PART. 4 SUEDIRTA MAHAPUTRA

1017 Kata
Tidak terasa hari sudah menunjukkan pukul sebelas. Para tamu undangan sudah habis. Keluarga Ramadan juga sudah pulang. Kedua mempelai masuk ke dalam kamar. Dina mencoba melepas hiasan di rambutnya. Sementara Wira masuk ke kamar mandi. Wira keluar dengan sudah mengenakan pakaian. Dina menatapnya dari cermin. Tubuh Wira tampak gagah dengan gamis warna putih. Kopiah juga warna putih. "Aku pamit salat Jumat." "Iya." Pembicaraan yang terasa kaku diantara mereka berdua. "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Wira membuka pintu lalu beranjak ke luar. Wira sangat berbeda dengan Dirta mantan calon suaminya. Dirta sama seperti dirinya. Sangat suka bicara, humoris, dan memiliki banyak teman. Kalau Wira .... 'Kenapa aku membandingkan mereka. Kamu baru saja patah hati, Dina. Apa masih percaya dengan pria. Pria yang terlihat sangat baik seperti Dirta bisa mengkhianatimu. Jangan lantas percaya pada pria yang tidak kamu kenal dengan baik. Ingat! Jauhkan dirimu dari Wira. Setelah menikah kalian langsung berpisah!' Dina meyakinkan diri kalau ini hanya pernikahan sandiwara. Paling tidak hanya bisa bertahan dua atau tiga bulan saja. Setelah itu mereka berpisah dan menjalani hidup masing-masing. Dina merasa tidak ada kecocokan sedikitpun dirinya dengan Wira. Wira sangat pendiam. Dina tidak suka pria pendiam. Di rumahnya tidak ada yang pendiam. Kedua orang tuanya senang bicara. Apalagi ibunya cerewet. Kedua kakaknya juga cerewet kepadanya. Wira tidak akan bisa menyatu dengan keluarga mereka. Dina menyelesaikan melepas hiasan kepala dan melepas pakaiannya. Lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian keluar dari kamar mandi, mengambil pakaian ganti di dalam lemari. Setelah salat Jumat, mereka akan berangkat ke hotel. Untuk persiapan acara malam ini. Kemarin Dina sudah melihat persiapannya. Konsep acara sesuai dengan yang ia bicarakan dengan Dirta. Tapi bukan Dirta mempelai prianya, melainkan mempelai pengganti, Wira. Dina teringat masa lalu. Saat ia masih SD. Dina suka sekali dengan Abi. Pamannya Wira. Wajah dan sikap Abi seperti Wira. Dingin tapi sangat menggoda. Sehingga Dina kecil menyukainya. Dina berharap, bisa menikah dengan Abi kelak. Namun ternyata Abi menikah dengan anak tiri dari saudara kembarnya, Fani. Dina merasa kecewa. Tapi karena saat itu masih kecil, kekecewaan itu hanya hadir sementara. Dina bisa melupakan kekecewaannya kepada Abi. Dina baru selesai memasang pakaian dalam. Ponsel Dina berbunyi. Dina meraih ponselnya. Nama Dirta tertulis di sana. Dina memang belum memblokir nomor kontak Dirta. Dina menarik nafas dalam, lalu ia hembuskan. "Ada apa?" Suara Dina sangat ketus terdengar. Sebagai luapan dari rasa marah dan kecewanya. Perbuatan Dirta, baginya tidak bisa dimaafkan. Penghianatan adalah perlakuan paling menjijikan. Menyakiti perasaan dengan begitu dalam. Membunuh semua angan tentang masa depan. Meluruhkan cinta yang sudah tumbuh di dalam hati. "Kamu sudah menikah?" Dirta tetap bertanya dengan tenang, meski Dinda menanggapinya dengan sangat judes. Dirta sudah terbiasa dengan sikap judes Dina. "Kenapa?" "Siapa yang menikahi kamu?" "Bukan urusan kamu!" "Katakan kepadaku, Dina!" "Aku tidak punya kewajiban apa-apa terhadapmu!" Suara Dina semakin meninggi. Dina tidak ingin menjawab apapun pertanyaan Dirta. Dina merasa tidak perlu menceritakan apapun. Hubungan mereka sudah berakhir dengan menyisakan kepahitan di dalam hatinya. "Aku sangat mencintaimu." Suara Dirta memelas dan merayu. Ini yang Dirta lakukan, saat Dina sedang mengambek kepadanya. "Cinta tidak akan membuat sebuah pengkhianatan!" Suara Dina gemetar menahan amarah. Pria tidak bertanggung jawab tidak perlu diberi celah lagi. "Aku yakin kamu juga masih mencintaiku." Suara Dirta menunjukkan keyakinan perasaannya. "Cinta yang sudah aku cabut dari dalam hatiku. Tidak ada lagi cintaku untukmu. Semua sudah berakhir karena pengkhianatan mu. Jangan hubungi aku lagi." "Aku yakin pernikahanmu hanya sandiwara." Dirta tetap keras kepala dengan pendiriannya. Dirta yakin, akan sulit bagi Dina untuk melupakannya. Hubungan mereka sudah berjalan selama dua tahun. Sudah sampai pada titik pernikahan. Tapi Dirta tidak menyangka, kalau wanita yang ia tiduri, hamil anaknya. Dirta sungguh menyesal melakukannya. "Apapun yang kamu pikirkan. Terserah padamu. Sandiwara atau tidak, ini pernikahanku. Bukan pernikahan kamu." "Dina, aku hanya khilaf. Cintaku benar-benar hanya untukmu." "Khilaf yang sulit dimaafkan dan dilupakan. Tidak ada lagi cintaku untukmu. Hubungan kita sudah berakhir!" "Dina. Kamu tidak akan bahagia, menikah dengan pria yang tidak kamu cintai dan tidak mencintaimu." "Itu urusanku. Bukan urusanmu." "Aku merasa bertanggung jawab atas kebahagiaanmu." Dina tertawa mendengarnya. "Kalau kamu merasa punya tanggung jawab. Kamu tidak akan mengkhianati ku. Kami tidak perlu mencari mempelai pengganti untuk menggantikan kamu. Allah Maha Baik. Diberikan kami seorang pria yang bersedia menggantikan kamu." Dina merasa lucu mendengar kalau Dirta bertanggung jawab atas kebahagiaannya. Sementara ia sakit hati karena ulah Dirta. "Huh! Aku penasaran siapa lelaki itu." "Jangan penasaran dengan urusan orang. Urus saja dirimu sendiri. Selamat siang!" "Dina!" Dina tidak peduli lagi. Langsung ia blokir nomer Dirta. Pria yang selama dua tahun ini ia cinta. Dalam dua tahun berhubungan Dina menerapkan aturan. Tidak boleh ada kemesraan berlebihan di antara mereka. Dina berpikir, mungkin itu yang membuat Dirta berselingkuh darinya. 'Huh! Pria zaman sekarang apa tidak bisa menahan nafsu. Bukan cinta yang membuat pria diizinkan menyentuh kekasihnya. Tapi akad nikah yang suci. Aku memang wanita modern. Tapi aku tidak ingin terperosok dalam hubungan yang menghadirkan dosa. Cukup hati yang saling mencinta. Tubuh di belenggu agar tidak berbuat dosa. Hal ini sudah ditanamkan ibuku sejak kecil. Dan terus kuingat sampai sekarang. Aku melihat Dirta sebagai pria baik. Bukan lelaki m***m yang bisa dicurigai. Tapi ternyata, nafsunya tidak bisa dikuasai. Tidak aku izinkan menyentuhku, justru menyentuh wanita lain. Biar ku tanggung rasa sakit ini. Akan aku perlihatkan kepada dia, meski tanpa dia, hidupku pasti baik-baik saja.' Pintu terdengar dibuka. Dina sangat terkejut mendengarnya. Wira berdiri mematung di ambang pintu. "Maaf." Pintu segera ditutup. Dina masih melongo. Kemudian menyadari keadaannya. Dengan wajah merah padam, Dina mengenakan pakaiannya. Dina bergegas keluar. Dina mencari Wira. "Bang Wira ke mana, Acil?" Dina bertanya kepada Nina. Nina adalah adik bungsu ibunya. "Barusan pergi dengan Abangmu. Ada apa?" "Tadi dia ingin masuk ke kamar. Tapi aku sedang pakai baju. Lalu dia batal masuk ke kamar." "Suami kamu pendiam sekali. Sangar berbeda dengan ...." Nina tidak meneruskan kalimatnya. Nina sadar harusnya tidak membandingkan Wira dengan pria lain. "Maafkan aku." "Tidak apa, Acil. Aku masuk kamar dulu." "Iya." Nina merasa bersalah pada keponakannya. Harusnya ia tidak membicarakan lelaki pengkhianat itu lagi. Dirta harus dilupakan. Wira yang sekarang menjadi penghuni rumah mereka. Meski Wira pendiam. Nina yakin Wira tidak memiliki kekurangan. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN