BAB TIGA PULUH SATU

1732 Kata
KRIING KRIING  “Baik, sampai disini pengulangan materi fisika hari ini. Pak guru berharap kalian bisa mengerjakan ujian besok dengan baik.” , ucap guru fisika yang dikenal kejam mencoba untuk memberi semangat pada penutupan karena bel tanda jam istirahat sudah berbunyi.  “Ne (Baik)~” , jawab semua murid serempak.  Salah satu siswi yang duduk di barisan kedua dari tempat duduk yang berada tepat di depan meja guru itu berdiri untuk memberi aba - aba, “Bersiap!” , perintahnya pada semua teman - teman sekelasnya dan semua murid di kelas pun duduk dengan rapi.  “Beri hormat!” , perintahnya lagi dan ia serta murid - murid yang lain membungkuk memberi hormat , “Terima kasih banyak, guru.” , dan bapak guru fisika tersebut menganggukan kepalanya sekali sebelum beranjak pergi meninggalkan kelas.     Tepat setelah guru keluar, suasana kelas langsung riuh dan ramai. Tatapan Rei tidak bisa lepas dari Gitae, ia terus memikirkan kalimat apa saja yang ingin ia katakan padanyan nanti.  “Uri bab meokjaaa (Ayo kita makan)!~” , sahut Sora sambil menarik kedua tangannya ke atas hingga punggungnya ikut tertarik untuk meregangkan otot - ototnya yang kaku karena duduk berjam - jam menyimak materi yang disampaikan.  Sora beranjak berdiri membawa pinggangnya berputar ke kanan dan kiri untuk meregangkan pinggangnya yang terasa kaku.  "Kau tidak ke kantin?" , tanya Sora saat melihat Rei yang masih belum beranjak dari tempat duduknya.  "Neo meonjeo ga (kau pergi duluan saja), aku mau ke toilet dulu."  Sora menarik bibirnya ke dalam, "Oke." , jawabnya singkat dan berjalan keluar kelas sama seperti teman - teman sekelasnya yang lain.     Setelah memastikan Sora benar - benar sudah pergi dari sana, Rei menatap Gitae yang sedang membereskan buku - bukunya yang nampak berserakan di atas mejanya dengan serius. Setelah memasikan semua orang benar - benar sudah keluar dan hanya menyisakan dirinya dengan Gitae, Rei mengambil surat yang tadi dan membawanya ikut serta menghampiri Gitae. Dengan hentakan, Rei meletakkan surat tersebut ke atas meja Gitae dengan dirinya yang langsung duduk di atas meja Gitae, "Aku ingin mengembalikan ini." , ujar Rei dengan wajah tidak senang.     Gitae yang baru menyadari itu adalah surat miliknya untuk Sora, terkejut bukan main. Matanya terbuka lebih lebar dan wajahnya terlihat bingung. Terlebih lagi karena Rei yang memiliki surat tersebut.  "Igeo, eotteohkke (bagaimana bisa ini)--"  "Maaf aku mengambil suratmu." , sela Rei memotong perkataan Gitae.     Gitae mendecih geli, akhirnya tahu penyebab Sora tidak datang hari itu. Semua tanda tanya dan prasangka buruk dalam pikirannya sirna sudah. Ia sudah menduga sebelumnya ada kemungkinan surat tersebut telah diambil oleh orang lain sebelum Sora.  "Lebih baik urungkan niatmu itu." , ujar Rei, "Maksudku jangan dekati Sora untuk memiliki hubungan khusus dengannya."  Tidak terima dengan ucapan Rei, Gitae bangki berdiri dari duduknya dan langsung bertatapan mata dengan mata pada Rei, "Aku sudah muak menahannya jadi aku tidak akan menahannya lagi. Kenapa aku tidak boleh? Memangnya siapa dirimu? Apa hakmu  melarangku mendekati Sora?" , tanya Gitae menuntut jawaban yang pasti, "Aku tahu kau tidak memilki hubungan khusus dengan Sora, jadi berhentilah bertingkah seolah - olah kau ini pacarnya." , mungkin karena memiliki rasa tidak suka pada Rei sejak awal sebab Rei dekat dengan Sora sehingga membuatnya iri dan tidak suka pada Rei, Gitae yang pendiam mendapat keberanian untuk memprotes dan menuntut.     Jelas sekali Rei tertohok mendengar perkataan yang Gitae katakan padanya. Bukan hanya karena yang dikatakan Gitae ada benarnya, namun juga karena Rei tidak menyangka akan mendengar hal itu dari seseorang yang pendiam dan pemalu seperti Gitae.     Rei berkedip panik karena ia langsung merasa terpojok. Tetapi tentu saja ia tidak akan membiarkan dirinya kalah telak apalagi dari orang seperti Gitae, jelas sekali ia tidak akan goyah pada penegasannya di awal. Karena sebenarnya ia memang tidak ingin siapapun mendekati Sora ataupun berniat untuk memiliki hubungan khusus dengan Sora. Yah, memang benar, Rei sedang bersikap protektif. Ia merasa orang lain adalah ancaman untuk Sora.  “Sora memang bukan pacarku.. Tapi dia calon istriku!” , balas Rei menegaskan kembali perkataannya yang sebelumnya.  Sontak Gitae terkejut tidak percaya dengan pernyataan Rei, “Mwo (apa)? Calon istri? Kau benar - benar bertunangan dengannya atau hanya mengaku - ngaku saja?”  Rei segera turun dari meja Gitae dan berdiri dengan penuh percaya diri, “Tidak penting untuk kau ketahui aku benar - benar bertunangan dengan Sora atau hanya mengaku - ngaku saja. Aku hanya ingin kau tahu bahwa Sora adalah milikku. Dan aku tidak akan memberikannya kepada siapapun.” , tegas Rei dengan penekanan pada akhir kalimatnya, sambil tangan kanannya meremas surat milik Gitae hingga kusut dan lecak.     Gitae hanya bisa terdiam melihat Rei meremas suratnya dan berkata dengan rahangnya yang mengeras. Ia merasakan perasaan bahwa orang yang saat ini ada di hadapannya bersungguh - sungguh dengan kalimatnya dan akan sangat menyeramkan saat marah.     Merasa sudah cukup tegas ia memperingatkan Gitae untuk tidak mendekati Sora dan sudah tidak memiliki hal yang ingin ia katakan pada Gitae, Rei segera meninggalkan Gitae seorang diri di dalam kelas. Setelah suara langkah kaki Rei sudah tidak terlalu terdengar jelas, Gitae jatuh terduduk di tempat duduknya menatap nanar pada suratnya yang sudah berkerut - kerut. Ia termenung dalam pikirannya, hanyut akan tindakannya selama ini yang benar - benar seperti pengecut karena hanya berani memperhatikan dari jauh dan juga hanya memiliki keberanian untuk melihatnya tanpa ada yang tahu. Ia merasa rendah melihat Rei yang berani mengambil langkah besar hingga berhasil sejauh itu, sedangkan dirinya masih tetap pada tempatnya di awal dan tidak bergerak sama sekali. Terjebak dalam garis yang ia buat untuk dirinya sendiri dan hanya mengagumi orang yang di sukainya dari garis tersebut.     Setelah dirasa sudah cukup jauh, Rei yang tadinya bersikap sok keren dengan berjalan sambil memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celananya, kembali ke sikapnya yang jauh berbeda seratus delapan puluh derajat. Ia mempercepat langkahnya dan terlihat khawatir. Ia gelisah memikirkan jika Gitae menanyakan hal itu langsung pada Sora dan akan langsung ketahuan jika dirinya berbohong. Ia juga khawatir Gitae akan tetap bertindak dan berasil merebut Sora darinya. Rei menggeleng - geleng cepat mencoba menghapus semua pikiran - pikiran buruk itu dari isi kepalanya.     Rei telah selesai mengantri untuk makan siangnya dan langsung menghampiri Sora yang tengah menikmati makan siangnya seorang diri, “Apa kau menungguku? Kenapa belum selesai dengan makan siangmu?” , ujar Rei yang langsung mengambil tempat duduk di hadapan Sora.  Sora mengerutkan alisnya menatap Rei, “Aku baru mendapatkan tempat dudukku.” , jawabnya sebal.  Rei terkekeh geli, “Makanya.. jangan terlalu bernafsu sekali untuk mengisi perutmu.” , kata Rei mencoba untuk menceramahi Sora, “Santai saja, semuanya akan baik - baik saja.” , Rei memberikan potongan - potongan daging dari jatah makan siangnya pada tempat makan siang Sora dengan sumpitnya.  “Ha! Kau bisa berkata begitu karena tidak menghabiskan energi sarapanmu untuk latihan pagi sepertiku.” , balas Sora yang tidak suka jika Rei mulai menceramahinya.  “Ya ya ya ya, terserah kau mau beralasan apa.”  Sora membelalakan matanya mendengar Rei yang seakan - akan tengah mengejeknya, “Apa maksudmu?! Kau tidak tahu saja seramai apa tadi disini, padahal aku sudah datang lebih lambat dari sebelumnya.  Rei mengangguk - angguk dengan damai seolah - olah ia tidak terdistraksi dan tidak peduli dengan semua penjelasan Sora, ia memilih untuk menikmati makan siangnya.  “Kenapa kau lama sekali? Apa toiletnya mengantri?” , tanya Sora mengalihkan topik untuk mendinginkan kepalanya yang mulai tersulut emosi oleh Rei.  Rei menggeleng santai, mengunyah makanan yang telah ia suapkan pada mulutnya dan menelannya ketika sudah halus sebelum menjawab pertanyaan Sora, “Tadi banyak sekali yang aku keluarkan.” , jawab Rei mencoba membuat perumpamaan atas kejadian di kelas tadi antara dirinya dengan Gitae.  Sora yang baru saja menyuap makanannya dan mengunyahnya beberapa kali, langsung tersedak mendengar perkataan Rei yang menurutnya menjijikan untuk dikatakan saat sedang makan.  “Ya!” , omel Sora sambil bertingkah seolah - olah akan memukul Rei dengan sendok makannya.  Rei tertawa geli, “Mwo (apa)? Apa yang salah dengan itu? Memang benar, kan? Apa kau ingin melihatnya?” , ejek Rei sambil berusaha menghindar dari pukulan sendok yang terus - terusan Sora hantamkan padanya.  “Kau ini benar - benar!” , Sora memukul tangan Rei dengan sendoknya beberapa kali, “Jangan membicarakan hal itu saat sedang makan!”  “Apa? Apa? Aku hanya menjawab pertanyaanmu, kau yang memulainya lebih dulu.” , elak Rei membuat Sora terdiam tdak percaya Rei menumpahkan kesalahan padanya.  “Mwo (apa)?! Naega (aku)?! I sarami jinjja (orang ini benar - benar)!--” , Sora terus melanjutkan serangannya tanpa henti.     Dari barisan para siswa dan siswi yang mengantri untuk mengambil bagian makan siang mereka, ada Gitae yang ikut berbars di antara murid - murid lainnya sejak tadi sambil memperhatikan Sora dan Rei. Ia merasa cemburu karena melihat Sora- orang yang ia sukai bersama orang lain, sedih karena bukan dirinya yang duduk disana untuk makan siang bersama sambil mengobrol dan bercanda tawa, sekaligus iri pada Rei yang bisa membuat Sora begitu terbuka dan nyaman padanya.     Setelah menyadari itu semua, Gitae merasa telah mendapat petunjuk untuk langkah yang harus ia lakukan selanjutnya. Ia memutuskan untuk berhenti. Ia tidak ingin menyakiti dirinya lebih lama lagi dengan cinta bertepuk sebelah tangan ini. Ia juga tidak ingin menyakiti Sora ataupun merusak hubungan baik yang telah terjalin antara dirinya dengan Sora jika ia memutuskan untuk melanjutkan niat awalnya.     Gitae menyadari jika perasaannya bukanlah cinta jika terlalu berambisi untuk memiliki, bukanlah perasaan cinta kaih sayang, melainkan hanya sekedar obsesi. Ia tidak ingin dirinya menjadi b******k yang hanya terobsesi memiliki Sora tanpa tahu apa yang membuat Sora bahagia.     Dari sudut pandangnya, kebahagiaan Sora adalah bersama dengan Rei. Ia ingin mencintai Sora, ingin Sora bahagia. Jika begitu, ia harus bisa melepaskan Sora demi kebahagiaan Sora. Memang semuanya akan terasa sulit pada awalnya, namun ini lebih baik daripada menahan perasaan tersiksa seperti ini lebih lama lagi. Setidaknya waktu akan membantunya untuk melupakan dan melepaskan perasaannya pada Sora dengan tulus.  “Hei! Apa yang kau lakukan? Ayo cepat maju.” , ujar salah seorang siswa laki - laki yang tengah ikut mengantri di belakangnya mendesak Gitae untuk maju.  Gitae yang baru tersadar dari lamunannya melihat orang - orang yang tadinya ikut mengantri di depannya sudah tidak ada dan menyadari jika ia telah menghambat antrian. Segera ia mengambil wadah bento untuk tempat makan siangnya dan maju melanjutkan antrian.  ‘Aku harap keputusanku tidak salah untuk melupakan perasaanku padamu. Terima kasih karena sudah mengulurkan tanganmu lebih dulu.’  *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN