PART. 3 AKAD NIKAH

1047 Kata
Yang mengantar Wira hanya keluarga saja. itu pun sudah sangat banyak orangnya. Keluarga mereka yang berasal dari keturunan Vanda dan Rara. Mereka adalah para cucunya Vanda dan Rara. Karena anak Vanda dan Rara sudah meninggal semua. Yang paling tua di antara mereka sekarang adalah El dan kembarannya Zizi. Mereka tiba di rumah Prana. Disambut dengan ramah oleh semuanya. Semua orang menatap keturunan Ramadan. Wajah mereka hampir sama semua. Darah Timur Tengah dari Nini Tari terlihat masih dominan. Walaupun ada yang matanya sipit, dan juga ada yang bola matanya biru. Raut wajah mereka hampir sama. Wira terlihat gagah dengan busana akad nikah yang dikenakan. Wajahnya yang teduh dan lembut menjadi pusat perhatian. "Kita jadi pasut peterhatian." Sifa berbisik kepada Via, Acilnya. "Kita cantik dan gentang semua." Via menanggapi ucapan keponakannya. Selisih usia mereka hanya lima tahun. Cara mereka bicara sama persis dengan Zia. "Kaluraga mereka matanya sipit, dan kulitnya putih." Sifa berbisik lagi. "Ayahnya itu orang Waitan. Eh muskadnya keturutan orang Taiwan." "Oh. Sepetri Nini Ara ya." "Iya, seperti itu." "Pempruanya mana, Acil?" "Nanti setelah akad nikah baru lobeh keluar." "Habis ini yang nikah Acil kan?" "Heum." "Dengan Paman Rido?" "Iya dong!" "Usia Acil dengan Paman Rido bepara tahun?" "Paman Rido serakang tiga puluh tahun. Acil lima belas tahun. Beda lima belas tahun. Masih banyak beda Amma kamu dengan Abba kamu." "Iya. Amma dan Abba beda tujuh belas tahun. Jadi Abba sepetri punya anak tiga." Sifa terkikik. Ingat amma yang selalu manja pada abba. "Psst. Kalian jangan ngobrol terus. Acara akan segera dimulai." Shana berbisik kepada sepupu dan keponakannya. Kedua gadis itu diam dan mulai memperhatikan acara akad nikah. Wira membaca akad nikah dengan lantang dan jelas. Tidak terlihat keraguan dari ucapannya. Niat Wira ikhlas membantu karena Allah. Wira tahu komentar orang tentang wanita yang baru saja ia nikahi. Wanita yang dianggap galak dan judes. Walau begitu mereka juga memuji kebaikan istrinya itu. Dibalik galak dan judes, di tempat kerja. Istrinya orang yang cukup peduli pada karyawannya. Wira menarik napas lega setelah selesai mengucapkan akad nikah. Ini bukan pernikahan idamannya. Namun berusaha ia terima dengan lapang d**a. Wira siap menerima istrinya. Meski mereka sudah lama tidak bertemu. Mempelai wanita diminta keluar dari kamar. Wira hanya menunduk saja, tidak menyambut istrinya dengan pandangan mata. Wanita yang kini menjadi istrinya duduk di sebelahnya. Mereka menjalani proses setelah akad nikah. Wira memasangkan cincin yang dibeli dadakan oleh ammanya. Ammanya tidak ingin memakai cincin yang sudah dibeli oleh calon suami Dina. Hantaran dan mahar, serta cincin kawin semua mereka beli sendiri. Bagi mereka keluarga yang kaya raya, hal seperti itu bukanlah masalah. Kekayaan mereka tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Usaha mereka sangat beragam. Dari peternakan, perikanan, perkebunan, persawahan, perumahan, pabrik keripik, toko pupuk dan umpan, serta toko bibit tanaman, travel, dan SPBU yang sangat banyak jumlahnya. Belum lagi usaha batubara, yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Itu harta warisan dari nenek moyang mereka. Mereka juga punya usaha pribadi di setiap keluarga. Seperti keluarga Wira, punya usaha ternak sapi sendiri. Setelah Wira memasangkan cincin, dilanjutkan dengan Dina memasangkan cincin juga di jari Wira. "Ayo, cium, Wira!" Terdengar suara Raka, pamannya. Wira memegang kepala Dina yang terbungkus jilbab dengan hiasan melati. Kemudian Wira mengecup kening Dina. Sepanjang proses akad nikah sampai selesai proses setelah menikah. Wajah Wira datar saja. Tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Begitulah tampilan wajah Wira. Kecuali saat ia berkumpul bersama keluarga. Wira juga bercanda dan tertawa. Proses akad nikah sudah selesai. Mereka berdua duduk di pelaminan. Para undangan dipersilakan menikmati hidangan. Dina melirik pria yang duduk di sampingnya. Hampir empat tahun mereka tidak bertemu. Badan Wira terlihat tambah tinggi dan besar. Wajah tampannya tidak terganggu oleh wajahnya yang tanpa ekspresi. "Kalian mau makan dengan menu apa?" Nana, ibunya Dina mendekati mereka. "Saya nanti saja makan. Setelah pulang dari masjid." Suara lembut Wira menjawab pertanyaan lembut ibu mertuanya. "Kamu Dina?" "Belum lapar." "Ya sudah. Jam sebelas acara selesai. Kalian langsung masuk kamar. Setelah salat Jumat kita langsung pergi ke hotel." Nana meninggalkan sepasang pengantin itu. Sepasang pengantin sudah beberapa kali berpose di depan pelaminan. Dina diam saja, walau perasaannya ingin bicara. Dina merasa harusnya Wira yang lebih dulu memulai bicara. Tapi tampaknya Wira tipe kulkas sepuluh pintu. Dina merasa Wira tidak berubah masih sama seperti dulu. Saat Wira menjadi guru mengajinya. Dua orang gadis kecil mendekati mereka. "Halo, Kak Dina. Aku Via, adik Bang Wira. Ini Sifa, kepompongku." Kedua gadis itu mengulurkan telapak tangan kepada Dina. Dina menyambut uluran tangan mereka. "Kepompong?" Dina heran dengan perkataan kepompong. "Ke pom pong." Via berusaha menjelaskan dengan mengeja kata itu. "Kepompong?" Dina masih belum mengerti. "Abang betirahu dong!" Via memukul lengan abangnya. Wira tersenyum. Dina terpana melihat senyum manis Wira. "Keponakan, Sayang." Mata Zia dan Sifa melotot. Lalu terdengar kedua gadis itu bersorak. "Yeay. Paman reken. Baru nikah saduh panggil Sayang." Sifa tampak senang sekali. "Hah!" Wira terkejut dengan kesalahpahaman keponakannya. Mata Dina melotot. Dina tahu yang dipanggil sayang adalah Via, bukan dirinya. Karena itu Dina melotot ke arah Via. "Via yang Abang panggil sayang." Wira menjelaskan. "Paman takung ngesel!" Sifa cemberut wajahnya. "Tukang ngeles." Wira tersenyum mendengar ucapan keponakannya yang kepleset kata. "Heum." "Hey, kalian bedrua jangan mengganggu pengantin!" Zia mendekati adik dan putrinya. "Maaf ya, Dina. Adik dan anakku ini memang kepo." Zia meminta maaf kepada Dina. "Kak Zia!" "Iya. Lama selaki kita tidak betermu." Dua orang wanita itu saling peluk. Sebelum acara pernikahan, memang tidak ada acara pertemuan di antara keluarga. Karena waktunya yang sangat mepet. Hanya kedua orang tua saja yang bertemu. Untuk memantapkan rencana pernikahan. "Kamu saduh sukses menjadi sarjana, dan menjadi bos di pesurahaan. Kamu hebat selaki." Zia tersenyum manis pada saudara iparnya. Dina merasa aneh mendengar ucapan Zia, tapi berusaha memahami. "Kak Zia juga hebat. Sudah jadi Ibu." "Kami ini punya nama. Trio keselepet kata!" Sifa yang bicara sambil tertawa. "Oh begitu." "Kami bertiga lakau biraca memang sering keselepet kata. Semoga perlahan kamu bisa memahami ucapan kami. Kami saduh mencoba, biraca dengan normal. Tapi itu sulit bagi kami." Zia menjelaskan. "Oh. Itu tampak asik. Tidak masalah bagiku bicara dengan Kak Zia, Via, dan Sifa." Dina senang bertemu dengan Zia, Via, dan Sifa. Mereka orang yang ramai diajak bicara. Tidak diam saja seperti patung yang ada di sebelahnya. Walaupun tadi sempat bicara juga. Tapi hanya bicara kepada adik dan keponakannya. Wira seperti kulkas sepuluh pintu bagi Dina. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN