PART. 9 MOMEN MEMALUKAN

1037 Kata
Dina menatap Wira yang tertidur. Dina kemudian bersiap untuk salat isya. Dina selesai salat isya, langsung berbaring di atas ranjang. Dina merasa sangat lelah tubuhnya. Karena perasaan lelah yang melanda, sebentar saja Dina sudah tertidur. Dina terbangun karena merasa sakit perut. Dina menatap Wira yang tidur di sofa. Sofa yang untungnya cukup besar, sehingga muat untuk Wira berbaring di sana. Dina berdiri dari duduk, lalu melangkah ke kamar mandi. Dina baru menyadari kalau datang bulan. Untungnya Dina membawa pembalut. Dina ke luar kamar mandi, menyiapkan pembalut. Setelah siap, Dina masuk lagi ke kamar mandi untuk mengganti celana dalam. Setelah selesai Dina keluar kamar mandi. Dan kembali tidur. Dina tidur tidak terbangun lagi, sampai mendengar suara Wira membangunkannya. "Dina bangun." Dina membuka mata. Wira ada didekatnya. Karena terkejut Dina langsung bangun. "Ada apa?" "Salat subuh." "Aku tidak salat." "Hah. Kenapa?" "Aku datang bulan." "Oh, maaf." Wira langsung melangkah menuju kamar mandi tanpa bicara apa-apa lagi. Dina menatap punggung Wira. 'Ada ya orang seperti dia. Huh! Untung hanya suami sementara. Kalau suami benar bisa diserang hipertensi aku!' Dina kembali berbaring dengan perasaan kesal. Dina berusaha untuk melanjutkan tidur. Sementara Wira berwudhu di kamar mandi. Kemudian salat subuh sendirian. Setelah salat subuh, Wira mengaji. Dina terbangun karena mendengar suara Wira yang merdu. Suara lembut dan merdu. Merasuk ke dalam jiwa. Dina berbaring menghadap ke arah Wira. Dina terpesona melihat Wira duduk tenang, membaca Al'Quran. Wira tampak tampan sekali. Tubuhnya besar, tapi tampak sesuai dengan wajahnya. Dina merasa melihat cahaya memancar dari tubuh Wira. 'Hih! Apa aku sudah gila. Mana ada cahaya memancar dari tubuh manusia. Sadar, Dina. Masa, setelah patah hati, hatimu langsung tergoda pada patung si kulkas sepuluh pintu ini. Jangan sampai!' Dina mengomel pada dirinya sendiri. "Kamu tidak ingin sarapan?" Dina menatap Wira. "Kamu bicara sama aku?" "Iya." "Aku mandi dulu." Dina ingin turun dari tempat tidur. Kakinya tersangkut di selimut. Dina tersungkur di lantai. Lutut di kaki satunya menumbuk lantai. Walau lantai memakai hambal tebal tetap terasa sakit. "Astagfirullah hal adzim." Wira melangkah lebar. Wira melepas kaki Dina dari selimut. Lalu mengangkat Dina ke atas tempat tidur. "Sakit sekali." Dina meringis karena lutut kaki yang satunya terbentur lantai. Wira memeriksa lutut Dina. "Lutut kamu memar. Kamu bisa jalan tidak?" Dina meringis lagi saat akan menurunkan kakinya ke lantai. "Pinggulku juga sakit." "Sekarang kamu mandi dulu. Setelah mandi kita ke rumah sakit." "Tidak mau!" Mata Dina yang sipit melotot. Wira jadi ingat mata Ara dan anak-anaknya. "Kalau tidak dibawa ...." "Aku tidak mau ke rumah ... arghh!" Dina yang berusaha berdiri terduduk lagi. "Sekarang mandi dulu." "Aku tidak bisa berdiri bagaimana?" "Ya sudah tidak usah mandi. Ganti popok kamu saja." "Pembalut bukan popok!" "Iya, maafkan aku." Wira mengangkat Dina masuk ke dalam kamar mandi. Dina di dudukkan di atas closet. "Aku ambilkan pembalut dan celana dalam kamu dulu." Sebelum sempat menjawab, Wira sudah keluar dari kamar mandi. Dina terbengong, wajahnya merah padam membayangkan Wira memegang celana dalam dan pembalutnya. Yang pernah melakukan itu hanya ibunya saja. Wira masuk ke kamar mandi dengan membawa pembalut yang sudah dipasang ke celana dalam. "Pegang dulu. Aku ambilkan sikat gigi dan odol." Wira menyerahkan celana dalam yang dipasang pembalut. Lalu mengambil sikat gigi yang diberi odol. Wira menyerahkan sikat gigi dan odol ke tangan Dina. Wira memegang lagi celana dalam dan pembalut. Dina menyikat gigi. Dan mencuci muka. Wira ke luar untuk memberi kesempatan Dina mengganti celana dalam. "Panggil aku kalau kamu sudah selesai." "Iya." Wira keluar kamar mandi, kemudian mengambil baju ganti untuk Dina. Pekerjaan seperti ini memang jarang Wira lakukan karena belum memiliki istri. Tapi Wira tahu bagaimana caranya. Karena abba dan Risman seperti itu memperlakukan amma dan Zia. Jadi bukan hal aneh lagi bagi Wira. "Sudah selesai!" Suara Dina terdengar dari ambang pintu. Wira menatap Dina. "Gendong! Aku susah jalan!" "Oh iya." Wira menggendong Dina. Kemudian diturunkan di atas kasur. "Baju kamu sudah aku siapkan. Bisa ganti sendiri atau perlu aku bantu?" "Kamu ke luar kamar sana. Aku ganti baju sendiri." "Baik." Wira melangkah ke luar dari kamar. Dina menarik nafas lega. Jantungnya terganggu parah berada dekat Wira. Dengan susah payah Dina mengganti pakaian. Setelah mengganti pakaian Dina berusaha berjalan menuju pintu kamar. Wira terkejut saat Dina membuka pintu kamar. Wira mendekat. "Kita ditunggu di restoran untuk sarapan. Kamu aku gendong saja." "Tas ku." "Aku ambilkan." Wira mengambil tas miliknya juga tas Dina. Kemudian Wira menggendong Dina setelah mengunci pintu kamar. Wira dan Dina tidak peduli mereka jadi pusat perhatian. "Dina kenapa?" Ibunya bertanya dengan cemas. "Jatuh dari ranjang." "Kok bisa?" Dina ingin menjawab dengan berbohong, ia jatuh karena Wira terlalu besar badannya. Tapi Dina tidak berani. Takut Wira marah kepadanya. "Kok bisa, Dina?" "Saat ingin turun dari ranjang. Sebelah kakiku sangkut di selimut. Lutut yang satunya membentur lantai. Jadi sakit sekali." "Kita ke rumah sakit ya." "Tidak mau!" "Susah sekali kalau mau dibawa ke rumah sakit. Ini nanti bagaimana mengobatinya." "Ini tidak apa-apa. Pasti sembuh sendiri." "Sabar ya, Wira. Dia memang keras kepala." "Tidak apa-apa." Mereka hanya makan berempat saja. Karena semua keluarga pulang tidak menginap di hotel. "Kalian ingin lanjut menginap, atau ingin pulang hari ini?" Tanya Nana. "Pulang saja." Dina yang menjawab. "Ya sudah. Kalau begitu nanti ibu bantu membereskan barang-barang. Setelah itu kalian langsung pulang. Kalian ingin pulang ke rumah ibu, atau ke rumah Wira?" Nana menatap Wira. "Kita kan tidak nikah beneran. Ya pulang ke rumah masing-masing saja." Dina menjawab dengan santai. "Kalian itu nikah sungguhan. Pakai akad nikah sungguhan pula. Lagi pula kalau kalian tinggal terpisah, tidak akan baik di mata orang." Prana berkata lembut kepada putri kesayangannya. "Ya sudah. Pulang ke rumah kita saja. Tapi aku tidak mau tidur satu kamar dengan dia." Dina menolak satu kamar dengan Wira. "Sebaiknya, kalian menginap di rumah Wira dulu. Begitu seharusnya sebagai sepasang pengantin baru." Prana memberi usul seperti itu. "Kamu tidak keberatan, kalau Dina menginap di rumah kamu beberapa hari?" Nana bertanya kepada Wira. "Tidak. Silakan saja." "Terima kasih, Wira." "Di rumahmu ada berapa kamar?" Tiba-tiba Dina bertanya tentang jumlah kamar di rumah Wira. "Dua kamar tidur." "Dua kamar tidur. Untuk kamu satu, untuk orang tuamu satu. Lalu adik kamu tidur di mana?" "Orang tua dan adikku tidur di rumah mereka sendiri." "Jadi di rumah kamu hanya ada kamu sendiri?" "Iya." "Oh ...." *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN