BAB TIGA BELAS

2872 Kata
Seowoo pergi mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada Sora hingga membuat Sora terus menghindarinya. Ia pun memutuskan untuk pergi bertanya langsung pada orang–orang. Saat ia menuruni tangga, ia mendengar sekumpulan siswi yang sedang berbincang–bincang di dekat tangga sedang membicarakan Sora. Ia berusaha sedekat mungkin dengan mereka tetapi tanpa kehadirannya diketahui oleh mereka dan menguping pembicaraan mereka. “Hei hei lihat! lihat! Heol daebak!” , ucap salah satu dari mereka yang menunjukkan foto yang baru saja dikirimkan padanya yang di dalam foto tersebut memperlihatkan Sora dan Rei yang sedang bergandengan tangan. “Apa dia siswi yang kemarin itu?” “Iya benar. Dia yang kemarin bersama Seowoo.” “Heol, bagaimana bisa?” “Wah, apa dia benar–benar jalang? Bagaimana dia bisa mengkhianati Seowoo terang–terangan seperti itu? Gila.” Seowoo tidak tahan lagi mendengar semua omong kosong tersebut. Ia pun langsung mendatangi mereka dengan tiba–tiba dan berhasil membuat mereka terkejut. “Seowoo.. sunbae?..” Seowoo tidak bisa lagi memberikan senyum andalannya pada mereka walaupun Seowoo tahu mereka pasti salah satu dari para siswi yang menyukainya. “Apa yang sedang kalian bicarakan? Siapa yang gila?” , interogasi Seowoo tanpa basa–basi. Mereka saling memandang satu sama lain saling bertanya lewat tatapan mereka, menentukan siapa yang akan menjawab pertanyaan tersebut. Siswi yang tadi memberi tahu soal foto Sora dan Rei akhirnya angkat bicara, “Sunbae, apa kau hanya dijadikan pelampiasan olehnya?” Seowoo mengernyitkan keningnya, “Apa maksud kalian?” “Kemarin kami melihat sunbae bersamanya, dan sekarang dia bergandengan tangan dengan siswa lain. Apa maksudnya itu? Apa sebenarnya hubunganmu dengannya?” Seowoo terdiam sejenak. Ia tidak ingin dirinya salah menjawab. Ia takut jawaban yang ia lontarkan akan menjadi senjata bagi Sora. Seowoo ingat betul tadi Sora mengatakan jika Sora tidak ingin terlihat bersama dengannya, dan itu semua pasti karena tatapan itu. Tatapan yang mengintimidasi bagi seseorang yang tidak ingin terlihat menonjol seperti Sora. “Dia.. adik sepupuku.” , jawab Seowoo dengan tegas. ‘Adik sepupu?!” , sahut siswi–siswi tersebut serempak membuat Seowoo menjauhkan sedikit telinganya. “Iya, dia adik sepupuku. Jadi kalian berhentilah mengatakan hal–hal buruk tentangnya. Jika kalian mencari masalah dengannya, itu artinya kalian juga mencari masalah denganku. Jadi jangan ganggu dia.” , ancam Seowoo. Mereka semua mengangguk kompak. Seowoo pun memberi mereka hadiah sebuah senyuman sebelum pergi dari situ, yang berhasil membuat lutut mereka lemas seketika. *** Bel waktu istirahat berbunyi. Siswa–siswi dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas mengakhiri kelas kedua siang ini. Berbeda dengan siswa dan siswi lainnya yang merasa senang saat jam istirahat, Sora terlihat murung dan lesu di tempat duduknya. Ia merasa malas untuk pergi ke kantin sekolah walaupun perutnya berisik minta diberi asupan makanan. Menghindari keramaian adalah prioritasnya sekarang. “Kudengar hari ini menunya sup ayam. Ya ampun membayangkannya saja sudah membuatku lapar. Ayo cepat Sora.” , ucap Rei sambil membereskan buku–buku di atas mejanya agar terlihat lebih rapi. Sora menempelkan kepalanya pada buku yang ia tumpuk–tumpuk hingga sejajar dengan bahunya agar lehernya tidak terlalu membungkuk saat ia menidurkan kepalanya di atas tumpukan buku tersebut. Mendengar ajakan Rei membuat perutnya menjadi semakin berisik, ia sampai memegangi perutnya yang bergetar memaksa Sora untuk segera makan sesuatu agar ia diam. Namun mengingat banyaknya orang di kantin, membuatnya mengurungkan niatnya. Ia tidak yakin dirinya akan sanggup makan dengan tenang dengan semua tatapan itu. Membayangkan hal itu membuat Sora semakin lesu, ia pun membalikkan kepalanya membelakangi Rei. “Kenapa? Kau tidak mau makan?” , tanya Rei mendekat begitu melihat reaksi Sora yang seperti itu. Rei membawa dirinya duduk di kursi milik meja salah satu siswa yang tempat duduknya tepat di depan Sora. Sora mengangkat kepalanya dan menatap Rei, “Apa tidak bisa kau pergi dan bawakan makan siangku kemari? Aku benar–benar tidak ingin bertemu siapapun.” “Ah, semua tatapan itu. Tidak perlu khawatir, ada ini.” , Rei menunjukkan tangannya bermaksud untuk memberi tahukan jika ia bisa berpura–pura untuk menjadi kekasihnya Sora agar mereka tidak lagi menatap Sora tajam karena isu dengan Seowoo. “Itu malah membuatku semakin terlihat sangat buruk.” , Sora kembali menidurkan kepalanya ke posisi semula. “Aku ingin segera pulang hari ini. Tetapi hari esok akan tetap datang. Bagaimana aku menghadapi hari esok huaaa.” Rei tidak tahan lagi melihat Sora tersiksa seperti ini. Ia mengepalkan tangannya begitu ia ingat siapa penyebab hal ini terjadi pada Sora, “Tunggu disini.” , Rei beranjak dari duduknya dan bergegas keluar kelas. “Mau kemana?” , sahut Sora melihat Rei yang sudah pergi keluar kelas. Ia melihat ke arah pintu kelas dan menunggu. Benar saja, saat itu juga Rei memunculkan kepalanya dari balik dinding dekat pinatu keluar kelas. “Mengambil makan siangmu.” , jawab Rei dengan wajah polos. Ia diam masih di posisi yang sama, menunggu tanggapan dari Sora. Sora tersenyum, “Terima kasih.” Rei balas tersenyum pada Sora, “Tunggu aku akan segera kembali.” , ucap Rei sebelum benar–benar pergi dari sana. Entah sudah keberapa kalinya, Sora berkata dalam hatinya bahwa ia sangat senang bisa memiliki teman seperti Rei. Ia sadar betul dirinya tidak pandai dalam berteman. Ia bahkan tidak tahu bagaimana caranya berteman ataupun memulai sebuah pertemanan. Jika mengingat–ngingat kembali, pertemanannya dengan Rei juga bukanlah sebuah pertemanan dimana salah satu harus memulainya. Semuanya berjalan dan mengalir begitu saja. Ia bahkan tidak terlalu ingat bagaimana ia bisa jadi sangat bergantung dengan Rei, tidak ingat bagaimana ia bisa merasa tidak tenang jika tidak melihat Rei untuk satu hari saja. Terkadang ia berpikir, apakah jika dulu ia ikut dengan ibunya, akan tetap bisa bertemu dan mengenal Rei seperti ini? Mungkin jika hanya bertemu, kemungkinannya cukup besar. Tetapi untuk bisa mengenalnya sedekat ini, bukanlah sesuatu yang bisa didapatkan dengan mudah. Ia merasa beruntung bisa memiliki teman sedekat ini. Hal ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya, ia sendiri tidak yakin apa ia bisa membuat pertemanan seperti ini jika bukan dengan Rei. Bagaimana jika itu orang lain? Pemikiran seperti itu membuat Sora bimbang. Ia bertanya–tanya, apakah pertemanan ini bisa terjalin sampai seperti ini bisa terjadi karena rumah mereka yang bersebelahan atau karena orang itu adalah Rei? Di tengah lamunannya, Sora mendengar langkah kaki masuk ke dalam ruangan. Hal itu membuatnya sadar kembali kepada kenyataan dan berhasil mengalihkan pikirannya sementara dari pemikiran–pemikiran seperti itu. Sora langsung tersenyum senang dan berbalik untuk melihat Rei yang datang dengan makan siangnya, “Kau cepat sekali, Rei-“ , Sora menghentikan perkataannya saat yang dilihatnya saat ini bukanlah yang ia harapkan. Sekumpulan siswi tengah berdiri di depan pintu masuk kelas bagian belakang dekat dengan loker. Mereka menatap tepat ke mata Sora. Sora yakin sekali, karena tidak ada orang lain yang ada di kelas saat ini selain dirinya. Sora menelan ludahnya berat, ia sama sekali tidak menginginkan situasi ini. Satu per satu mereka masuk dengan tangan mereka berada di balik punggung mereka, menyembunyikan sesuatu. Mereka mendekat pada Sora dan berdiri mengelilingi Sora membuat Sora gugup. “Matilah aku..” *** Alih–alih ke kantin sekolah, Rei berlari menuju ruang aula olahraga dan melihat sekeliling memperhatikan setiap orang yang ada di ruangan. Namun yang ia dapati hanya beberapa siswi yang sedang menari di sisi lapangan menirukan tarian dari ponsel salah satu dari mereka yang sedang menampilkan idol mereka sedang menarikan lagunya. Di tengah lapangan terdapat beberapa siswa masih dengan seragam sekolah dan bukannya baju olahraga, sedang asyik bermain basket. Merasa tidak menemukan yang ia cari, Rei berlari keluar sekolah dan melihat sekeliling mencari. Namun yang sedang ia cari tidak juga ada di tempat ia sekarang, Ia pun beralih ke lapangan dan memperhatikan setiap orang yang sedang bermain bola dan juga yang duduk menonton di sisi. Namun tak kunjung juga menemukan yang ia cari. “Apa kau melihat Seowoo?” , tanya Rei saat ia menghentikan salah satu siswa yang melewatinya dengan cara menahan bahunya. “Seowoo? Seperti biasa, dia ada di samping gedung sekolah.” “Ah, Terima kasih.” , Rei menepuk bahu siswa tersebut sebelum beranjak pergi menuju tempat yang tadi disebutkan. Samping gedung sekolah. Dan benar saja, ia menemukan Seowoo tengah dengan serius memperhatikan tanaman hias yang sengaja ditanam di situ. Setelah menemukan sesuatu yang menarik, Seowoo pun memotretnya dan setelah itu ia melihat hasil potretnya dengan teliti. Melihat hal itu, Rei baru tahu jika Seowoo hobi memotret. Kembali pada niat awalnya, Rei segera menghampiri Seowoo. “Hei,” , tegur Rei berhasil mengalihkan mata Seowoo dari kameranya. “Oh, Rei.” , menengok sekali, Seowoo kembali menaruh perhatiannya pada kameranya dan mengambil gambar tanaman di hadapannya. “Ada apa mencariku? Tidak biasanya..” “Seowoo- maksudku, sunbae. Apa kau tahu apa yang sudah terjadi pada Sora karenamu?” “Hm, tahu.” Rei tidak mengerti mengapa Seowoo bersikap seperti ini setelah semua yang telah Sora alami, “Apa kau tidak merasa harus bertanggung jawab atas ini? Maksudku, hal kecil seperti ini jadi besar karenamu. Mungkin ini bukanlah masalah besar bagimu. Tapi tidak bagi Sora.” Seowoo masih terfokus pada kameranya dan hanya mendengarkan Rei bicara. Hal itu membuat Rei merasa jengah, “Ibuku bilang kau harus menatap lawan bicaramu saat bicara.” , mendengar hal itu, Seowoo langsung menatap langsung pada Rei. “Nah benar begitu.” , komentar Rei merasa puas karena ia didengarkan. Seowoo melepaskan tangannya dari kameranya, membiarkan kameranya menggantung di lehernya dan berkacak pinggang pada Rei, “Jadi apa tadi kau bilang? Bertanggung jawab? Bertanggung jawab bagaimana maksudmu? Apa aku harus mengumumkan kepada semuanya bahwa Sora adalah benar pacarku dan menyuruh mereka untuk tidak mengganggunya, begitu?” “Tidak- bukan begitu. Maksudku.. Kembalikan situasinya kembali seperti semula. Jelaskan yang sebenarnya kepada mereka. Agar mereka tidak salah paham lagi dan tidak mengganggu Sora.” Seowoo terkekeh, “Memangnya mereka salah paham?” Rei sedikit terkejut mendengar hal itu, “Apa maksudmu?” , tanya Rei menuntut. “Haha tidak, bukan apa–apa. Reaksimu bung, sangat meyakinkan. Tidak perlu khawatir. Aku mengatasi hal itu.” “Bagaimana caramu mengatasinya? Apa yang kau katakan pada mereka?” , rasa penasaran sekaligus khawatir Rei tidak bisa dibendung lagi. Melihat Rei yang begitu penasaran, membuat Seowoo semakin tidak ingin memberi tahu Rei, “Jika kau begitu penasaran, kau bisa tanyakan langsung pada Sora.” “Menanyakannya langsung pada Sora? Bagaimana mungkin dia tahu?” Seowoo melihat jam tangannya dan melihat ke atas ke arah jendela ruang kelas Sora, “Aku yakin saat ini ia sudah tahu.” Rei ikut menatap ke atas ke arah jendela ruang kelasnya, ia merasakan perasaan yang tidak enak mendengar Seowoo menjawab dan bereaksi seperti itu. “Kita akan bicara lagi nanti.” , pamit Rei dan segera berlari menuju ruang kelasnya. Seowoo menatap kepergian Rei dengan tatapan menarik dan terpikirkan sesuatu dalam benaknya. *** Saat Rei hanya tinggal melewati koridor ruang kelas yang berada di belakang ruang kelasnya untuk sampai di ruang kelas, ia melihat beberapa siswi yang bukan sekelas dengannya keluar dari ruang kelasnya. Ia pun segera bergegas, takut hal buruk telah terjadi pada Sora. “Sora!” , panggil Rei saat ia sudah di dalam ruang kelasnya dengan terengah–engah. Sora berbalik dan terkejut melihat Rei yang terengah–engah seperti habis dikejar sesuatu, “Apa kau baru saja berlari?” Rei menggeleng cepat, “Kau, hah hah, baik – baik saja?” , ia berjalan mendekati Sora masih dengan nafasnya yang tersengal dan langsung menjatuhkan dirinya duduk di tempat duduknya yang berada tepat di samping Sora. Sora memutar badannya menghadap ke arah Rei, “Kau darimana berlari seperti itu? Mana makan siangku?” Dibandingkan menjawab pertanyaan Sora, Rei lebih tertarik untuk menanyakan sesuatu yang ditangkap matanya saat ini. Beberapa kotak makanan mulai dari cokelat, roti bakar yang dijual di depan sekolah, hingga tteokpokki terjejer di meja Sora. “Apa ini semua?” , tanya Rei sambil menunjuk makanan–makanan yang terjejer di meja Sora. Seketika ia teringat siswi–siswi tadi. “Apa mereka yang barusan itu yang memberikan ini semua?” Sora mengangguk polos. “Bagaimana bisa? Maksudku, kenapa?” Sora membungkukkan tubuhnya mendekat pada Rei, dan memberi kode dengan tangannya pada Rei untuk lebih mendekat. Rei menurut, ia juga mendekatkan dirinya. Melihat keadaan sekitar, setelah dirasa aman, Sora bicara dengan berbisik, “Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi pada mereka, tetapi, mereka mengira aku adalah sepupunya Seowoo sunbae.” Rei menjauhkan dirinya begitu mendengar apa yang baru saja Sora bisikkan padanya, “Sepupu?! Kau gila?!” Sora memekik melihat respon Rei, “Aku juga tidak mengerti, Rei. Mereka tiba–tiba saja datang membawa semua ini. Dan mereka bersikap baik padaku, maksudku, tidak biasanya. Lalu salah satu dari mereka mengatakan bahwa dia tidak tahu bahwa aku adalah sepupunya Seowoo sunbae. Padahal aku sendiri tidak punya hubungan seperti itu dengan Seowoo sunbae.” Rei diam. Ia teringat perkataan Seowoo tadi yang mengatakan sudah mengatasi hal ini. Rei tidak mengira begini cara Seowoo mengatasinya. “Lalu hubungan macam apa?” , tanya Rei tiba – tiba. “Apa? Hubungan apa?” “Iya, hubungan macam antara kau dan Seowoo?” Sora tiba–tiba merasa canggung. Ia bisa merasakan perubahan ekspresi dan intonasi Rei, “Apa maksudmu?” Rei tersadar. Ia baru menyadari apa yang baru saja ia katakan. Perasaan menyesal pun mulai muncul, ia tahu seharusnya ia tidak menanyakan hal bodoh seperti itu. “M-maksudku, aku khawatir mereka akan mengganggumu lagi jika hubunganmu dengan Seowoo bukanlah hubungan seperti saudara sepupu. Yaa kau mengalaminya sendiri kan pagi tadi.” , Rei beranjak dan pindah ke tempat duduk milik meja seorang siswa yang tempat duduknya tepat di depan Sora dan berbisik, “Asal kau tahu, itu baru permulaannya. Aku bahkan tidak berani membayangkan bagaimana jadinya nanti.” Sora memundurkan wajahnya, “Kau benar, itu mengerikan.” Sora melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain selain mereka saat ini. Setelah dirasa aman, Sora mendekatkan kembali wajahnya dan berbisik, “Aku tidak tahu siapa yang menyebarkan rumor bahwa aku adalah saudara sepupu Seowoo sunbae, tapi aku benar–benar ingin berterima kasih padanya. Lihat, karenanya aku juga mendapatkan semua makanan ini.” Rei terpikirkan kata–kata yang baru saja Sora katakan. Itu artinya Sora ingin berterima kasih pada Seowoo dan cara yang Seowoo lakukan untuk mengatasi hal ini benar–benar berhasil. Memikirkan hal itu membuat Rei tidak senang dan sedikit merasa sedih. “Kau tidak membawa makan siangku?” , tanya Sora mengaburkan lamunan Rei. “Ah itu, tadi di kantin antriannya panjang dan aku lupa membawa kartu makanku.” , hanya itu alasan yang bisa Rei katakan. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya dan membuat Sora penasaran dan menyerangnya dengan banyak pertanyaan. Sora menyipitkan matanya pada Rei, “… berarti kau juga belum makan siang?” “Tentu saja. Aku akan menemanimu menghabiskan ini semua. Jangan khawatir.” , Rei kembali menunjukkan senyuman tak berdosa andalannya. Sora yang sudah ratusan kali melihat Rei seperti ini hanya menatap Rei yang sudah mulai membuka tutup kemasan tteokpokki dengan tatapan datar. “Minggu depan sudah ujian tengah semester, waktu cepat sekali berlalu.” , gumam Sora ditengah–tengah makannya. Rei menyuapkan dua buah tteokpokki langsung ke mulutnya. “Ah kau benar. Berarti dua minggu lagi hari kompetisiku.” , balas Rei sambil mengunyah yang ada di mulutnya. “Benarkah? Wah, kau harus berlatih ekstra untuk kompetisi dan juga belajar ekstra untuk ujianmu.” Rei terkekeh dan menggeleng, “Kau tahu, sebenarnya aku tidak peduli dengan ujian kali ini. Aku lebih bersemangat untuk kompetisiku.” “Kau gila? Bagaimana dengan Ayahmu nanti? Kalau ibumu, aku yakin dia pasti akan memakluminya. Tapi Ayahmu.. Sepertinya dia akan benar–benar marah padamu jika nilai ujianmu menurun karena fokusmu lebih pada kompetisimu.” Rei mengangguk mengerti, “Iya aku tahu. Tapi setidaknya aku ingin memberitahunya seberapa besar kecintaanku pada piano dan seberapa besar keinginanku untuk menjadi pianis.” Sora hanya bisa menghela nafas. Ia hafal betul, jika teman satu–satunya ini sudah bertekad, maka ia akan benar–benar nekat dan hal itu selalu membuat Sora khawatir padanya. “Kau tidak perlu khawatir, Sora. Ini hanya ujian tengah semester, bukan penentu kau akan naik kelas atau tidak. Jika hasil ujianku tidak bagus di ujian kali ini, masih ada ujian akhir semester nanti. Setidaknya aku ingin fokus pada kompetisiku dan membuktikan pada Otou-san bahwa pilihanku tidaklah salah.” Mendengar tekad Rei yang begitu kuat, membuat Sora merasa bahwa Rei adalah orang yang benar–benar bisa diandalkan. “Kalau begitu kau harus berhasil, Rei.” Rei berdecak sombong, “Hei, kau pikir aku siapa. Sudah pasti aku akan menang.” Sora tertawa. Ia senang Rei punya kepercayaan diri untuk hal itu. “Aku akan menuntutmu untuk menggendongku lima puluh kali jika kau tidak memenangkan kompetisi itu.” “Kau bercanda? Aku akan menggendongmu seratus kali jika hal itu terjadi.” Mereka pun tertawa bersama. Ruang kelas yang sepi itu diwarnai gelak tawa dari Sora dan Rei. Bagaikan bisa mendengar tawa Sora dan Rei dari luar, Seowoo yang baru saja selesai memotret, tiba–tiba entah dorongan dari mana, ia menatap ke arah jendela ruang kelas Sora dan Rei dan dari matanya terlihat jelas bahwa ia sedang memikirkan sesuatu dalam benaknya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN