Sampai malam tiba, Laras kesulitan sekali untuk keluar. Makan saja pelayan harus membawakan ke kamar. Beberapa hari dilalui seperti itu. Sebastian juga tidak pernah datang melihatnya. Barangkali sedang sibuk dengan memperbaiki citra diri.
Laras pun sadar jika tak lama lagi Sebastian akan menggunakan dirinya sebagai alat untuk menaikan citranya. Dia sebenarnya tak terganggu hanya saja menurut Laras sangat keterlaluan membuatnya tak bisa keluar.
Seperti sebuah rutinitas baru Laras akan menunggu makanan datang tepat di depan pintu. Biasanya hanya saat pelayan datang Laras bisa mengobrol meski jarang dibalas. Pintu yang terkunci akhirnya terbuka memperlihatkan seorang wanita muda membawa nampan berisi makanan serta minum.
Laras tersenyum hendak menyapa tapi sebelum suaranya terdengar, pelayan itu melemparkan makanan Laras jatuh ke lantai. Pelayan itu mendecak sebal, tatapan sinis terlihat saat memandangi Laras. "Udah untung aku bawain makanan, gara-gara kamu telat ambil lihat makanannya jatuh jadi nggak ada jatah makanan lagi buat kamu."
Pelayan itu berbalik, memperlihatkan senyum kemenangan. Laras yang terpaku sesaat buru-buru maju ke depannya tangannya langsung menarik keras rambut si pelayan. Tubuh si pelayan mundur ke belakang dan dia memberontak.
"Lepaskan rambutku sialan! Dasar wanita gila!" bentak si pelayan.
"Maksudmu apa?! Kau yang salah kenapa aku harus menanggungnya dasar jalang!" Laras mendorong keras tubuh si pelayan, membuatnya menabrak dinding.
Si pelayan ambruk jatuh ke lantai. Kepala yang terasa pusing dan badan kesakitan tak serta membuat Laras mengasihaninya. Laras memaksa pelayan itu berdiri, memaksa dia untuk pergi ke suatu tempat.
***
Seorang pelayan begitu tergesa-gesa menuju ruang kepala pelayan. Dia mengetuk cepat pintu tak sabaran cukup mengusik ketenangan pemilik kantor. Pria berusia 40 tahunan keluar dengan ekspresi kesal, dia melotot melihat pelayan kecil yang tampak menunduk ketakutan.
"Ada apa? Saya masih punya banyak pekerjaan di sini," ucapnya dengan nada tenang namun terdengar tegas.
"Gawat Tuan Gino, tamu Tuan Besar berulah. Dia sepertinya akan menghabisi nyawa Kina." Gino---Kepala Pelayan di rumah itu lekas menuju dapur di mana banyak sekali orang berkumpul.
"Ampun Nona tolong jangan sakiti Kina. Kami akan mengganti makanan Anda secepatnya." Gino berjalan ke depan menemukan Laras menekan kepala Kina, pelayan yang tidak sopan padanya pada bak cuci piring penuh dengan air.
Kina tampak kepayahan tapi Laras tidak peduli. Setelah di rasa cukup barulah dia menarik Kina ke atas untuk memperoleh oksigen. "Ada apa ini?" tanya Gino dengan suaranya yang berat.
"Tuan tolong aku, dia akan mem..." Belum sempat menyelesaikan ucapannya Laras kembali mendorong Kina ke dalam air.
"Hentikan Nona! Hentikan, kau bisa membunuhnya." Gino menegur tapi Laras melotot ketika melihat pria itu mencoba mendekat.
"Jika kau ingin dia hidup sebaiknya jangan pernah berpikir untuk mendekatiku." Laras lagi-lagi menarik kepala Kina dan kali ini dia histeris. "Perempuan ini membuat makananku jatuh, aku bersikap baik padanya tapi dia begitu sombong aku harus memberikannya pelajaran."
"Nona ini bisa kita bicarakan baik-baik. Saya akan menggantikan makanan Anda, tapi tak perlu Anda menghukumnya seperti itu. Biar saya menghukum wanita ini karena bertindak tak sopan kepada Nona selaku tamu di sini." Gino mencoba bernegosiasi, dia tak menyangka tamu kali ini begitu berani menyakiti pelayan di sini.
Laras berbalik menatap Kina yang ketakutan. "Jawab dengan jujur. Apa kau diperintahkan oleh Tuan Besarmu agar melakukan ini padaku? Apa kau memperlakukan sahabatku juga seperti itu?!" Masih dengan emosi Laras membentak makin membuat Kina ciut.
"Nona saya..."
"Ayo jawab!" potong Laras tegas.
"Baik saya akan bicara tapi tolong lepaskan Kina. Saya akan jelaskan semua pada Anda termasuk bagaimana hubungan Tuan dan sahabat Nona." Laras segera melepas Kina yang segera berlari entah ke mana.
"Ayo kalian semua lakukan pekerjaan kalian masing-masing, siapkan makanan untuk Nona ini dan aku peringatkan pada kalian semua. Tolong layani tamu Tuan kita dengan baik. Aku harap apa yang terjadi di tempat ini bisa menjadi pembelajaran untuk kalian semua."
Gino kemudian beralih memandangi Laras. "Mari Nona silakan ikuti saya. Saya akan menjawab semua pertanyaan yang Anda berikan sebisa saya."
***
Sebastian akhirnya sampai di kediaman. Dengan wajah lelah dan kesal, dia berjalan masuk. Lucy belum ditemukan membuat segala konsentrasi Sebastian pecah.
Baru saja melangkah, Sebastian mendengar suara mengganggu dari ruang keluarga. Dia berjalan lebih cepat menemukan Laras tertawa menonton TV. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau ada di sini, bukan di kamar?" tanya Sebastian datar dengan tatapan menajam.
"Aku di sini menonton TV soalnya mereka tidak berani mengunciku." Laras membalas santai. Gino segera menghampiri, menundukkan kepala sebentar ke arah Sebastian.
"Tuan, Nona Laras menganiaya seorang dari pelayan. Kami tak berani mengganggunya lagi."
"Lalu apa? Dia itu sanderaku bukan tamu. Kenapa tidak berani melawan wanita lemah seperti dia?" tanya Sebastian mulai emosi.
"Tuan saya tak berani. Nona ini berbahaya saya tidak ingin mencelakai para pelayan."
Sebastian kemudian beralih pada Laras. "Apa yang kau lakukan pada pekerjaku?" tanya Sebastian.
Laras mengalihkan pandangan, senyumnya yang cerah seakan mengejek pemilik rumah. "Aku membuatnya tak bisa bernapas."
"Ok sudah cukup mainnya." Sebastian mematikan TV dan mencoba mengambil paksa tangan Laras tapi kalah cepat, perempuan itu segera menjauh.
"Aku bisa sendiri kok jangan memaksaku. Gino, bawakan makan malamku di kamar." Laras kemudian berjalan pergi seraya bersenandung kecil.
"Gino matikan semua barang elektronik yang terhubung dengan wifi. Kau nonaktifkan TV jangan sampai dia menonton lagi."
"Baik Tuan." Sebastian kemudian menuju ruang kerja. Suara notifikasi menjadi pusat perhatian, ada nama Elsa di sana dan dengan cepat dia menaruh kembali ponsel ke meja.
Tengah malam. Akhirnya Sebastian selesai dengan dokumen-dokumen pekerjaan. Dia bergerak keluar dari ruang kerja menuju lantai atas ke kamar tidur.
Langkah Sebastian terhenti. Di hadapannya, kamar yang digunakan oleh Laras terbuka lebar sedang ia mendengar wanita itu tertawa.
Sebastian bergerak melewati kamar, dari arah pintu dia bisa melihat Laras tengah berbaring sambil membaca sebuah surat. Lagi langkah Sebastian berhenti lalu dalam hitungan detik dia masuk dan merebut surat yang dibaca oleh Laras.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Laras tak terima.
"Dari mana kau dapat surat ini?" Sebastian balik bertanya.
"Itu kan Surat milik temanku, memangnya aku tidak bisa membacanya?"
"Tentu tidak bisa, ini surat pribadi hanya dia yang bisa membacanya. Kau tak sopan sekali membaca surat cinta untuk sahabatmu sendiri!" seru Sebastian emosi.
"Kau ini kenapa? Tiba-tiba saja datang dan ambil surat itu sesukanya. Itu bukan milikmu!" Laras ikutan kesal tak mau kalah.
"Siapa bilang surat ini bukan milikku?!" Mereka sama-sama diam. Keduanya tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Sebastian.
"Apa? Surat itu milikmu? Maksudmu kau menulis surat itu untuk sahabatku?" Laras yang awalnya duduk mendadak berdiri, dia bergerak mendekat sedang Sebastian melangkah mundur.
"Kau yang menulis semua kata-kata itu? Aku tak percaya bos rupanya romantis sekali."
Sebastian mendengus kesal lalu keluar dari kamar tanpa berniat membalas. Dia malu, sangat malu. Wajahnya bahkan memerah meski ekspresinya terkesan jengkel. "Sial kenapa harus di depan wanita itu."