Bab 8 : Dilarang Jatuh Cinta

1592 Kata
Permintaan bumil yang masih ingin bermanja dengan mertuanya membuat tidak ada pilihan lain, Bunda Zara memutuskan untuk tetap tinggal sementara. Keluarga harmonis itu menikmati kebersamaan di taman belakang. Di saat yang sama, Nayla sudah bersiap-siap untuk berangkat ke panti asuhan. Fadlan sudah mengetahui jadwal kegiatan Nayla dan ia telah mengabari bahwa dirinya sedang dalam perjalanan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamar, membuat Nayla menyahut dari dalam. “Iya? Sebentar!” serunya dari balik walk in closet. Ia tidak tahu siapa yang sudah masuk tanpa menunggu jawabannya. Raivan tidak mendengar—melangkah masuk, pandangannya menyapu ruangan, tapi tak menemukan sosok Nayla. Dahi pria itu berkerut sejenak sebelum akhirnya melangkah menuju arah walk in closet. Langkahnya terhenti ketika mendapati Nayla sedang berusaha memasang resleting dress-nya sendiri—punggungnya terbuka, tak sengaja memperlihatkan kulit halus di balik dress itu. Keduanya membeku. Raivan nyaris berbalik hendak pergi, tapi belum sempat melangkah, pintu kamar Nayla keburu terbuka. Suara Salsa terdengar menyapa dari ambang pintu, membuat Raivan refleks melangkah masuk semakin dalam ke walk in closet. Entah kenapa, ia memilih bersembunyi. Mungkin karena khawatir sang istri akan salah paham dengan keberadaannya di kamar Nayla. “Nay, Fadlan sudah datang!” seru Salsa dari luar kamar. Nayla masih terpaku. Tubuhnya kaku saat Raivan berdiri begitu dekat dengannya. Kedua tangan pria itu sempat menyentuh lengannya, sembari menatap ke arah pintu dengan waspada. Ketika tak ada jawaban dari Nayla, Raivan menoleh, memberi isyarat agar wanita itu segera menyahut. Dengan cepat, Nayla menarik diri. Ia sedikit menjauh, lalu menyembulkan kepalanya keluar dari balik walk in closet sambil berkata, “Iya, Sa, aku lagi siap-siap.” Ia tidak menatap langsung ke arah Salsa, tapi suaranya cukup jelas terdengar. Salsa pun menyahut dan kembali menutup pintu kamar Nayla. Salsa membeku sejenak. Teringat pantulan kaca di kamar Nayla. Ia yakin tak salah lihat—Raivan terlihat berada di dalam walk-in closet. Dadanya bergemuruh, tapi tubuhnya tetap diam di tempat. "Sa, kenapa diam di situ?" Salsa tersentak. Ia cepat-cepat menggeleng pelan, menahan gejolak dalam dadanya, lalu berusaha tersenyum dan mengajak sang ibu mertua kembali ke taman belakang. Saat langkah mereka menjauh, Salsa memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan dirinya. Sementara Nayla, saking terkejut dan tergesa-gesanya, Nayla tidak menyadari bahwa punggung gaunnya masih terbuka. Ia ragu-ragu saat berbalik, lalu tersentak ketika melihat Raivan sudah begitu dekat. Tubuhnya oleng karena kaget dan refleks Raivan menangkapnya. Satu tangannya secara tidak sengaja menyentuh punggung Nayla yang terbuka. Keduanya terdiam. Sejenak waktu seperti berhenti. Tatapan Raivan tertuju pada wajah Nayla—begitu dalam, begitu tajam, hingga Nayla merasa jantungnya berdetak tak karuan. Ia mengejap gugup, menyadari betapa dekat mereka berdiri saat ini. “A—ada apa?” tanyanya pelan, suaranya nyaris bergetar. Ia mencoba menarik diri, tapi Raivan tetap di tempat, tak bergeming. Tatapannya menyelami wajah Nayla, membuat wanita itu semakin salah tingkah. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu—sesuatu yang tak bisa Nayla artikan, tapi cukup membuatnya tak mampu berpaling. “Apa kamu memiliki perasaan terhadapku?” tanya Raivan, membuat mata Nayla membulat sempurna. Ditatap begitu dalam oleh Raivan, Nayla kehilangan fokus. Ia tak mampu berpikir jernih. Raivan tak pernah menatapnya seperti ini sebelumnya dan lucunya Nayla justru tak bisa mengartikan tatapan itu. Bibir Nayla terbuka, ingin mengatakan sesuatu. Ia tak tahu harus jujur atau kembali memendamnya. Tapi sebelum satu kata pun terucap, Raivan sudah memutar tubuhnya pelan, membuat Nayla terkesiap. Nayla menggigit bibir bawahnya. Detak jantungnya melesat tak karuan saat tangan Raivan terulur, menarik resleting gaunnya ke atas. Gerakan itu lembut, nyaris penuh kehati-hatian. Begitu resleting itu terkunci sempurna, suara Raivan terdengar tepat di belakangnya. “Aku harap tidak, Nay. Jangan jatuh cinta padaku. Aku tidak mungkin membagi cintaku pada siapa pun, termasuk kamu.” Kata-kata itu jatuh seperti tamparan keras. Suara Raivan yang tenang justru menambah perihnya. Hati Nayla seolah tercabik mendengar kalimat itu—lantang, jelas, dan dingin. Raivan melangkah pergi tanpa menoleh. Begitu mendengar suara pintu tertutup, hanya sekali berkedip, air mata Nayla tanpa bisa dibendung. Kenapa? Kenapa kamu selemah ini, Nay? Batin Nayla. *** “Sudah sampai, Mbak,” ujar Fadlan, pelan. Asisten Raivan itu menatap ke arah spion tengah, melihat Nayla yang masih menatap kosong ke luar jendela. Tatapannya jauh, entah ke mana. “Mbak Nayla—” “Ah, iya?” Nayla tersentak, buru-buru merapikan penampilannya sebelum turun dari mobil. “Terima kasih, ya. Nanti aku hubungi kalau sudah selesai,” ucapnya singkat. Fadlan hanya mengangguk, matanya mengikuti langkah Nayla yang perlahan menjauh, memasuki area panti. Baru saja hendak menginjak gas, sesuatu membuat Fadlan menghentikan gerakannya. Dari kejauhan, ia melihat seorang lelaki di dalam panti menyambut Nayla dengan senyuman hangat. Lelaki itu berbicara sebentar, lalu menepuk pelan pundak Nayla, sikapnya terlihat akrab. Tanpa banyak pikir, Fadlan mengangkat ponselnya, membidik ke arah mereka. Bingo! Tepat saat lelaki itu mengusap pucuk kepala Nayla dengan lembut—klik—Fadlan memotret dan mengirimkan foto itu pada Raivan. Sementara itu, Raivan masih sibuk di rumah, jemarinya menari di atas keyboard laptop. Fokusnya penuh pada layar, sampai sebuah notifikasi masuk di ponselnya. Ia melirik sekilas, lalu meraih ponsel yang tergeletak di sisi meja. Keningnya mengerut saat melihat foto yang dikirim Fadlan tanpa penjelasan. Ia memperbesar gambar itu. Tatapannya menajam, menelusuri sosok lelaki yang tersenyum pada Nayla. Tangannya berada di atas kepala Nayla, terlihat terlalu akrab. Raivan menatap lebih lama dari yang seharusnya. Namun, di detik berikutnya, Raivan mengalihkan pandangannya. Ia melempar asal ponselnya ke sofa—kembali fokus ke laptopnya. Tak ada kepentingan baginya untuk memusingkan foto itu. Sementara di panti asuhan “Syukurlah kamu baik-baik saja setelah malam itu. Aku sempat khawatir kamu sakit karena kehujanan,” ujar lelaki itu dengan nada tulus. Namanya Tsabit—lelaki yang malam itu mengantar Nayla pulang. Bukan tanpa alasan Nayla menerima tawaran dari pria yang baru ia kenal hari itu. Semuanya karena desakan Bunda Zara mengingat hari sudah larut malam. Mau tak mau, Nayla menurut. Lagi pula Bunda Zara sudah mengenal Tsabit dan kebetulan mereka searah. Malam itu, Tsabit tengah mengadakan santunan di panti asuhan, bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Pertemuan mereka berlangsung hangat dan cepat akrab, mungkin karena keduanya memiliki latar belakang yang serupa. Tsabit ternyata adalah salah satu pengurus HIMPAUDI kota Bandung. “Hari ini agendanya apa, Mas?” tanya Nayla sambil sedikit menjauh. Sejak tadi Tsabit tampak terlalu santai menyentuh lengannya saat berbicara—seolah mereka sudah lama saling kenal. “Hari ini? Sengaja ke sini cuma buat lihat Bunda Nayla mengajar,” jawab Tsabit santai, membuat Nayla mengerutkan kening, kemudian tertawa kecil mendengar Tsabit memanggilnya ‘Bunda’ seperti anak panti lainnya. Ia mengulum senyum. “Please deh, Mas ....” Tsabit terkekeh. “Aku sudah diprotes Derin gara-gara manggil kamu Miss Nayla.” Keduanya tertawa bersama, mencairkan suasana. Sore itu, Nayla mengajar ditemani Tsabit. Bukan hanya sekadar menemani, melainkan juga membantu. Nayla fokus mengajar anak-anak balita, sementara Tsabit menangani anak-anak yang sedikit lebih besar, membahas PR dari sekolah mereka sesuai dengan usianya. Saat malam tiba, mereka duduk bersama untuk makan malam. Tsabit memesan paket makanan yang untuk anak-anak, tapi tetap mengutamakan kesehatan, mengingat Nayla sempat bersikap tegas saat anak-anak kompak ingin menikmati junk food. Usai makan malam, keduanya duduk di teras sambil mengawasi anak-anak yang sedang bermain riang. Obrolan mereka sesekali terinterupsi oleh kedatangan anak-anak yang datang membawa makanan, minuman mainan—berperan seolah-olah mereka adalah tamu di sebuah rumah makan—dengan penuh semangat. “Loh, ada Nak Tsabit?” sapa Bunda Zara pada Tsabit dengan suara riang. “Kok nggak ngabarin mau ke sini. Sudah lama?” tanya Bunda sambil sibuk menyerahkan barang-barang bawaannya kepada asistennya yang datang menyambut. “Saya datang lebih dulu dari Bunda Nayla,” jawab Tsabit sambil menunjuk Nayla yang berdiri di dekat mereka—menggeleng mendengar usilnya Tsabit. Bunda Zara melirik Nayla sejenak, yang hanya membalas dengan senyum manis. “Kedatangan saya ke sini mau menagih jawaban Bunda Zara perihal permintaan saya kemarin,” kata Tsabit, suaranya sedikit serius. “Oh, iya itu, ya…,” ucap Bunda Zara. “Boleh, tentu boleh,” lanjutnya dengan ringan. Pandangan Bunda Zara kini beralih ke Nayla. Beliau mengusap lengan Nayla. “Nak Tsabit ingin menyisihkan waktunya untuk menjadi pengajar lepas di sini, lho, Nay.” Nayla mengerutkan kening. Selama ini, dia adalah satu-satunya pengajar di panti yang memberikan les tambahan pada anak-anak, tanpa digaji—meski sempat ada tawaran. Nayla memang tulus mengajar dan senang menghabiskan waktunya bersama mereka. “Mohon bimbingannya, Bunda Nayla,” goda Tsabit, membuat Bunda Zara dan Nayla tertawa geli. “Hih, padahal jam terbang Mas Tsabit lebih tinggi dari aku. Satu lagi, berhenti memanggilku Bunda,” kata Nayla sambil menunjuk Tsabit, tawa mereka bertiga pun pecah. Nayla menoleh, matanya terhenti pada sosok yang tidak pernah dia sangka akan muncul di sini, sendirian, di jam seperti ini. Senyum Nayla yang semula ceria perlahan meredup. Perubahan ekspresi Nayla tidak luput dari perhatian Bunda Zara dan Tsabit, yang ikut menoleh mengikuti pandangan Nayla. “Eh, Bunda sampai lupa bilang pada Nayla kalau ada Raivan,” kata Bunda Zara sambil menepuk pelan pundak Nayla, seolah mengisyaratkan Nayla untuk pulang bersama Raivan nanti. “Bunda masuk dulu, kalian bicara dulu—” “Nayla mau langsung pulang saja, Bun—” kata Nayla, suara sedikit terbata. “Aku antar,” kata Tsabit cepat, membuat Nayla terdiam sesaat. “Tenang, hari ini aku bawa mobil,” tambah Tsabit dengan senyuman ramah. Namun, sebelum Nayla bisa menjawab, suara berat nan datar itu terdengar memecah suasana. “Nayla pulang dengan saya.” Suara itu milik Raivan—terdengar penuh otoritas. Seketika, jantung Nayla berdetak lebih cepat, hampir melompat keluar dari tempatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN