Raivan tak berkata apa-apa. Setelah mendengar panggilan itu keluar begitu saja dari mulut Nayla, lelaki itu hanya diam, lalu melangkah pergi meninggalkan kamar dengan raut yang sulit ditebak. Raivan tidak terlihat marah seperti yang sudah-sudah, tapi ada semburat getir yang terpatri dalam sorot matanya. Sesuatu yang membuat d**a Nayla mendadak sesak. Ia merasa sedikit bersalah. Begitu pintu tertutup, Nayla terduduk di tepi ranjang, menggigit bibir bawahnya. Ia merutuki dirinya sendiri. Segalanya tadi baik-baik saja—mereka tertawa bersama, bicara hangat, bahkan sempat berbagi pelukan. Tapi karena satu kata yang meluncur tanpa sadar, suasana jadi berubah. “Nay, nggak peka banget sih,” gumam Nayla pelan. Setelah mengirim semua dokumen yang diminta Fadlan lewat pesan singkat, Nayla memutusk

