Bab 9 : Terusik?

1704 Kata
“Mas Tsabit, aku pamit pulang. Sampai bertemu, ya, Mas,” ucap Nayla, membuat Raivan spontan menoleh ke arahnya dengan kening berkerut, sementara Tsabit hanya mengangguk sambil tersenyum. Nayla menyalami Bunda Zara, lalu sempat melirik sekilas ke arah Raivan sebelum melangkah pergi lebih dulu. Tidak ada percakapan apa pun bahkan sampai di dalam mobil. Nayla menggigit bibir bawah, berusaha keras menarik seat belt, lidahnya terasa kelu untuk meminta bantuan Raivan. “Kenapa?” tanya Raivan datar. “Susah... seat belt-nya...,” gumam Nayla. Ia sontak memundurkan tubuh, menahan napas saat Raivan mendekat untuk membantunya. Wajah laki-laki itu kini begitu dekat. Kedipan matanya, hembusan napasnya, hingga bibirnya membuat jantung Nayla berdetak tak karuan. Sebelumnya, Nayla tidak pernah merasakan ini di dekat Raivan. Tapi semakin ke sini... Nayla buru-buru membuang pandangannya saat Raivan menatapnya sejenak sebelum menarik diri. Sepanjang perjalanan, tetap tidak ada percakapan. Tidak ada lantunan lagu. Hanya ada keheningan yang menggantung berat di antara mereka. Begitu mobil terparkir sempurna di halaman rumah, Raivan langsung turun tanpa mengatakan apa-apa. Nayla menatap ke arah pintu, melihat Salsa berdiri di sana, menunggu. Raivan segera menghampiri, mengecup kening Salsa dengan penuh kasih, lalu merangkul istrinya masuk ke dalam rumah, meninggalkan Nayla di belakang. “Nay—” “Sayang, buatkan aku wedang jahe, ya,” pinta Raivan, memotong panggilan Salsa. “Eh?” Salsa menoleh, perhatiannya langsung teralihkan kembali pada Raivan. “Aku bilang ke Bi Seri saja, ya, Mas? Aku nggak pandai bikin wedang jahe. Mau hot chocolate aja?” tawarnya. “Tidak usah. Nanti biar aku minta ke Bi Seri,” jawab Raivan sambil mengecup pipi istrinya penuh sayang. *** Seperti biasanya, usai meninabobokan istrinya yang tengah hamil, Raivan naik ke lantai dua untuk kembali memeriksa pekerjaannya. Lama berkutat dengan laptop, akhirnya ia merebahkan diri di kasur, di mana ruang kerja sekaligus menyatu dengan kamar utama. Ia beristirahat sejenak sambil memainkan ponselnya. Namun, rasa kantuk segera menguasainya hingga ia terlelap. Jarum jam terus berputar hingga Raivan tersentak bangun dan mendapati waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi. Ia bangkit, lalu turun ke lantai satu. Saat melewati dapur, terdengar suara berisik kecil yang cukup mengusik. Cahaya samar menyelinap keluar dari dapur. Raivan tersenyum kecil saat melihat Salsa berdiri di dekat kitchen island, tengah mengisi air minum. Ia menyesali dirinya yang lupa mengisi botol minum untuk istrinya, padahal ia tahu betul Salsa sering terbangun hanya untuk sekadar minum sebelum kembali tidur. Raivan melangkah mendekat dan memeluk kesayangannya dari belakang. Gaun tidur tipis yang dilapisi kimono satin merah membuat tubuh yang dipeluknya terasa hangat. Ia mengecup puncak kepala wanita itu, mengeratkan pelukannya, lalu menyibak rambutnya dan menempelkan ciuman di lehernya. Namun, tanpa mereka sadari, ada seseorang yang menyaksikan dari kejauhan—membeku dan merasa sesak melihat pemandangan itu. Dengan langkah gontai, memilih pergi. Raivan tiba-tiba tersadar. Ada sesuatu yang berbeda. Aroma ini … bukan milik Salsa, batinnya. Ia melepas pelukannya, membeku sejenak ketika menyadari wanita yang ada dalam dekapannya bukan Salsa. “Nayla?” gumamnya, tak percaya. Tidak ada jawaban. Nayla hanya berdiri mematung, berusaha mengendalikan detak jantungnya yang kacau. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Raivan, suaranya terdengar lebih keras. “A—aku….” Nayla hanya mampu berbisik. Raivan menghela napas kesal, menyesali kecerobohannya. Ia tidak pernah menyangka akan menyentuh Nayla, apalagi seintim itu. “Aku mengira kamu—” “Salsa?” Nayla memotong, berbalik menatapnya dalam. “Iya, tentu saja—” Belum sempat Raivan menyelesaikan kalimatnya, Nayla sudah berlalu ke dapur. Dengan kening mengerut, Raivan memperhatikan tingkah Nayla yang sibuk menyusun kotak-kotak makanan ke dalam kulkas. Di sekelilingnya, berderet food preparation siap simpan. “Untuk apa kamu melakukan semua ini? Bukankah aku sudah bilang jangan lakukan apa pun?” Raivan bertanya. Nayla tetap fokus pada pekerjaannya. “Terima saja. Ini baktiku pada suami,” ucapnya pelan, acuh. Ia mengambil pisau, mengiris bawang terburu-buru. Namun, karena tergesa, Nayla tanpa sengaja melukai jarinya. Jeritan pelannya membuat Raivan segera mendekat. “Ada apa?” tanyanya cemas. Nayla tidak menjawab, hanya beringsut ke wastafel, membiarkan darahnya mengalir bersama air. “Nay!” Raivan kini panik, mendekat. “Kamu ini kenapa sih!” gerutunya saat melihat darah segar terus mengucur dari luka kecil itu. “Aku nggak punya kotak obat,” ujar Raivan. “Aku punya di kamar. Aku obati sendiri—” Raivan tak menunggu Nayla menyelesaikan kalimatnya, langsung menggenggam tangan Nayla dan menyeretnya menuju kamar wanita itu. Sementara itu, Salsa gelisah melihat adegan di dapur hingga menitihkan air matanya. Sesaat kemudian, ia mendengar kegaduhan kecil, lalu melihat Raivan membawa Nayla masuk ke dalam kamar madunya. Hatinya mencelos. Sakit, tapi ia harus menguatkan diri. Raivan kini bukan hanya miliknya seorang. Benar begitu, ‘kan? “Di mana, Nay?” tanya Raivan saat masuk ke kamar Nayla, matanya mencari-cari kotak obat. Namun Nayla berdiri mematung, mengamati sikap Raivan. “Van, nggak perlu berlebihan begini. Aku bisa sendiri. Lebih baik kamu keluar,” kata Nayla akhirnya. Raivan terdiam. Ia baru sadar sudah melampaui batas. Tanpa berkata apa pun, ia berbalik keluar, meninggalkan Nayla. Raivan kembali ke kamarnya. Ia menemukan Salsa berbaring membelakangi pintu. Raivan duduk di tepi kasur, menyesali semua kebodohannya. Apa yang tadi ia lakukan, semata-mata karena refleks kemanusiaan. Siapa pun yang terluka, pasti akan ia bantu, pikirnya. Ia masuk ke dalam selimut, lalu mendekat, memeluk Salsa dari belakang. “Mas, dari mana?” tanya Salsa lirih, hampir tak terdengar. “Ruang kerja, Sayang,” jawab Raivan pelan, membuat air mata Salsa jatuh. Raivan tidak sepenuhnya bohong hanya saja Salsa sudah terlanjut salah paham. Pagi harinya Ruang makan terasa sunyi, hanya dentingan sendok yang terdengar. “Nay, sepulang mengajar nanti temani aku bertemu dokter Rafa, ya,” pinta Salsa, memecah keheningan. Dokter Rafa adalah dokter spesialis jantung yang menangani Salsa. Sejujurnya, sempat terbesit keinginan dalam hati Salsa untuk mogok berbicara dengan dua orang di hadapannya, mengingat apa yang dia lihat tadi malam. Namun, ia sadar akan misi keberadaan Nayla di rumah ini. Ia menahan gejolak emosinya dan berusaha tetap tenang. “Aku yang akan menemanimu, Sayang,” sahut Raivan cepat. “Mas, kamu kan ada meeting—” “Aku cancel meeting-nya.” “Mas!” seru Salsa, menggeleng pelan. “Kamu temani aku ketemu dokter Anggita saja, sesuai jadwal yang sudah diatur Fadlan. Aku bisa pergi bersama Nayla. Seperti biasanya,” katanya. “Nanti aku tunggu kamu di lobi sambil mengambil antrean untuk ketemu dokter Anggita,” tambahnya. Dokter Anggita adalah dokter obgyn Salsa. “Jadwalku dengan dokter Rafa hanya kontrol rutin. Aku juga nggak ada keluhan apa-apa.” Raivan akhirnya mengangguk setuju. Ia berjanji akan segera menyusul usai menyelesaikan meeting-nya. Siang harinya, di rumah sakit. Kabar baik dari dokter membuat Salsa dan Nayla kompak tersenyum puas. Kondisi Salsa saat ini dalam keadaan prima. “Semuanya bagus. Jaga pola makan, obatnya jangan sampai terlewat, ya. Setelah ini kontrol dengan dr. Anggita, kan? Saya mau ikut juga,” kata dr. Rafa sambil tersenyum. “Kepo dengan perkembangan debay,” godanya ringan. Bulan lalu pun begitu. Saat Salsa kontrol ke dokter obgyn, dr. Rafa ikut masuk dan mendengarkan arahan terkait kehamilan Salsa, ikut memantau perkembangannya. “Terima kasih, ya, Dokter Rafa,” ucap Salsa dan Nayla hampir bersamaan, membuat mereka tertawa kecil. Karena saking seringnya Nayla menemani Salsa, dr. Rafa bahkan sudah hafal betul dengannya. Saat hendak keluar ruangan, pintu terbuka dengan sekali ketukan. Nayla membulatkan mata ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. “Nay?” sapa Tsabit, tampak bingung. “Mas Tsabit?” balas Nayla refleks. “Kalian saling kenal?” tanya dr. Rafa heran, ikut mendekat. Tak ingin membuat suasana kaku, dr. Rafa langsung memperkenalkan Tsabit sebagai sepupunya. Nayla pun menjelaskan kepada Salsa, bahwa Tsabit adalah orang yang pernah mengadakan acara santunan di panti asuhan mertua mereka. Tak lama, Nayla pamit, bergegas menuju lobi untuk menebus obat Salsa. “Fadlan jemput kamu, ‘kan?” tanya Salsa sambil mengikuti langkah Nayla perlahan. “Nggak, aku bilang nggak usah. Aku mau mampir ke toko buku dulu,” jawab Nayla, lalu ikut duduk di samping Salsa di ruang tunggu. Salsa mengangguk paham, lalu tersenyum tipis. “Nay,” panggil Salsa lirih. “Ya?” Nayla menoleh. “Apa Mas Raivan memperlakukan kamu dengan baik?” tanyanya hati-hati. Nayla menatap Salsa dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergetar di dasar hatinya, tapi ia sembunyikan rapat-rapat. “Sejak kamu menikah dengan Mas Raivan, aku nggak begitu memperhatikanmu. Aku takut kamu nggak baik-baik saja—” “Aku baik-baik saja,” pangkas Nayla, membuat dasar Salsa berdesir. Tentu baik-baik saja karena Salsa pun sudah melihat dengan matanya sendiri. Meski terlihat ketus, Raivan tetap memperlakukan Nayla dengan baik. Salsa hanya tersenyum tipis, menahan segala rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. *** “Sudah dapat, Nay, driver-nya?” tanya Salsa, saat melihat Nayla sibuk mengotak-atik ponselnya. “Udah... tapi malah di-cancel. Parah kali,” keluh Nayla, mendesah pelan. “Nay,” sapa seseorang, membuat Nayla dan Salsa kompak menoleh. “Sudah mau pulang? Mau bareng?” tawar Tsabit, berdiri di dekat mereka. “Nggak perlu, Mas,” tolak Nayla cepat. Tapi, kemudian berubah pikiran, ia menambahkan, “Aku mau ke toko buku, Mas. Apa searah?” Salsa membulatkan matanya mendengar perubahan nada Nayla yang terdengar mendesak. Tsabit mengangguk. “Aku lewat Gramedi*. Ayo, sekalian.” Nayla mengangguk cepat dan segera pamit pada Salsa yang masih terlihat bingung dengan sikap Nayla yang tiba-tiba terburu-buru. “Parkir di mana, Mas?” tanya Nayla, celingukan. Tsabit menunjuk arah yang sesuai harapan Nayla. Nayla menoleh sesekali, memastikan sesuatu. Ia baru mengembuskan napas lega saat melihat Raivan sudah masuk ke dalam lobi rumah sakit. Ya, Nayla sengaja menghindari Raivan. “Nay?” panggil Tsabit lagi, menyadarkan Nayla dari lamunan. “Eh, iya, Mas? Ah, iya, Mas. Kayaknya nggak jadi—” Nayla meringis malu saat Tsabit memicingkan matanya. “Aku nggak menerima penolakan, Nay,” katanya. Nayla akhirnya tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil Tsabit. Sementara itu, di lobi rumah sakit. “Bukannya tadi janjian sama Nayla? Nggak jadi?” tanya Raivan sambil merangkul Salsa dari samping. Salsa menoleh menatap wajah suaminya. “Jadi, Mas. Tapi Nayla sudah pulang.” Raivan mengangguk paham. “Bukan sama Fadlan, tapi sama temannya. Siapa tadi, Tsabit, ya?” lanjut Salsa, mengingat-ingat. Salsa tersenyum getir melihat rahang Raivan yang tampak mengeras seketika.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN