berpihak. Salsa meminta maaf karena merasa telah menjebak Raivan dalam hidupnya. Raivan menggeleng pelan. Ia mencintai Salsa tanpa alasan. Ia ingin tetap ada, dalam sehat maupun sakit. Dalam susah maupun senang. “Aku dapat rekomendasi dokter di Jepang. Kita bisa berobat di sana—” “Aku hamil, Mas.” Raivan membeku. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh. Matanya menatap perut Salsa. Perasaannya campur aduk—bahagia sekaligus takut. “Usia kandunganku enam minggu,” bisik Salsa saat tangan Raivan terulur, mengusap perutnya yang masih rata. “Dokter Rafa bilang... kehamilan ini sangat berisiko, Mas.” Akhirnya Salsa mengaku, selama ini ia sengaja menunda kehamilan karena tahu risikonya. Tapi belakangan, ia tak sanggup melihat Raivan terus menanti. Raivan mendekap istrinya, mengecup keningnya penuh cinta. “Jangan mendahului-Nya, Sayang. Anak ini... anak kita, hadir di waktu yang paling tepat. Mamanya akan sehat, anak kita akan lahir selamat. Kamu, aku, dan dia. Kita akan berjuang bersama, ya?” Salsa mengangguk, memejamkan mata saat merasakan hangatnya kecupan di keningnya. Tuhan jaga istri dan anakku. Dengarkan doaku yang tidak pernah meminta, aku kuat atas izinmu, batin Raivan. “Proses persalinan ini sangat berisiko, Pak, Bu,” suara lirih dokter membuat detak jantung Salsa kacau tak beraturan. “Kalau begitu... tolong selamatkan anak saya—” “Tidak. Selamatkan istri saya, Dok," pangkas Raivan. “Mas!” seru Salsa. Raivan tak menggubris protes istrinya. Salsa menangis sejadi-jadinya. Sembilan bulan mengandung, mana ada ibu yang rela mengorbankan anaknya? Salsa memohon pada Raivan yang kini tertunduk, diliputi dilema. Tapi ia harus tegas dengan keputusannya. Raivan tak sanggup hidup tanpa Salsa. “Mas, tolong... selamatkan anakku,” pinta Salsa lirih. Raivan menggeleng. Ia tetap pada pendiriannya. “Tolong, Mas. Tolong selamatkan anakku ....!” “Tolong, Mas ....” “Sayang,” panggil Raivan pelan saat melihat wajah pucat istrinya. Meski terpejam, bibir Salsa terus bergumam, memohon. “Sa, Salsa ...!” Salsa tersentak bangun—wajahnya basah, menyadari tertidur sambil menangis. “Kamu mimpi buruk, Sayang?” Salsa mengangguk, tangisnya pecah. Raivan segera memeluk istrinya. Salsa sedang hamil. Ibu hamil tak boleh stres, ia harus bahagia untuk itu sepenuh hati Raivan berusaha menenangkan sang istri. “Aku di sini, Sa. Aku selalu di sisi kamu,” bisik Raivan. “Mas... boleh aku minta sesuatu?” tanya Salsa di tengah isaknya. Raivan melepas pelukannya, mengusap lembut jejak air mata di pipi istrinya. “Anything for you, Sayang.” “Aku ingin Mas Raivan menikah lagi,” pinta Salsa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN