Musim panas hanya tinggal beberapa hari lagi. Angin hangat musim panas yang menyejukkan cuaca yang panas akan dirindukan saat musim gugur tiba. Cuaca yang mulai dingin tidak mengisyaratkan waktunya untuk bersantai dan bermalas – malasan di balik selimut tebal yang hangat. Ujian tengah semester dan juga hari D-Day yang semakin dekat, membuat Rei dan Sora harus berusaha lebih keras.
Sora yang sadar bahwa dirinya tidak terlalu pandai dalam belajar, ia berinisiatif untuk ikut les tambahan sepulang sekolah karena dirinya tidak pandai belajar seorang diri, namun cepat mengerti jika ada yang mengajari.
“Sepertinya aku akan mulai ikut les tambahan besok.” , ujar Sora saat menerima roti bakar keju dari bibi penjual yang berjualan di depan sekolahnya. Tak lupa ia memberikan uang sebesar seribu won pada bibi penjual tersebut. “Gamsahabnida (Terima kasih).”
Rei yang sedang mencari uang di tasnya, berhenti dari kegiatannya dan menatap Sora, “Mwo (apa)? Les tambahan? Kenapa?” , selesai menjawab, ia kembali mencari uang jajan bulanan yang ayahnya berikan seminggu yang lalu yang ia sembunyikan di dalam tasnya.
“Kau tahu, seminggu lagi kita ada ujian dan aku bukan pembelajar mandiri. Aku harus diajari.”
“Sebentar, Sora. Ah! Akhirnya ketemu.” , akhirnya Rei menemukan amplop putih yang sudah sedikit berkerut – kerut. Isinya adalah uang jajan bulanannya. Mengeluarkan satu lembar seribu won dan memberikannya pada bibi penjual yang memberikan roti bakar pada Rei. “Gamsahabnida (Terima kasih).”
Sora melongo saat melihat banyaknya uang jajan bulanan yang ada di dalam amplop putih milik Rei, “Wah, uang jajan bulananmu banyak sekali, Rei.”
Rei berdecih, “Cih, aku yakin ini tidak ada apa – apanya dibandingkan uang jajan bulananmu, ya kan?”
Sora menggelengkan kepalanya sambil beranjak pergi dari situ menuju sekolahnya, “Tidak. Aku tidak pernah diberikan uang jajan bulanan oleh Ayahku.”
Setelah Rei menutup resleting tasnya, ia ikut berjalan beriringan dengan Sora, “Jinjja (benarkah)? Tidak mungkin. Lalu kau membeli roti bakar kejumu itu dengan apa? Dengan score?”
Sarkas yang dilontarkan oleh Rei mengundang gelak tawa keluar dari mulut Sora, “Tentu saja dengan uang, bodoh.”
“Lalu darimana kau mendapatkan uang jika Ayahmu tidak memberikanmu uang jajan?”
“Ini.” , Sora mengeluarkan kartu debit milik ayahnya yang ayahnya berikan pada Sora untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan kebutuhan rumah sehari – hari. “Aku hanya tinggal menarik uang dari ATM dengan kartu debit milik Ayahku.”
Langkah Rei terhenti. Mulutnya menganga mendengar apa yang baru saja Sora katakan, “Ayahmu memberikan kartu debitnya padamu?” , Sora mengangguk dengan santai.
Rei diam menatap Sora datar, “Kau kenapa?” , tanya Sora menahan tawa melihat Rei menatapnya seperti itu.
Tak diduga, Rei menarik tangan Sora dan membawanya menjauh dari sekolah, “Dasar kau orang kaya menyebalkan. Punya uang sebanyak itu tetapi tidak pernah mentraktirku sama sekali. Kau harus membelikanku sepuluh roti bakar hari ini.” , gerutu Rei sambil membawa Sora kembali ke tempat mereka tadi membeli roti bakar.
Melihat Rei seperti itu sungguh menggelitik tawa Sora. Ia bahkan tidak memiliki kekuatan untuk tertawa karena perutnya tidak bisa menahan kelucuan seperti ini, “Hei, hei, Rei! Ini bukan uangku, ini uang ayahku.”
Merasa ditipu selama ini, Rei menghiraukan Sora dan tetap melanjutkan niatnya, “Ayahmu tidak akan tahu aku menggunakan uangnya.”
Sora tidak menyangka Rei akan bertingkah selucu ini di pagi hari ini, benar – benar membuat perutnya lemas. “Hei, kita akan terlambat nanti dan kena hukuman.” , bujuk Sora.
“Tidak apa. Kita akan dihukum sambil makan roti bakar. Itu jauh lebih baik daripada duduk diam mendengarkan guru sejarah membacakan dongeng.”
Sora tidak bisa menahannya lagi. Ia hanya pasrah mengikuti keinginan Rei. Pagi ini Sora dibuat berseri – seri oleh tingkah Rei, ia tidak bisa membayangkan jika Rei mengetahui hal ini beberapa bulan kemudian, akan seperti apa reaksi Rei.
***
Sepulang sekolah, Rei menemani Sora pergi mendaftar ke tempat les yang sudah Sora seleksi diantara tempat les yang lain.
“Waah~” , mulut Rei ternganga melihat gedung dengan tiga lantai di hadapannya. “Kau yakin akan les di tempat ini, Sora?”
“Iya benar. Di alamatnya menunjukkan disini.” , Sora menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan gedung dan juga alamat tempat tersebut.
Rei mulai kesal dengan Sora yang tidak mengerti maksud dari pertanyaannya sebelumnya. “Kau benar – benar orang kaya yang menyebalkan. Ah tidak, semua orang kaya memang seperti itu.”
Sora terkekeh begitu mengerti sindiran terselubung dari pertanyaan Rei sebelumnya.
“Hei Sora, apa kau berniat untuk menikah saat dewasa nanti?” , tanya Rei tiba – tiba.
Sora mengerutkan keningnya, “Entahlah, aku tidak yakin soal itu. Kenapa tiba – tiba menanyakan hal itu?”
Rei langsung berpura – pura membersihkan jas seragamnya dari debu yang tak terlihat, “Yah, kau tahu, aku bisa menikah denganmu.” , Rei bicara sambil mencondongkan badan dan wajahnya mendekat pada Sora yang membuat Sora menjauhkan wajahnya.
Tiba – tiba saja jantung Sora berdegup lebih cepat mendengar apa yang baru saja Rei katakan dan juga melihat wajah Rei dari jarak sedekat ini, telinganya memerah.
“M-mwo.. (apa..)?”
Melihat reaksi Sora yang terlihat gugup membuat Rei langsung menjauhkan badan dan wajahnya dari Sora.
Sora menatap Rei, “... Apa maksudmu?
“Maksudku, kau pasti butuh seseorang untuk menikmati semua uang ini kan? Kau tahu, aku bisa membantumu.” , jelas Rei dengan senyum bangga.
Sora langusung mengubah mimik wajahnya. Ia sejak awal sudah sadar betul bahwa pada akhirnya yang Rei katakan adalah omong kosong belaka. Walaupun begitu, jantungnya tetap berdegup lebih cepat sejenak tadi.
Sora mendekat pada Rei dan menepuk - nepuk jas sekolahnya seakan - akan ada debu disana, “Kau tahu? Jika yang kau incar adalah uang, maka menikahlah dengan ayahku. Dia yang punya banyak uang, sedangkan aku hanyalah anaknya yang miskin dan tidak punya apa - apa.”
“Tidak. Aku hanya ingin menikah denganmu.” , Sora langsung mengernyit menatap tepat pada manik Rei.
“Kau tahu, bagaimanapun juga kau adalah anaknya. Suatu saat nanti kau pasti akan mendapat warisan dari ayahmu. HAHAHAHAHAHA.” , jelas Rei sambil tertawa dengan kedua tangannya yang ia rentangkan seperti di film – film, puas dengan rencana piciknya.
“Sepertinya kau harus coba mendaftar casting teater, Rei. Kau benar – benar berbakat.”
“Tenang saja, aku hanya bercanda. Kau serius sekali, Sora. Kau harus melihat raut wajahmu tadi.”
Sora menggeleng – geleng pasrah. Ia benar – benar sudah terbiasa menghadapi semua omong kosong dan candaan dari Rei.
“Kau mau ikut masuk ke dalam?” , tanya Sora sambil menunjuk pintu kaca besar gedung tersebut. Tak hanya pintu besarnya yang terbuat dari kaca, dinding yang berada di kedua sisi pintu pun terbuat dari kaca.
Rei menggeleng dengan cepat, “Tidak tidak. Aku akan menunggu di luar menjaga sepeda.”
Sora mengangguk mengerti, “Kalau begitu tunggu ya, aku tidak akan lama.”
“Lama juga tidak apa – apa, sayang. Aku akan selalu ada disini menunggumu.” , ledek Rei dengan sengaja. Hal itu membuatnya mendapat acungan jari tengah dari Sora.
***
Rei berdiri bersandar pada dinding dekat dengan sepeda miliknya dan juga sepeda milik Sora. Tidak seperti remaja laki – laki kebanyakan yang suka bermain game, Rei sama sekali tidak berminat pada game. Satu – satunya hal yang ia sukai adalah piano. Sambil menunggu Sora, ia menonton video permainan piano seorang pianis yang sedang memainkan lagu Cophin Nocturne Op. 9 No. 2. Lagu tersebut juga adalah yang akan Rei mainkan pada kompetisinya nanti.
Dengan seksama ia memperhatikan cara pianis tersebut memainkan piano. Mulai dari gerakan tangan, kepala, nada, dan juga jeda antar nada.
“Dia mengubahnya.” , komentar Rei saat telinganya menangkap nada yang tidak ada dalam partitur lagu Cophin Nocturne Op. 9 No. 2.
Rei yang sangat menyukai lagu tersebut, tentu sudah hafal betul dengan partiturnya. Walaupun begitu, Rei masih belum bisa memainkannya tepat seperti yang Cophin mainkan. Itu menjadi tantangan Rei untuk saat ini. Ditambah sifat perfeksionisnya, membuatnya berusaha keras untuk memainkannya sama persis dengan pengarang asli lagu tersebut.
Di tengah fokusnya dengan telinga dan matanya, sebuah notifikasi panggilan masuk muncul dengan nama kontak Yuri nee-san.
Rei segera melepas earphonenya dan mencabut kabel yang tersambung pada bagian bawah ponsel miliknya, setelah itu menjawab panggilan tersebut.
“Moshi moshi, Yuri nee-san?” , sudah menjadi kebiasaan Rei untuk bicara dalam bahasa Jepang jika lawan bicaranya itu Yuri. Karena mereka pernah bertemu dan berteman saat mereka masih kecil di Jepang.
Terdengar suara kekehan dari Yuri di sebrang panggilan, “Ya ampun Rei, apa kau akan terus bicara dalam bahasa Jepang jika bicara denganku?”
“Aniyo nee-san (tidak begitu kak)..” , balas Rei dengan sedikit malu. Ia bahkan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Haha, tidak apa. Bagaimana persiapanmu untuk kompetisi nanti?”
“Tidak begitu bagus akhir - akhir ini. Aku juga harus bersiap untuk ujian semester.”
“Ahh begitu. Aku ingin mendengar permainan pianomu. Sudah lama aku tidak melihatmu bermain piano.”
“Boleh saja, tapi.. jangan mengejekku ya, nee-san? Karena permainan pianoku tidak sebagus dirimu.”
Tawa Yuri terdengar jelas dari speaker ponsel Rei. Ia bahkan sampai menjauhkan sedikit ponselnya dari telinganya, “Hahaha kau merendah sekali, Rei. Aku tidak sehebat itu.”
“Kau yang merendah, nee-san. Bagaimana bisa mahasiswa dari universitas musik tidak hebat dalam memainkan piano? Aku merasa kecil sekali jika dibandingkan denganmu.”
“Tapi kau selalu nomor satu di tempat kursus pada waktu itu, Rei. Jangan berpura - pura lupa ya.”
Rei tersenyum geli. Tiba - tiba saja ingatan masa kecilnya dulu melintas dengan cepat dalam pikirannya, “Baiklah, nee-san. Aku juiga ingin melihatmu memainkan piano. Aku ingin lihat bagaimana seorang mahasiswa universitas musik Jepang bermain.”
“Ya ampun, Rei.. Kau membuatku gugup haha. Bagaimana jika hari ini? Kau sekarang ada dimana?”
Rei menatap ke pintu masuk yang tadi Sora masuki, “Hari ini?”
***