Sora yang sebelumnya selalu didaftarkan oleh orangtuanya saat akan mengambil les di luar sekolah, kali ini ia belajar untuk mendaftarkan dirinya seorang diri.
Ia pun sebenarnya belum bicara dengan ayahnya soal dirinya yang mengambil les tambahan untuk ujian, hal itu dikarenakan ayahnya yang belum pulang ke rumah sejak kemarin. Sudah menjadi hal yang biasa terjadi. Dan Sora akan memberitahu ayahnya saat ia ingat nanti atau menunggu ayahnya yang akan bertanya padanya jika ia lupa untuk memberitahu.
Tidak begitu sulit untuk mengisi formulir pendaftaran masuk les di tempat seperti ini, tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Tak lupa sebelum mendaftar, Sora membaca aturan – aturan yang berlaku di tempat ini, termasuk pembagian jam – jam masuk kelas. Ternyata ada pilihan kelas sore dan malam.
Sebelum memutuskan, Sora mengingat kembali kegiatannya sehari – hari dan menghitung – hitung waktunya. Pada akhirnya Sora memilih kelas malam yang dimulai pukul delapan malam dan selesai pukul sepuluh. Setidaknya ia ingin memberi waktu pada tubuhnya untuk istirahat sejenak sepulang sekolah.
“Untuk uang mukanya.. Apa bisa menyusul saat kelas pertama nanti? ATM yang aku lewati tadi kehabisan uang tunai.” , tanya Sora sambil menunjukkan senyum ragu.
“Ne, gwaenchanhayo (Iya, tidak apa – apa).” , wanita muda berusia sekitar 24 tahun yang melayani pendaftaran Sora. tersenyum lebar dengan mudahnya. Wajahnya ramah dan terlihat hangat. Rambutnya lurus sebahu berwarna coklat agak gelap.
“Kapan akan mulai masuk kelas?” , tanya wanita muda tersebut, yang duduk dibalik meja bar resepsionis.
Sora mengetuk – ngetuk jari telunjuknya pada meja bar resepsionis sambil menimbang – nimbang keputusan dalam pikirannya, “Mmm.. Jika aku baru mulai besok, tidak apa – apa?”
Resepsionis tersebut tersenyum lagi seakan – akan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah sebuah ibadah rutin yang harus ia lakukan, “Iya, tidak apa – apa. Perlu diingat salah satu aturan yang berlaku disini, yaitu, jika tidak masuk kelas sebanyak tiga kali berturut – turut, maka akan secaraq otomatis akan dikeluarkan dan tidak mendapat uang pengembalian sisa waktu belajar. Apa bisa dimengerti, nona?”
Sora mengangguk yakin, “Ne, arraseumnida. Gamsahabnida. (Iya, aku mengerti. Terima kasih).” , Sora menutup lalu meletakkan pena yang ia gunakan untuk mengisi formulir pendaftaran di atas kertas formulir dan mendorong pelan kertas tersebut beserta penanya ke arah wanita muda resepsionis tadi.
Wanita tersebut tersenyum sambil menerima dan membaca ulang formulirnya untuk memeriksa jika ada yang janggal ataupun ada yang tertinggal. Ia harus memastikan semua data yang dibutuhkan sudah lengkap.
“Baik, sudah lengkap. Tinggal uang muka pembayaran dan biaya per bulannya, ya. Sampai bertemu besok, Kang Sora.” , sikap ramah dan profesional wanita muda resepsionis tersebut membuat Sora kagum. Benar – benar tahu bagaimana membuat pelanggan merasa senang dan nyaman.
Sora ingin membalasnya, dan dengan sigap ia langsung mencari sesuatu yang mengandung nama wanita tersebut. Matanya menangkap gantungan ponsel yang terpasang pada ponsel yang ada di meja resepsionis, dengan senyum percaya diri Sora membalas wanita tersebut, “Sampai bertemu besok Kim Yejin-sshi.”
“Ne (Iya)?” , sahut seorang wanita berambut ikal panjang yang baru datang dengan dua mug berisi kopi di kedua tangannya. Ia menatap Sora dan rekan resepsionisnya bergantian, bertanya – tanya siapa yang baru saja memanggil namanya.
Sora yang masih belum mengerti situasinya saat ini, hanya terdiam dan saling menatap bergantian.
Wanita muda resepsionis yang berambut pendek terkekeh sambil menutupi mulutnya, “Dia Kim Yejin.” , ucapnya sambil menunjuk rekannya dengan kedua tangannya.
Sora membuka mulutnya, merasa malu atas apa yang baru saja ia lakukan, “Aah, maaf. Aku tidak bermaksud.. Kalau begitu sampai jumpa besok.” , Sora menunduk dengan cepat dan bergegas keluar dari ruang resepsionsis masih dengan menundukkan kepalanya.
Sora menggerutu dalam hati, mengutuk perbuatan memalukan yang ia lakukan barusan. Karena yang di pikirannya hanya ingin segera pergi dari tempat itu secepatnya karena malu, ia tidak sengaja menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya.
Merasa lebih malu lagi, Sora tidak berani menatap orang yang ditabrak olehnya dan hanya langsung membungkuk meminta maaf, “Choisonghabmida (Maafkan saya).” , ucapnya dengan cepat dan bergegas keluar.
Sesaat setelah Sora menerobos pintu masuk dan berhasil keluar dari sana, ia langsung menengadahkan wajahnya menatap langit dan menghembuskan nafas berusaha untuk melupakan kejadian-kejadian tadi yang memalukan baginya.
Silau dari sinar matahari menyadarkannya. Ia melihat ke tempat tadi Rei menunggunya, namun tidak dilihatnya Rei ada disana bersama sepedanya. Matanya melihat sekeliling mencari dimana keberadaan tetangga yang biasa mengganggunya dan juga sepedanya. Pandangannya berhenti ke arah pohon dekat jalan raya yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dilihatnya Rei yang tengah berteduh dibawah pohon sambil berdiri bersandar pada pohon yang batangnya kurus tersebut dengan satu kaki yang juga ia sandarkan. Matanya begitu fokus pada ponsel yang berada di tangannya, juga dengan telinga yang disumpal headset.
Sinar matahari yang sudah berubah warna menjadi jingga membuat pemandangan yang sedang Sora lihat menjadi begitu indah di matanya. Sebenarnya hanya dengan melihat Rei pun sudah menjadi pemandangan indah yang bisa membuatnya betah untuk menatapnya lama.
Sebenarnya Sora lebih menyukai Rei di musim semi. Rei yang berbadan kurus, sangat cocok dengan seragam sekolah yang berwarna putih. Hangatnya udara musim semi benar-benar cocok untuk Rei yang ceria dan hangat pada dirinya. Walaupun begitu, Rei yang di musim gugur pun terlihat menawan dengan jas seragam sekolah mereka. Hal yang tidak Sora sadari adalah, seseorang akan terlihat indah bagaimanapun penampilannya jika kita benar-benar jatuh cinta padanya.
Entah berapa lama Sora berdiam di tempatnya, larut dalam lamunannya menatap Rei di kejauhan. Hingga akhirnya lamunannya disadarkan oleh Rei yang melambaikan tangan padanya menyuruhnya untuk segera datang ke tempatnya. Sora pun mengiyakan, ia berusaha untuk terlihat biasa saja saat menghampiri Rei, walapun hal yang ingin ia lakukan adalah berlari dan segera memeluknya.
“Apa tadi kau harus mengerjakan tes lima puluh soal? Kenapa lama sekali, kulitku hampir gosong karena kepanasan.” , keluh Rei sambil melepas headsetnya dan menggulungnya sebelum memasukkannya ke dalam kantung celananya.
“Auh, kulit bayimu sensitif sekali. Sekali-kali kau harus dijemur matahari pagi.” , balas Sora sambil menampar pelan tangan Rei.
“Hei Sora, apa kau tidak merasa kalau kau ini kasar sekali untuk ukuran perempuan?”
Sora yang baru menaikkan standar sepedanya, langsung menatap Rei dengan sengit, “Lalu apa kau sendiri tidak merasa kalau kau ini terlalu lemah untuk ukuran laki-laki?”
Rei sama sekali tidak terpancing dengan cemoohan Sora, ia tersenyum dengan bangga, “Aku tidak bermain dengan fisik, nona. Lagipula lihat dirimu, semua lemakmu terbuang karena terlalu sering berolahraga.” , Mendengar hal itu, Sora langsung melihat tangannya yang memang lebih kecil dibandingkan Rei.
“Jangan terlalu memaksakan dirimu.” , tambah Rei sambil menunjukkan senyum penuh kemenangan karena berhasil membuat Rei terdiam. “Ayo, pulang.” , katanya lagi sambil menuntun sepedanya lebih dulu. Sora menatap punggung Rei dengan sinis.
***
Angin dingin bertiup lebih kencang saat mereka melewati jembatan Jamsu. Sora menenggelamkan semua lehernya hingga mulutnya pada syal abu-abu yang melingkar di lehernya. Rei yang tadinya berjalan dibelakang Sora,mempercepat langkahnya hingga ia berjalna beriringan dengan Sora dan memposisikan dirinya yang berada dekat sisi jembatan untuk menahan angin yang bertiup ke arahnya dan tidak mengenai Sora sepenuhnya.
“Tadi Yuri nee-san menelponku.” , ujar Rei membuka pembicaraan.
Sora terdiam sejenak, “Oh ya? Lalu?”
“Bukan apa-apa sih hehe.” , Mendapatkan jawaban seperti itu membuat Sora tidak habis pikir. Ia menatap Rei dengan datar sambil menggeleng.
***
Keesokan paginya, tidak seperti biasanya, kali ini Sora tidak berangkat lebih awal. Ia bersandar di depan pintu gerbang rumahnya seperti sedang menunggu sesuatu. Sambil mendengarkan sesuatu dari iPodnya, ia menunggu dengan sabar dan tenang sambil sesekali menengok jam tangan berwarna putih yang melingkar di tangannya.
Sesi menunggu yang damai itu dikejutkan oleh suara roda gerbang tempat Sora menunggu tersebut digeser oleh seseorang dari dalam. Segera Sora menyingkirkan bahunya dari gerbang agar tidak terjepit.
“Loh, Sora? Kau belum berangkat?” , tanya ayah Sora yang melihat putri kesayangannya masih berdiri di depan gerbang rumah mereka. Sora hanya membalasnya dengan menggeleng sambil tersenyum.
Ayahnya berpikir sejenak, “Apa tidak ada latihan hari ini?” , tanyanya lagi yang dijawab dengan senyuman dari Sora.
“Hari ini aku sedang berhalangan. Jadi aku izin tidak ikut latihan.”
Ayahnya Sora mengangguk mengerti. Melihat situasi ini, ia tidak ingin menyia-nyiakannya. Ia pun berniat untuk mencoba lebih mengakrabkan diri dengan anaknya, “Mau appa antar ke sekolah?”
Namun ayahnya Sora harus menelan kekecewaan saat Sora menggeleng sebagai jawaban. Namun kali ini, ia membuka suara, “Aku sedang menunggu Rei.”
“Kalau begitu appa berangkat dulu ya.”
Sora mengangguk, “Biar aku saja yang menutup pintu gerbangnya, appa.”
“Gomawo ne (Terima kasih ya).” , ucap ayahnya Sora sambil berlalu melewati Sora dengan mobilnya.
Tidak lama kemudian Rei keluar sambil menuntun sepedanya dan menutup pintu gerbang rumahnya. Sora yang melihat hal itu langsung menghampiri Rei sambil tersenyum seolah menunjukkan bahwa ia memang sudah menunggu Rei sejak tadi.
Rei terkejut melihat Sora yang tiba-tiba muncul di depannya, “Mwoya (Apa ini)? Kau belum berangkat? Memangnya kau tidak ada latihan hari ini?”
Alih-alih langsung menjawab, Sora berjalan menuju dudukan belakang sepeda Rei dan mendudukkan dirinya, “Kau bilang aku terlalu banyak olahraga. Jadi mulai saat ini aku akan mengurangi porsi olahragaku. Oh iya, mulai hari ini aku juga akan menumpang sepedamu untuk berangkat dan pulang sekolah.” , jelas Sora dengan senyuman yang terlihat sarkas di mata Rei.
“Nani (Apa)? Waeyo kkapjaggi (Kenapa tiba-tiba)?”
Sora memutar matanya jengah, “Ya ampun, Rei. Berhentilah berbicara dengan mencampur-campurkan bahasa. Apa kau berniat untuk menyombongkan diri karena kau darah campuran? Jjajeungna jinjja (Benar-benar menyebalkan).”
“Naui mamdaero hae (Terserah aku).” , balas Rei sambil menjulurkan lidahnya pada Sora untuk menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan apa yang baru saja Sora keluhkan padanya.
Baru beberapa menit ia bertemu dengan Rei pagi ini, suasana hati Sora langsung berubah begitu saja. Bahkan dalam pikirannya saat ini, ia sudah mendorong Rei bersama sepedanya ke sisi jurang. “Aku sedang malas untuk berdebat denganmu. Cepatlah kita akan terlambat!”
Rei tersadar bahwa matahari sudah mulai tinggi dan mereka benar-benar akan terlambat jika tetap melanjutkan perdebatan yang tak berbobot ini. Dengan pasrah, Rei mulai mengayuh sepedanya dengan Sora yang duduk dengan santai di belakangnya sedangkan ia mengayuh dengan susah payah karena bebannya dua kali lebih berat dari biasanya.
“Sebenarnya berapa berat badanmu, Sora?” , keluh Rei.
Sora sambil tersenyum licik mengingatkan kembali perkataan yang baru saja lontarkan padanya kemarin, “Kenapa? Apa aku terlalu ringan? Maaf ya, aku terlalu sering berolahraga jadi kurus seperti ini.”
Tentu saja Rei menangkap maksud dari perkataan Sora yang menyindir ucapannya kemarin. Jika Rei mau berpikir realistis saat sedang bersama dengan Sora, ia bisa saja menurunkan Sora dan menyuruhnya untuk naik bus saja yang lebih cepat. Sayangnya, jika ia sedang bersama dengan Sora, hawa nafsu untuk tidak kalah dari Sora selalu yang paling menguasai dirinya.
“Kau terlalu ringan sampai aku tidak merasakan bebanmu.” , balas Rei tak mau kalah. Ia tidak ingin disebut lemah lagi, terutama oleh Sora. Hal itu akan menjadi olok-olokan untuknya sampai setahun ke depan jika ia mengalah sekarang.
Sora sekuat tenaga menahan gelak tawanya. Pasalnya, Rei dengan jelas terdengar betapa terengah-engahnya dia saat mengayuh membawa sepedanya menanjak tanjakan yang tidak terlalu tinggi.
Pikiran Rei saat ini hanya dipenuhi oleh u*****n rasa kesalnya pada Sora. Hingga suatu ide muncul di kepalanya kala ia melihat ada polisi tidur tidak jauh di depannya. Sebuah simpul senyum jahat terlukis dengan jelas di wajahnya.
Dengan perlahan ia mencoba mengayuh sepedanya lebih cepat dan lebih cepat lagi. Kayuhannya dipercepat saat jaraknya sudah dekat dengan polisi tidur tersebut. Karena kecepatan laju sepeda yang tidak diberi rem sedikitpun, membuat sepeda Rei sedikit melompat saat ban sepeda membentur melewati polisi tidur tersebut. Alhasil, hal itu membuat Sora terkejut dan terlompat dari kursinya hingga membuat bokongnya sakit karena benturan dari besi dudukan.
“REI SIALAAAAAN!” , teriak Sora sambil memukuli punggung belakang Rei.
Yang diteriaki justru tertawa kegirangan. Gelak tawanya tak tertahankan saat rencana jailnya tersebut berhasil, “Hei! Hei! Jangan bergerak-gerak, Sora! Kau mau kita jatuh?”
“AKU TIDAK PEDULI! AKU TIDAK AKAN MATI HANYA KARENA JATUH DARI SEPEDA!”
***