Di tengah - tengah sesinya membalut dengan kain kasa pada luka bakar yang sudah dibersihkan sebelumnya, tiba - tiba saja ponselnya yang tersimpan di balik saku jas dokternya bergetar. Ia menghentikan sebentar aktivitasnya untuk melihat ponselnya dikhawatirkan ada panggilan penting yang masuk. Namun, ternyata ponselnya bergetar disebabkan oleh notifikasi alarmnya yang berbunyi. Pada layarnya tertera kalimat yang mengingatkannya untuk menjemput Sora saat ini juga. Ia berpikir sejenak, ia tidak bisa menjemput Sora saat ini juga karena pekerjaannya belum selesai dan ia masih harus mengawasi perkembangan kondisi pasien - pasien yang ditangani olehnya, baik yang pasca operasi ataupun yang dalam tahapan persiapan operasi.
Pada akhirnya ayahnya Sora mematikan alarm tersebut dan kembali melanjutkan membalut luka pasien yang tak sadarkan diri itu. Ia berniat untuk menelpon Sora nanti sebab tidak bisa melakukannya sekarang. Apa yang akan dikatakan komite disiplin jika ia kedapatan memainkan ponselnya di tengah penanganan yang sedang ia lakukan. Bukanlah sesuatu yang bagus bagi seorang dokter jika ia dipanggil oleh komite disiplin untuk diputuskan jenis keputusan macam apa yang akan menjadi hukumannya nanti akibat ketidak profesionalannya menjadi dokter.
Sedangkan, di lain tempat, Sora tengah menunggu jemputan dari ayahnya seraya bersandar pada dinding yang ada di dekat gerbang sekolahnya sementara teman - temannya yang lain langsung bergegas menuju rumah mereka masing - masing. Langit sudah berubah warna menjadi lebih oranye seiring berjalannya waktu. Murid - murid dari kelas lain pun mulai berhamburan keluar dari sekolah untuk segera pulang menuju rumah mereka masing - masing, walaupun ada juga sebagian dari mereka yang harus melanjutkan belajar mereka di tempat bimbingan belajar yang mereka ikuti. Tidak sedikit juga yang memilih untuk mampir ke cafe internet untuk melepas penat akan belajar mereka dengan bermain game online disana.
Sementara Sora hanya berdiri sambil bersandar disana ditemani oleh Rei yang selalu setia untuk menunggu bersamanya. Rei asyik sendiri dengan ponselnya dengan menonton penampilan musik orkestra yang bisa ia temukan bebas di internet. Sora sendiri sudah sangat bosan dan lelah menunggu. Ia lelah berdiri sejak kurang lebih setengah jam yang lalu dan tidak bisa berjongkok karena kondisi kakinya. Ia pun tidak bisa duduk karena disana hanya ada dinding dan jalanan. Menghela nafas untuk kesekian kalinya, Sora kembali melihat jam yang ada pada layar ponselnya sambil memeriksa sekiranya ayahnya memberi kabar padanya namun nihil.
“Apa kau tidak mau pulang bersamaku saja? Aku akan membawa sepedaku dengan hati - hati.” , tawar Rei masih tidak mengalihkan pandangannya dari layar ponsel pintar di tangannya.
Yang ditanya tidak ingin menjawab dengan kata - kata dan hanya menggeleng dengan lesu sebagai gantinya.
“Kau yakin ayahmu tidak lupa untuk menjemputmu? Apa kau tidak ingin menelponnya untuk mengingatkannya?”
“Tidak. Dokter tidak akan lupa. Janji dengan pasiennya saja dia tidak pernah lupa, apalagi janjinya dengan anaknya.” , jawab Sora dengan senyum getir di wajahnya.
Ia sendiri pun sebenarnya ragu akan hal itu. Pasalnya, ayahnya tahu benar detail tentang pasien yang ditanganinya mulai dari penyakit yang diderita sampai ke kebiasaan makan pasiennya. Sora sendiri meragukan ayahnya tahu bagaimana kebiasaan makannya dan makanan apa yang Sora suka ataupun tidak suka. Apalagi mengenai janji, pikir Sora.
Ia yakin hari ini pun ayahnya memiliki banyak janji temu dengan pasien dan sudah menyusunnya dengan sedemikian rupa semua janji temu yang diminta. Tetapi Sora ragu apakah menjemputnya sudah masuk ke dalam susunan itu atau tidak. Yang pasti, Sora tidak berharap banyak.
Dua puluh menit telah berlalu lagi, matahari sudah enggan untuk menunjukkan sosoknya dan memilih untuk beralih ke bagian bumi yang lain, meninggalkan bagian bumi yang ini dengan kegelapannya. Rei sudah selesai dengan ponselnya karena ponselnya sudah mati kehabisan baterai, kali ini ia yang sudah kehabisan ide untuk menghabiskan waktu seraya terus menunggu. Berbagai cara sudah ia lakukan, mulai dari bercerita, membuat lelucon meskipun tidak selalu direspon dengan tawa, bahkan ia sudah mencoba untuk bermain batu, gunting, kertas dengan Sora meskipun hanya dirinya yang melompat maju tiga kali tiap kali dirinya menang saat suit. Dan sekarang, Rei tengah berjalan mondar - mandir layaknya sebuah setrikaan yang sedang digunakan.
“Kau harus menelponnya. Sekarang.” , tukas Rei memaksa.
Sora yang sekarang sudah beralih duduk pada dudukan sepeda kembali menyalakan layar ponselnya memeriksa apa ada kabar dari ayahnya namun hasilnya tetap nihil juga.
“Cheonahae, Sora (Hubungi dia, Sora).” , ujar Rei penuh penekanan ingin agar Sora menelpon ayahnya. Supaya mereka tidak lagi menunggu dengan tidak pasti seperti ini.
Sejujurnya, dibandingkan menelpon ayahnya, Sora lebih ingin untuk menelpon ibunya. Pasalnya, Sora yakin ayahnya saat ini pasti tengah kewalahan mengobati pasien - pasiennya hingga untuk sekedar memberinya kabar saja tidak bisa. Alih - alih mengganggu ayahnya, Sora lebih memilih untuk mengganggu ibunya yang tidak pernah merepotkan diri untuk mengurusnya. Selama beberapa saat Sora hanya memandangi layar ponselnya hingga cahayanya mati dengan sendirinya karena waktu nyala layarnya habis.
“Cheonahaesseo (Kau sudah menghubunginya)?” , tanya Rei lagi mengingatkan.
Melihat respon Sora yang hanya menatapnya tanpa bicara, Rei tahu Sora tidak ingin menghubungi ayahnya. Rei menurunkan kedua bahunya pasrah dengan sikap Sora yang seperti itu. Karena tidak tahan lagi, Rei mendekati Sora dan menaiki sepedanya dengan Sora yang sudah duduk di belakangnya.
“Ya sudah kalau itu maumu. Kau pulang bersamaku saja.” , tegas Rei memberikan Sora jawaban.
Belum sempat Rei mengayuh sepedanya, sinar menyilaukan datang tiba - tiba dari arah samping mereka atau lebih tepatnya dari jalan besar. Tangan Rei dengan sigap menghalangi pandangannya yang silau oleh cahaya dari lampu depan mobil tersebut sementara Sora hanya menutup matanya sedikit.
Beberapa saat kemudian sorot lampu mobil yang menyilaukan itu padam dan mereka akhirnya bisa melihat mobil tersebut dengan jelas berkat bantuan lampu - lampu jalan yang menerangi kegelapan di sekitar mereka. Mobil tersebut tampak familiar, terlebih lagi oleh Sora. Pintu terbuka dan ayahnya Sora keluar dari kursi kemudi masih dengan jas puih dokter kebanggaannya, segera menghampiri Sora.
“Maaf appa terlambat.” , katanya begitu ia sampai di hadapan Sora, “Oh, hai Rei, terima kasih sudah menemaninya, ya.” ujarnya begitu menyadari Rei juga ada disana.
“Ne (ya), Annyeong haseyo (Halo).” , balas Rei dengan sedikit menundukkan kepalanya.
“Jibe kajja (Ayo pulang ke rumah).” , ujar Sora yang sudah terlihat begitu lelah.
“Geurae, kajja (baiklah, ayo).”
Dengan hati - hati Sora bangkit berdiri dengan bantuan tongkatnya. Namun, tiba - tiba saja, tanpa aba - aba, ayahnya Sora langsung mengangkat Sora ala bridal style dan membawanya masuk ke dalam kursi penumpang bagian depan mobil. Sora masih terkejut saat ia sudah duduk di dalam mobil. Ia bisa melihat ayahnya yang berjalan kembali pada Rei.
Sementara itu, di sepedanya, Rei terkejut sekaligus terpana melihat apa yang dilakukan oleh ayahnya Sora tadi. Ayahnya Sora nampak begitu gagah dan laki di matanya saat itu. Dalam pikirannya ia langsung membandingkan dirinya yang seharian tadi sudah menggendong Sora di punggungnya dengan susah payah dengan ayahnya Sora yang dengan santainya mengangkat putrinya yang sudah besar itu dengan mudahnya. Benar - benar perbedaan yang signifikan, pikir Rei.
Belum selesai dengan kekagumannya sekaligus keiriannya, ia melihat sosok yang baru saja ia kagumi datang menghampirinya. Entah mengapa, tiba - tiba saja ia merasa gugup.
“Rei, ayo pulang bersama. Paman akan mengantarmu pulang.”
Rei yang terlanjur gugup dan merasa agak tidak nyaman, merasa tidak enak hanya dengan membayangkan hal itu terjadi, “Aniyo (Tidak perlu), paman. Aku membawa sepedaku. Aku baik - baik saja.”
“Tidak apa, mobil paman bisa muat untuk sepedamu. Bisa dilipat, kan?” , desak ayahnya Sora memaksa.
“Aniyo (Tidak perlu). Na jinjja gwaenchanhayo (aku benar - benar baik - baik saja).” elak Rei lagi.
Merasa Rei akan terus bersikukuh seperti itu, ayahnya Sora maju lebih mendekat pada Rei, “Anu Rei, sasireun (sebenarnya).. Ahjussiga butak hanaman ittneunde (Paman ada satu permintaan padamu).” , katanya.
“Butak (permintaan)?”
“Ne (iya). Paman harus segera kembali ke rumah sakit secepatnya, jadi tidak sempat untuk menemani Sora. Bisakah aku meminta bantuan padamu untuk mengawasi Sora? Tidak perlu membantunya, kau cukup ada disana memastikan Sora baik - baik saja. Maaf aku merepotkanmu, tadinya paman ingin meminta bantuan pada ibumu, tapi dia pasti akan benar - benar membantu Sora dan bukannya mengawasi saja.” , jelas ayahnya Sora dengan sejujurnya.
Rei bisa merasakan kesungguhan pada ucapan ayahnya Sora. Ditambah, ia melihat ada bekas noda darah pada ujung lengan tangan kanan jas dokter yang masih dikenakan oleh ayahnya Sora.
“Algesseoyo (aku mengerti).” , balas Rei menyanggupi permintaan ayahnya Sora.
“Gomawo, Rei (Terima kasih, Rei). Najunge ahjussi niga bab sajulkke (Kapan - kapan paman akan mentraktirmu makan).”
Rei tersenyum kecut. Rei tahu betul betapa sibuknya ayahnya Sora, mendengarnya mengatakan hal seperti ini mengingatkannya pada kenangan masa kecilnya saat ia berkata ingin naik bianglala saat melewati taman hiburan dalam perjalanan menuju rumah neneknya dan ayahnya berkata mereka akan menaikinya besok, tetapi hal itu tidak pernah terjadi karena mereka tidak lagi melewati jalan itu sebab neneknya pindah rumah keesokan harinya.
Rei dibantu dengan ayah Sora melipat sepeda Rei dan memasukannya ke dalam bagasi mobil. Beruntung, sepedanya muat disana, jadi mereka tidak perlu repot - repot untuk mengangkatnya ke bagian atas mobil. Sora di dalam mobil hanya memperhatikan gerak - gerik mereka dalam diam melalui kaca spion mobil yang ada di atas dashboard, memperlihatkan ayahnya dan Rei tengah mengangkat sepeda Rei dan memasukannya.
Setelah mendengar suara pintu bagasi dibanting tertutup, pintu mobil di belakang Sora terbuka dan Rei masuk. Sementara ayahnya muncul dari pintu di sampingnya.
“Kalian pasti lapar, kan? Maaf ya sudah membuat kalian menunggu.” , kata ayahnya Sora membuka pembicaraan mencoba untuk menjadi seseorang yang menyenangkan.
“Ahaha, gwaenchanhayo, ahjussi (Tidak apa - apa, paman). Mungkin lebih baik lain kali mengabari Sora. Lihat saja, wajahnya sudah kusut seperti pakaian yang ditumpuk berhari - hari.” , respon Rei seraya menatap ayahnya Sora dan juga Sora bergantian melalui kaca spion yang menggantung tepat di tengah atas dashboard mobil.
Dari spion itu, Rei bisa melihat senyum geli dari ayahnya Sora dan juga tatapan mematikan dari Sora padanya yang membuatnya takut untuk membuka mulutnya lagi dan memberi kode bahwa dia akan diam menutup mulutnya dengan menggerakan tangannya dari sudut bibir kanannya ke sudut bibir kirinya seakan - akan bibirnya itu adalah resleting yang bisa ia buka dan tutup.
Setelah memastikan Rei tidak akan bicara hal - hal konyol lagi, Sora melirik ayahnya disampingnya yang dengan cepat raut wajahnya berubah menjadi begitu serius dan khawatir. Hanya dengan sekali lihat, Sora sudah bisa menebak apa yang tengah mengusik pikiran ayahnya dan membuat ayahnya itu khawatir. Itu pasti sesuatu mengenai pasiennya di rumah sakit.
Tanpa bicara lagi, ayahnya Sora menyalakan mesin mobil dan menarik perseneling untuk melajukan mobilnya. Saat itu, Sora melihat ada noda darah pada ujung lengan jas dokter yang dikenakan ayahnya. Sora merasa bisa melihat apa saja yang ayahnya lalui hari ini di rumah sakit. Pasti itu adalah hari yang berat dan begitu menguras tenaganya. Tidak biasanya ayahnya pergi keluar dari rumah sakit masih mengenakan jas putihnya itu, namun saat ini ia masih memakainya dengan keadaan masih ada noda darah pula.
Sora semakin menenggelamkan tubuhnya seiring dengan tenggelamnya dalam rasa bersalah karena telah menyulitkan ayahnya. Akhir - akhir ini pikirannya terus - terusan dihantui oleh pemikiran tentang dirinya adalah beban untuk orang - orang di sekitarnya, terlebih lagi untuk orang - orang yang ia sayangi. Pemikiran itu berakar mulai saat dirinya kecelakaan beberapa waktu lalu. Ia tidak menyangka kecelakaan hari itu yang tidak hanya merenggut kesempatannya untuk unjuk diri pada ayah ibunya dan juga pada dirinya bahwa ia bisa menjadi bintang yang bersinar pada pertandingannya, tetapi juga merenggut dirinya yang lama. Ia benar - benar merasa dirinya yang sekarang ini berbeda dengan dirinya yang sebelumnya.
Bahkan Sora sendiri tidak menyangka pada pemikirannya sendiri, yang sebelumnya berhasil mendapatkan sisi positif dari kecelakaan yang menimpanya, tetapi sekarang ini, hanya dalam hitungan jam sudah terjebak sepenuhnya dalam lubang pemikiran negatif. Satu - satunya yang Sora butuhkan bukanlah tangga untuk keluar dari lubang, melainkan cahaya untuk menyingkirkan kegelapan yang ada di sekitarnya sekarang. Ia merasa akan baik - baik saja tetap berada di dalam lubang asalkan ada cahaya. Setidaknya dengan cahaya yang ia miliki, ia dapat menarik perhatian orang lain untuk datang membantunya keluar dari lubang ini.