Melihat tingkah Rei membuat Sora harus mengalihkan pandangannya dari Rei untuk terkekeh.
Sebelumnya, yang Sora lihat dari kemalangan yang menimpanya hanyalah kesialan. Ia berpikir, karena dirinya, Rei gagal mengikuti kompetisinya karena kecelakaan yang menimpanya, ayah dan ibunya bertemu dan kembali bertengkar karena dirinya, dan dirinya sendiri gagal untuk ikut berpartisipasi dalam pertandingan tim basket sekolahnya, juga tim basketnya yang harus kembali mengatur strategi dan formasi beberapa hari sebelum pertandingan karena dirinya yang secara mendadak terpaksa mengundurkan diri karena cedera yang ia dapatkan pasca kecelakaan tidak memungkinkan dirinya untuk ikut berpartisipasi dalam tim.
Tetapi sekarang ini, ketika ia melihat lebih luas dan mencoba melihat sisi baiknya, rasa bersalah dan pemikiran - pemikiran soal kesialan itu perlahan mulai menyingkir dalam pikirannya. Sora melihat, karena kecelakaan yang dialaminya, ia bisa kembali melihat ibunya yang sudah lama tidak pernah ia temui lagi setahun belakangan ini, walaupun pada akhirnya tidak berakhir dengan baik karena emosi Sora yang sedang kalut saat itu.
Selain itu, Sora juga merasa karena kecelakaan dirinya, ia bisa memiliki waktu lebih dengan ayahnya, walaupun hanya dua hari, yang selama ini selalu disibukkan oleh pekerjaannya menolong nyawa orang lain yang sama berharganya dengan dirinya. Meskipun ia merasa sedikit sedih dan kecewa karena ayahnya hanya melakukan itu saat dirinya kecelakaan.
Terakhir, dan yang paling tidak kalah penting, ia jadi punya lebih banyak waktu untuk bersama dengan Rei. Karena kondisinya, Rei bahkan mau bersusah payah menggendongnya. Padahal, jika ia tidak cedera seperti ini, biasanya yang Rei lakukan hanya mengganggu.Yah, walaupun terkadang sebaliknya, Sora pun tidak jarang melakukan hal yang sama pada Rei.
Memikirkan hal yang terakhir tadi, membuat Sora tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat seharusnya ia fokus mencatat materi yang tertulis di papan tulis sebelum jam istirahat habis dan pelajaran ketiga dimulai. Meskipun Sora tidak terlalu pandai dalam matematika, ia lebih baik dalam bahasa Inggris. Padahal, bahasa Inggris cukup sulit untuk orang Korea asli seperti dirinya yang tidak memiliki darah orang Eropa. Sebab, kedua orangtuanya adalah orang Korea. Tidak seperti Rei yang adalah darah campuran Korea - Jepang.
Kesulitan utama yang Sora hadapi dalam mata pelajaran bahasa Inggris adalah pengucapannya. Sora merasa lidahnya tidak tercipta untuk bisa melafalkan bahasa Inggris dengan begitu fasih dan terdengar sama seperti pengguna aslinya. Bahkan, Sora pernah berpikir bahwa lidahnya terlalu pendek dibandingkan orang lain, yang membuatnya tidak bisa melakukannya dengan baik dalam pengucapan bahasa Inggris. Sebab, dibandingkan dirinya, ayah dan ibunya terdengar begitu fasih dalam mengucapkan kalimat ataupun kata dalam bahasa Inggris. Yah, sekali lagi, ini hanyalah spekulasi dan pembelaan yang Sora lakukan untuk menyemangati dirinya atas kekurangannya.
Tetapi tidak jauh berbeda dengan Sora, Rei pun tidak begitu fasih dalam pengucapan meskipun tabungan kata yang ia miliki dalam otaknya lebih banyak dari Sora. Darahnya memanglah darah campuran dari dua negara yang tidak jauh berbeda dalam tata cara pengucapan kata dan kalmatnya sehingga tidak sulit bagi Rei untuk mempelajari kedua bahasa tanah kelahiran ayah dan ibunya. Tetapi untuk bahasa Inggris, ia sudah pasrah dengan kemampuan pelafalannya. Tidak ada keluarganya yang fasih dalam pengucapan bahasa Inggrs karena memang hal itu bukanlah hal utama yang harus diprioritaskan dalam keluarganya.
TOK TOK TOK
Terdengar pintu ruang kelas belakang yang berada di belakang Sora diketuk oleh seseorang, di tengah ketenangan yang Sora rasakan beberapa saat setelah Rei pergi ke kantin. Segera Sora menoleh untuk melihat orang asing mana yang datang ke kelasnya dengan mengetuk pintu yang jelas - jelas sudah terbuka.
“Oh? Seowoo sunbae-nim?” , sahut Sora begitu melihat sosok Seowoo tengah berdiri sambil bersandar pada kusen pintu seakan - akan ia adalah model yang siap difoto dengan posenya yang seperti itu.
Seowoo tersenyum dari tempatnya, “Apa aku boleh masuk, sepupu?” , tanyanya dengan senyum meledek.
Sora ikut tersenyum geli mendengarnya. Ia tidak mengira Seowoo masih saja ingat dengan isu itu saat orang lain di sekolah ini, terlebih lagi siswa dan siswinya, sudah mulai melupakan isu tersebut.
“Deureowa (masuklah).” , balas Sora mengijinkan.
Setelah mendapatkan akses masuk dengan ijin yang telah diberikan oleh Sora, ia melangkah masuk dan memilih untuk duduk di samping Sora, tepatnya di tempat duduk Rei dengan tubuhnya yang duduk menghadap Sora.
***
Sementara itu di kantin, seperti yang Rei prediksikan sebelumnya, kantin begitu ramai dan antriannya cukup panjang untuk dirinya merasa bosan berdiri. Karena niatnya untuk membawakan makan siang untuk Sora ke dalam kelas yang mana itu adalah melanggar dari aturan sekolah dan juga kebijakan kantin.
Walaupun begitu, Rei tetap ingin mencoba untuk melanggar aturan itu hari ini hanya demi Sora. Dengan agak ragu, Rei memotong antrian panjang tersebut untuk pergi menuju pintu bagian dapur. Sesampainya di depan pintu dapur, ia melihat pintu tersebut terbuka sedikit, menampakkan kegiatan sibuk orang - orang yang bekerja untuk memasak dan menyiapkan makan siang semua siswa dan siswi di sekolah ini. Mereka mula bekerja sama seperti jam masuk pelajaran pertama murid - murid di sekolah ini. Lalu mereka akan terus memasak dalam jumlah porsi yang begitu banyak tanpa henti. Saat jam makan siang pun mereka tidak berhenti memasak untuk siswa siswi lainnya yang belum kebagian. Memasak untuk porsi lima ratus orang memang memakan waktu yang tidak sebentar.
Rei memberanikan diri untuk membuka pintu itu lebih lebar dan mengintip ke dalam. Semuanya tampak sibuk dengan tugas mereka masing - masing. Bahkan, murid yang mendapatkan hukuman dari sekolah untuk melayani selama jam makan siang, terlihat begitu sibuk tidak ada hentinya mencuci wadah makan murid - murid lainnya yang telah selesai makan. Ia harus bisa dengan cepat mencuci semua tumpukan itu sebelum murid - murid lainnya berdatangan dan menunggu wadah makan mereka.
Ada juga murid yang mendapat hukuman untuk melayani selama jam makan siang dengan mengambilkan makanan ke wadah makanan murid - murid yang mengantri. Mereka juga bekerja tanpa henti karena murid - murid yang datang untuk menyantap makan siang mereka pun datang tanpa henti.
Rei memunculkan kepalanya sedikit sambil berpegangan pada gagang pintu untuk melihat ke dalam. Melihat kesibukan yang ada di dalam membuat Rei ragu - ragu untuk masuk. Saat itu juga, tanpa Rei ketahui, seseorang yang memakai seragam sama seperti dirinya tengah berdiri di belakangnya menunggu Rei menyingkir dari sana sekaligus penasaran apa yang sedang Re coba lakukan. Namun, Rei tak kunjung bergerak dari posisinya.
Merasa tidak tahan lagi untuk menahan beban sekarung kecil beras di pundaknya, orang yang berada di belakang Rei itu dengan santai menendang b****g Rei hingga Rei membuka pintunya sepenuhnya karena terdorong ke depan hingga semua yang ada di dapur melihat ke arahnya. Sedangkan Rei masih terkejut oleh tendangan yang datang pada bokongnya.
“Apa yang kau lakukan disana?!” , tanya seorang wanita tua berbadan pendek dan terlihat begitu galak dengan suaranya yang tegas menggelegar mengalihkan perhatian murid - murid yang sedang antri.
Beberapa dari murid - murid yang mengantri bisa melihat Rei yang tersungkur dari jendela besar tempat mereka mengambil makanan mereka. Saat wanita tua tadi berteriak bertanya pada Rei, sesaat waktu serasa terhenti.
Rei segera tersadar dari keterjutannya dan segera bangun berdiri. Orang yang menendang bokongnya tadi berjalan masuk dengan santai dan meletakkan karung beras tadi di atas meja aluminium besar dan kembali keluar dari dapur. Sesaat ia melirik pada Rei saat melewatinya. Rei menebak, laki - laki itu pasti salah satu siswa yang mendapatkan hukuman untuk melayani selama jam istirahat makan siang.
Wanita tua tadi yang berteriak pada Rei, sambil membawa sendok kayu besar di tangannya, datang menghampiri Rei yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. Alis matanya yang menukik membuatnya terlihat seperti seseorang yang marah setiap saat.
“Ada apa? Kenapa kau kemari?” , tanyanya dengan tatapan menyelidik pada Rei.
“A-aku.. aku ingin meminta sesuatu.” , jawab Rei agak takut.
Wanita tua itu beralih pergi ke meja aluminum besar dan menghampiri sekarung beras yang baru datang tadi, “Meminta apa? Lauk tambahan? Menu yang berbeda? Tidak bisa. Kau tidak lihat disini sudah cukup sibuk memasak untuk kalan semua?”
Rei dengan tergesa - gesa mengikuti wanita tua tersebut, “Aniyo (TIdak). Geugeon aniyeyo (Tidak seperti tiu). Aku ingin meminta ijin untuk membawa makanan kantin keluar dari kantin.” , jelas Rei.
Sambil berjinjit wanita tua tadi meraba - raba kotak perkakas yang ada pada laci di atasnya untuk mencari gunting, namun tak kunjung mendapatkannya. Rei melihat wanita tersebut terlihat kesulitan untuk meraih dan menemukannya. Ia pun berinisatif untuk mengambilkan gunting yang ia duga benda yang tengah wanita tua tadi cari. Berkat tinggi badannya, Rei bisa dengan mudah melihat dimana gunting berada. Tangannya ikut meraih ke dalam kotak perkakas dan memberikan gunting yang ia dapatkan pada wanita tua itu.
Dengan merasa sedikit tidak enak, wanita tua tadi menerima gunting itu dan menggunakannya untuk membuka beras, “Memangnya kau tidak bisa makan di kantin? Kau tahu sendiri bagaimana peraturan sekolah ini.”
“Bukan untukku, tetapi untuk temanku. Kakinya sedang tidak baik karena kecelakaan yang menimpanya, jadi.. ia sulit untuk bolak - balik dari kelas menuju kantin. Nan, geojitmal aniyeyo (Aku tdak berbohong).”
Wanita tersebut menggunting bagian atas karung beras tadi hingga benar - benar terbuka dan berbalik menatap Rei yang membuatnya harus mendongakkan kepalanya hanya untuk menatap air muka Rei. Melihat ekspresi wajah wanita tua dari jarak sedekat ini membuat Rei tiba - tiba saja merasa gugup.