BAB EMPAT PULUH SEMBILAN

2249 Kata
“Siapa nama temanmu itu?” , tanya wanita tadi menatap Rei lekat - lekat pada matanya, mencoba mencari kebohongan yang mungkin tersembunyi disana. “Sora. Kang Sora. Dari kelas delapan B.” , jawab Rei tanpa ragu. Setelah menelik beberapa saat, wanita tua itu mundur. Ia tidak berhasil menemukan adanya kebohongan pada perkataan Rei. Wanita tua tersebut pergi meninggalkan Rei yang masih diam di tempatnya berdiri untuk kembali pada kompornya tadi, “Tae Gun!” , panggilnya dengan lantang membuat Rei bergidik ngeri. Suara panggilan itu sontak membuat salah seorang siswa diantara mereka yang mendapat hukuman pelayanan selama jam istirahat bergidik ngeri sampai - sampai ai hampir menjauhkan capitan kimchi di tangannya, “Ne, eomeonim (iya, bu)?” , jawabnya tak kalah lantang seolah - olah mereka sedang laihan militer. “Ambilkan satu porsi makan siang dengan menu lengkap. Tambahkan lebih banyak daun selada, dan berikan pada temanmu itu.” , jawab wanita tua itu sambil menoleh pada Rei. Siswa bernama Tae Gun dan juga Rei saling berpandangan. Mereka merasa canggung karena pada dasarnya mereka tidak saling mengenal dan tidak pernah bertemu satu sama lain sebelumnya, atau pernah bertemu tetapi tidak mempedulikan satu sama lain, sedangkan wanita tua penanggung jawab kantin tersebut menyebut Rei adalah temannya. “Ne. algesseumnida (Baik, aku mengerti).” , jawab siswa bernama Tae Gun itu yang langsung melaksanakan yang diperintahkan. Selagi menunggu, pikiran Rei mulai menganalisa. Kali ini targetnya adalah siswa bernama Tae Gun tadi. Penampilannya benar - benar seperti murid yang suka berbuat masalah. Matanya yang menukik agak ke atas membuatnya terlihat seperti anak yang sulit di atur. padahal kenyataannya mungkin tidak seperti itu. Demi untuk memenuhi permintaan Rei, Tae Gun sampai meninggalkan tugasnya yang berjaga di bagian kimchia, sehingga orang di sebelahnya yang berjaga di bagian potongan buah, harus mengambil alih sebentar bagian Tae Gun. “Ini.” , ujar Tae Gun menyodorkan satu porsi makan siang pada Rei, “Sudah aku berikan padanya, bu!” , sahutnya melaporkan pada wanita tua tadi. Terlihat ia sudah sibuk dengan panci besar berisi kare yang mendidih. Setelah mendapat laporan itu, wanita tua itu menoleh pada Rei, “Nanti datang lagi untuk makan siangmu! Jangan hanya memperdulikan makan siang temanmu, makan siangmu juga sama pentingnya!” , katanya memberi nasehat namun terdengar seperti sedang mengomel. Rei yang lambat laun mulai mengerti bagaimana watak dan sifat dari wanita tua galak yang sebenarnya penuh perhatian itu, “Ne (Iya)~” , balas Rei dengan senyum mengembang di wajahnya hingga pipinya naik menekan matanya. “Mwoga gidarinde (Apa yang kau tunggu)?” tegur wanita itu pada Rei yang masih berdiri mematung di tempatnya, “Yeogin neomu bappa (Disini sangat sibuk). Jangan hanya berdiri disana menghalangi jalan.” , katanya seperti tengah mencoba untuk mengusir Rei. Baru saja wanita tersebut mengatakan hal itu, siswa tadi yang menendang bokongnya datang sambil membawa satu kardus dengan gambar wortel di bagian depannya, berhenti tepat di depan Rei. Awalnya Rei tidak mengerti, butuh dua detik bagi Rei untuk memahami bahwa dirinya telah menghalangi jalan siswa tersebut untuk meletakkan barang bawaannya ke atas meja aluminium besar. Rei menebak siswa itu mendapat hukuman pelayanan selama jam makan siang dengan tugas angkut barang yang datang. Badan siswa tersebut tidak jauh berbeda dengan Rei, tetapi ia terlihat lebih kuat. Nampak jelas dari urat - urat yang timbul pada tangannya terlebih lagi mulai dari tangan bagian bawah hingga punggung tangan yang semua urat - urat timbul itu terlihat seperti pohon. Jika dibandingkan dengan tangan Rei, benar - benar sangat berbeda jauh. Sebab, dari segi badan saja, walaupun tinggi mereka sama, Rei tidak terlihat keras dan berisi seperti siswa tadi karena Rei yang tidak pernah suka berolahraga. Tubuh Rei hanya tinggi dan berisi. Tangannya pun sangat mulus dibandingkan teman - teman sekelasnya yang laki - laki. Jari - Jari Rei panjang - panjang dan agak kurus tidak seperti badannya, dikarenakan tangannya yang lebih aktif bergerak kesana kemari saat bermain piano. Urat - uratnya banyak terlihat jelas hanya pada punggung tangannya karena keaktifannya dalam gerak jari - jari tangan. Tujuan utamanya datang kemari telah selesai, dan Rei merasa kehadirannya disana hanya menjadi beban yang menghalangi gerak mereka yang seperti sedang diburu - buru selalu. “Kalau begitu, aku akan kembali ke kelas!” , teriak Rei agak kencang saat seseorang menyalakan mesin blender untuk menghaluskan bumbu - bumbunya. Wanita itu tidak bisa mendengar Rei karena suara bising dari mesin blender tersebut. Akhirnya Rei memutuskan langsung pergi dari sana sebelum ia menimbulkan masalah jika ia terus - terusan berada disana dengan kikuk membawa makan siang hari ini. *** “Bareun (Kakimu).. Bareun gwaenchanha (Kakimu baik - baik saja)?” , tanya Seowoo membuka pembicaraan di antara mereka. Ujung bibit sebelah kanan Sora menyungging, “Cih, kau bisa mengetahuinya hanya dengan melihatnya, sunbae.” , balasnya sebal. Seowoo tertohok mendengar jawaban Sora sekaligus nyaris tertawa melihat ekspresi wajah Sora yang terlihat sebal dengan pertanyaannya, “Maaf, aku tidak bermaksud.” “Dwaesseo (sudahlah), bagaimana pun kau sudah mengatakannya, sunbae.” “Neo, dodachae museun ilisseosseo? Eotteohkke dwaengeoya (Sebenarnya apa yang telah terjadi? Bagamana hal itu bisa terjadi)?” , tanya Seowoo mencoba mengubah pertanyaannya. “Mwo, geunyang. (Yah, hanya begitu saja). Tidak jauh berbeda dengan kasus kecelakaan lainnya dimana kau tidak bisa menghindari luka - luka jika kau tidak sempat menghindar.” , jelas Sora tidak ingin mengungkit kembali apa yang telah terjadi padanya. Seowoo mengerti Sora tidak ingin mengungkit kembali kejadian hari itu yang telah membuatnya jadi seperti ini. Ia pun berpikir keras untuk mencari topik pembicaraan lainnya yang lebih menyenangkan dan bisa menghibur Sora. Sebab, tidak mungkin ia membicarakan soal pertandingan maupun perkembangan latihan tim basket mereka. Itu hanya akan menyakiti perasaan Sora, pikirnya. “Bagaimana perkembangan latihan tim kita?” , tanya Sora tiba - tiba. “M-mwo (apa)?” . tanya Seowoo terkejut mendengar pertanyaan Sora sama persis dengan apa yang baru saja ia pikir adalah salah satu pembicaraan yang harus dihindari, tetapi Sora justru yang memulainya. “Yah.. Cukup bagus. Tim basket putri cukup bagus dalam beradaptasi dengan formasi baru mereka setelah.. kau.. terpaksa keluar dari tim.” , jelas Seowoo takut - takut perkataannya menyinggung perasaan Sora. Sora menggangguk - angguk mengerti sambil tersenyum kecil, “Dahaengida (syukurlah).. Aku khawatir telah mengacaukan mereka. Bagus jika mereka bisa beradaptasi dengan cepat.” Seowoo sedikit merasa bersalah mendengar perkataan Sora. “Kau tidak pergi makan siang, sunbae?” , tanya Sora mencoba mengubah topik pembicaraan saat melihat raut wajah Seowoo yang seperti tengah merasa kasihan dan bersalah padanya. “Aku baru mau akan kesana setelah ini. Kau mau ikut? Aku bisa menggendongmu seperti yang Rei lakukan tadi pagi.” , goda Seowoo. Tiba - tiba saja Sora merasa malu mengingat saat ia digendong di punggung oleh Rei, “Aniya (tidak), dwaesseo. Dwaesseoyo (tidak, tidak perlu).” “Waeyo (kenapa)? Aku lebih kuat dari dia, neodo aljanha (kau juga tahu itu).” , balas Seowoo memaksa dengan diselingi pamer. “Ani (tidak), bukan karena itu.” “Lalu?” , Seowoo mencoba mencari - cari celah agar Sora mau menuruti kemauannya, “Apa kau takut orang - orang akan membicarakannya? Kkeokjeong hajima (tidak perlu khawatir), naega arraseohalkke (aku akan mengurusnya).” “Ani (Tidak)--” , perkataan Sora terpotong saat ia mendengar ada suara langkah kaki yang datang mendekat. Rei berjalan dengan riang dan dengan percaya diri masuk ke dalam kelas seraya tersenyum hingga matanya menyipit nyaris terpejam, “Sora-yaa, aku berhasil membawa makan siangmu--” , Rei berhenti ketika ia melihat Sora tidak seorang diri di dalam kelas. Mereka bertiga terdiam. Rei terkejut melihat Sora tengah berdua bersama dengan Seowoo, sedangkan Seowoo terkejut melihat Rei yang bisa begitu riang dan manis seperti itu. Sementara itu, Sora tertegun tidak menyangka Rei akan bertingkah seperti itu di saat seperti ini. Selain itu, Sora juga terkejut melihat Rei benar - benar berhasil membawa makan siang dari kantin ke dalam kelas. Saat itu, Seowoo langsung mengetahui apa alasan Sora tidak ingin diajak untuk pergi ke kantin bersama walaupun ia sudah menawarkan diri untuk menggendongnya di punggung. Kapan lagi punya kesempatan untuk digendong di punggung oleh bintang seperti dirinya, batinnya dalam hati penuh percaya diri. Seowoo melihat Rei dan Sora bergantian, ia tersenyum geli. “Ah~ Geureoguna (begitu rupanya)..” , ujar Seowoo tersenyum penuh makna pada Sora. Atau lebih tepatnya ia menggoda Sora. Sora mengetahui Seowoo tengah meledeknya. Seketika ia merasa gugup, takut - takut Seowoo akan memberi sinyal pada Rei. “Wah! Kau benar - benar mendapatkannya!” , seru Sora menyela sebelum Rei maupun Seowoo berpikir yang tidak - tidak tentang satu sama lain. “Sunbae? Yeogi mwohae (Apa yang kau lakukan disini)?” , tanya Rei langsung kepada hal yang mengganggunya alih - alih membalas Sora. Seowoo tidak langsung menjawab, pandangannya mengekori Rei yang melangkah mendekat untuk meletakkan makan siang Sora ke atas meja milik Sora. Sebelum menjawab, Seowoo melirik pada Sora yang terlihat gugup, “Bukan hal yang perlu kau tahu, kurasa.” jawabnya sambil tersenyum penuh arti. Tentu saja Rei tidak langsung mempercayainya. Mendengar jawaban Seowoo justru membuatnya semakin berpikir. “Kau pergi meminta agar diijinkan membawa makanan dari kantin ini keluar? Daebak (keren)! Kalau aku sih sepertinya belum tentu mau melakukan hal seperti untuk temanku. Kau benar - benar teman yang baik, ya?” , timpal Seowoo lagi, mencoba untuk menggoda Sora dan juga Rei. Baik Sora maupun Rei tidak merespon Seowoo sama sekali. Mereka saling melirik sekilas untuk melihat ekspresi wajah satu sama lain yang ternyata menampilkan satu ekspresi yang sama. “Aku hanya bercanda. Kalian berdua serius sekali.” , Seowoo beranjak berdiri dari duduknya, Baiklah, aklu akan pergi mengisi perutku juga. Sampai nanti, ya.” , ujarnya seraya menepuk pundak Sora memberi semangat sebelum benar - beanr pergi dari sana. Sementara itu, Rei membelalakan matanya melihat perlakuan Seowoo pada Sora. Andai saja ia memiliki keberanian lebih saat ini, ingin rasanya meraih tangan Seowoo dan mencengkramnya dengan kuat memintanya untuk tidak menyentuh Sora lagi. Sayangnaya semua itu hanya terjadi dalam pikiran Rei saja. Kenyataannya, ia hanya diam berdiri di sana tidak melakukan apa - apa. Mereka melihat keperegian Seowoo sampai benar - benar menghilang dari pandangan mereka. Mereka terkejut saat bebrapa saa Sewoo muncul di depan pintu, terlihat ada beberapa perempuan dengan malu - malu berusaha menghamapiri dan menoba untuk bicara dengan Seowoo. Beruntung Seowoo memang pandai bicara, sama seperti ayahnya, pikir Sora. Sebab, selama ni yang pernah Rei temui adalah ibunya Seowoo. Dan beliau tidak terlihat cererwet sama sekal walaupun secara profesi ia adalah desainer gaun yang selalu berbicara dengan klien. “Hei, bagaimana kau bisa mendapatkan ini? Kudengar penanggung jawab kantin benar - benar menyeramkan.” , ujar Sora memuji hasil kerja keras Rei. Rei kembali ke tempat duduknya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, “Ah, tidak juga. Kita hanya belum mnegenalnya saja. Joheun saramiya (Dia orang yang baik).” “Jinjja (benarkah)?” Rei menoleh dengan tatapan sebal pada Sora, “Memangnya siapa yang telah mengijiinkan untuk membawa makanan keluar jika bukan karenanya? Kenapa kau tidak percaya sekali padaku sih? Aish!” , keluh Rei. Sora tidak menyangka Rei akan langsung marah seperti itu, padahal dirinya hanya berniat untuk mencari obrolan di antara mereka. “Ani (tidak).. Maksudku--” “Mareul sori geumanhae (berhentilah banyak bicara), geunyang meokgo (makan saja).” , balas Rei menyela sebelum Sora kembali bicara panjang lebar dan hanya berujung perdebatan di antara mereka. Ia melihat jam tergantung tepat di atas papan tulis putih dan membandingkannya dengan jam yang melingkar di tangannya, “Aku juga harus makan.” , katanya dengan spontan bermaksud memberitahu Sora agar ia cepat menghabiskan makan siangnya sebab ia juga harus kembali kesana untuk mengisi perutnya. “Ya sudah, pergi santap makan siangmu saja sana. Sebelum waktu istirahatnya habis.” Rei menggeleng. Ia melipat kedua tangannya pada dadanya dan memejamkan matanya seraya punggungnya yang sudah bersandar dengan nyaman, “Aniya, gwaenchanha (Tidak, tidak apa - apa). Aku harus kembali dengan wadah makan sangmu itu.” , jelasnya. Sora mengerti, dan ia tidak membalas lagi. Ia mengambil sendok dan mulai menyantapnya dengan tenang. Benar - benar berbeda antara makan siang di kantin dengan makan siang di dalam kelas. Setelah merasakan nikmatnya dan enaknya makan di dalam kelas, seketika Sora merasa bersyukur atas kakinya yang terluka. Sebab karena hal itu, ia bisa merasakan makan siang di dalam keals dan juga pada akhirnya ia memiliki waktu luang berlebih. Di tengah makan siangnya, Sora teringat ia harus menemui pelatih timnya untuk meminta maaf dan mundur dengan bijaksana. Begitu menoleh saat baru saja hendak mengatakan hal itu pada Sora dibuat tertegun dengan visual Rei yang tengah ia lihat saat ini. Garis rahangnya begitu lembut, dan wajahnya yang putih langsat pucat seperti adonan pastry yang belum di olah. Sora terus memandanginya tanpa sadar. Ia bertanya - tanya apakah Rei benar - benar tertidur karena memejamkan matanya atau hanya sedang mencoba menghmat energinya sebisa mungkin. Tanpa diduga, tiba - tiba Rei membuka matanya menatap langit - langit ruang kelasnya. Sontak, Sora terkejut dan langsung kembali melanjutkan makannya, berpura - pura seolah ia sejak tadi hanya sibuk menikmati makan siangnya. “Sial, aku lupa mengerjakan tugas karya tulisku!” , ujar Rei tiba - tiba dengan panik. Buru - buru ia mengambil satu buku dari dalam laci bawah meja belajarnya dan membuka cepat bukunya, “Benar saja..” , Rei menghela nafasnya seraya mengembungkan pipinya. “Dowajulkka (Apa kau ingin dibantu)?” “Aniya, dwaesseo (Tidak,tidak perlu). Kau habiskan saja makananmu segera.” , balas Rei dengan wajah yang sudah ganti ke dalam mode dingin dan serius mengerjakan tugasnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN