Selama perjalanan menuju rumahnya, ayahnya Sora menyetir dengan kecepatan yang cukup tinggi saat jalanan tampak renggang dan terus berusaha menyalip mobil - mobil yang menghalangi di depannya, tepat seperti orang yang terburu - buru takut akan tertinggal sesuatu yang penting atau seperti seseorang yang tengah dikejar sesuatu. Keduanya sama.
Dari kelihatannya, ayahnya Sora memang terlihat begitu tenang menyetir mobilnya seperti itu, tetapi kedua penumpang yang dibawanya nampak begitu khawatir dan agak takut. Sampai - sampai Sora berpegangan pada bagian samping kursi mobilnya, sementara Rei berpegangan erat dengan sabuk pengaman yang memeluk tubuhnya dan menjaga agar ia tetap di tempatnya.
Perjalanan dari rumahnya menuju sekolahnya yang biasanya membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit, kali ini hanya dalam waktu lima menit mereka telah sampai di depan rumah Sora. Mobil yang dikendarai oleh ayahnya Sora berhenti dengan begitu mulus tanpa ada guncangan besar yang dirasakan oleh orang - orang yang ada di dalamnya.
Begitu mesin mobil dan juga lampu depan sudah dimatikan, dengan detak jantungnya yang masih berdebar karena cara berkendara ayahnya Sora yang begitu ugal - ugalan, Rei membuka pintu mobil untuk jadi yang pertama turun, mengingat ia harus menurunkan sepedanya.
Ayahnya Sora dan Sora kompak membuka sabuk pengaman mereka bersamaan. Baru melepaskan sabuk pengamannya, tiba - tiba saja ponselnya berdering oleh sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel ayahnya Sora dan Sora pun mendengar dering panggilan itu. Segera ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponselnya yang masih berdering. Dilihatnya tertera nama kontak perawat Na yang biasa menjadi rekan kerjanya dalam ruang operasi, tanpa berpikir - pikir lagi, ia langsung mengangkat panggilan tersebut.
“Iya, perawat Na? Aku sudah dalam perjalananku. Bisa kau memberikanku waktu beberapa menit lagi? Iya, aku akan secepatnya sampai disana. Terima kasih, ya.” , ayahnya Sora menghela nafas kecil sesaat setelah panggilan tersebut diakhiri, sebelum tersenyum pada Sora yang masih duduk di sampingnya tengah memperhatikannya.
Tentu Sora tidak sebodoh itu untuk tidak dapat memahami situasi macam apa yang ayahnya lalui hanya untuk bisa menjemputnya. Pikirannya kembali terbenam pada pemikirannya sebelumnya, tanpa ia sadari ayahnya sudah berada tepat di luar pintunya dan membukanya yang tanpa sadar mengaburkan lamunan Sora. Sebelum kakinya turun, lebih dulu Sora mengeluarkan tongkat alat bantu jalannya dan dengan ia gunakan sebagai pijakan agar ia tetap seimbang walaupun hanya sebelah kakinya saja yang menyentuh tanah. tepat di samping pintu untuk berjaga - jaga jika Sora kehilangan keseimbangan saat turun nanti.
Kali ini Sora berhasil melakukannya seorang diri dan ada sedikit rasa senang di hatinya saat mengetahui dirinya kali ini bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Tetapi rasa senangnya tidak ia tunjukkan lewat raut di wajahnya, dan hanya ia simpan seorang diri untuk dirinya. Rei telah berhasil menurunkan sepedanya dari dalam bagasi dan meregangkannya kembali ke bentuk sepedanya, ia menghampiri Sora dan ayahnya Sora, berniat untuk berterima kasih atas tumpangannya.
“Imo (bibi-- ibunya Rei) mengatakan padaku untuk makan malam di tempatnya malam ini. Jadi appa langsung pergi saja jika masih ada pekerjaan yang harus dilakukan.” , ujar Sora begitu Rei tiba.
Rei tahu bibi yang Sora maksud adalah ibunya. Ia melirik Sora dengan tatapan meminta penjelasan lebih, karena, pagi tadi ibunya berkata bahwa ia akan pulang larut hari ini. Apa Sora sedang mencoba untuk berbohong? Tanya Rei pada dirinya sendiri seraya sesekali melirik Sora mencari tanda - tanda kebohongan pada wajahnya. Tetapi sepertinya Rei gagal. Sebab, Sora mengatakan kalimatnya benar - benar seperti seorang aktris yang tengah memerankan peran wanita dengan hati yang dingin.
Dalam hatinya, ayahnya Sora mulai merasa lega, tetapi juga cemas Sora tengah berbohong padanya, “Benarkah?” , tanyanya sambil melihat pada Sora dan Rei bergantian.
Rei melirik Sora untuk memastikan ia harus bicara sejujurnya bahwa ibunya sedang tidak ada di rumah atau menuruti skenario yang Sora buat. Namun, Sora hanya menatapnya sama sepert tatapannya pada ayahnya sebelumnya. Rei bingung karena Sora tidak memberinya kode sama sekali dan ia dipaksa untuk memutuskannya sendiri.
“N-ne (i-iya),” , jawab Rei agak ragu. Ia melirik sebentar pada Sora meminta kepastian bahwa jawaban yang ia berikan sudah benar, tetapi Sora tidak memberinya kode apapun, “Okaa-san-- ani, uri eomma (tidak, ibuku) memasak banyak makanan hari ini, dan butuh pasukan lebih untuk menghabiskannya. Jadi dia mengundang Sora untuk makan malam di rumah kami. Begitu.” , jelas Rei ikut dalam skenario tanpa rencana.
Ayahnya Sora mengangguk - angguk mengerti, “Kalau be--” , belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, ponselnya kembali berdering dan ketika memeriksanya itu adalah perawat Na yang kembali menghubunginya.
Baik ayahnya Sora maupun ayahnya sama - sama tahu bahwa hal yang mendesak telah terjadi jika perawat Na sudah menelponnya kembali beberpa menit setelah panggilan terakhir mereka dua menit sebelumnya.
Segera ayahnya Sora mengangkatnya dengan wajah agak panik. Masih dalam panggilan tersebut, ayah Sora kembali ke mobil dengan terburu - buru dan langsung menyalakan mesin mobilnya segera. Rei dan Sora hanya memperhatikan dari tempatnya berdiri seraya membayangkan betapa sibuknya menjadi seorang dokter bedah yang sudah magang beberapa tahun. Tentu setelah mengetahui kesibukan dokter yang begitu menyebalkan , baik Sora maupun Rei sama - sama tidak berniat untuk menjadi dokter di kemudian hari.
Kaca jendela mobil ayahnya Sora turun perlahan menampakkan wajah ayahnya Sora di baliknya, “Ada sesuatu mendesak terjadi, dan appa harus segera kembali ke rumah sakit.” katanya seraya melihat pada Sora dan ia beralih pada Rei, “Makanlah yang banyak dan jangan lupa sampaikan rasa terima kasihku pada ibumu ya, Rei!”
“Ne (baik)~” , balas Rei segera.
“Araseo (aku mengerti). Menyetirlah dengan hati - hati, appa.” , pesan Sora yang dibalas sebuah anggukan dan senyuman sesaat sebelum mobilnya melaju dengan cepat meninggalkan mereka berdua.
Cahaya dari lampu mobil yang menyilaukan telah pergi meninggalkan mereka berdua di puncak jalan tanjakan rumah mereka masing - masing. Penerangan yang bisa mereka dapatkan hanya dari lampu - lampu hias yang ada di depan rumah - rumah mereka dan ada satu lampu lalu lintas yang besar dan mengeluarkan cahaya berwarna kuning.
“Apa kau tahu ibuku tidak ada di rumah saat ini dan baru akan pulang larut nanti?” , tanya Rei tiba - tiba.
Sora melirik pada Rei, “Tidak tahu dan sekarang aku tahu.” , balas Sora singkat. Suasana hatinya benar - benar sedang buruk untuk saat ini. Ia menjadi yang lebih dulu beranjak pergi dari tempatnya berdiri untuk segera masuk ke dalam rumahnya yang merupakan tempat ternyaman dan teraman yang bisa ia kunjungi.
“ Jeonyeogeun (Bagaimana dengan makan malammu)?” tanya Rei memastikan Sora makan makam hari ini.
Sebelumnya ia sudah dimintai tolong oleh ayahnya Rei untuk mengawasi Sora dan bersiap menolongnya jika ia kesulitan sesuatu.
“Jeonyeok (makan malam)? Tenang saja, aku akan memesan sesuatu nanti. Aku pulang dulu, ya. Terima kasih sudah mau membantuku hari ini.” , Sora membungkukkan kepalanya bersikap seperti ia sangat berterima kasih pada Rei atas semua yang sudah ia lakukan hari ini, dan kemudian berjalan dengan terpincang - pincang menuju pintu gerbang rumahnya.
Rei tidak menanggapi perkataan Sora. Ia hanya menatap Sora yang membuatnya tidak sabaran oleh langkah Sora yang menjadi lambat karena pincangnya dan dalam pikirannya ia ingin sekali menggendong Sora seperti yang dilakukan ayah Sora sebelumnya, tetapi takut malah akan membuat Sora merasa aneh dan akan memicu kecanggungan di antara mereka. Pada akhirnya, Rei mengekor Sora di belakangnya. Ia melangkah pelan mengikuti kecepatan langkah Sora dan tidak berniat untuk berjalan lebih cepat mendahului Sora. Sebab, ia tidak ingin menyinggung Sora jika ia melakukan hal itu.
“Neo jibe an ga (Kau tidak pulang ke rumahmu)?” , tanya Sora seraya mengeluarkan kunci pintu gerbang kecil di sisi gerbang besar rumahnya. Ia menyadari kehadiran Rei yang tengah berdiri di belakangnya.
Rei keluar dari bayangan Sorea dan beralih bersandar pada dinding kecil yang menjadi pembatas antara rumahnya dengan rumah Sora seraya melipat kedua tangannya di dadanya, “Nanti saja. Aku juga ingin makan jajjangmyeon (mi saus pasta kacang kedelai hitam).” , jawab Rei dengan senyum lapar di wajahnya.
Pintu gerbang terbuka, Sora menatap pada Rei di sampingnya dengan tatapan heran, “Neo, etteohkke ara (bagaimana kau bisa tahu)?”
Rei terkekeh licik, “Sepertinya tidak ada hal yang tidak aku tahu tentangmu. Yah, sesuatu seperti itu.”
Mendengar jawaban seperti itu membuat Sora menekuk alis kanannya ke bawah, “Kau tahu apa yang ingin aku lakukan sekarang?” , tanya Sora mencoba menguji Rei.
“Hmmm, coba kutebak. Kau ingin mengatakan lagi - lagi aku mengatakan hal yang konyol, yah, sesuatu seperti itu, benar ‘kan?”
Raut wajah Sora langsung berubah, tersenyum nyaris tertawa, “Kau benar.” , ia pun berjalan masuk dan langsung menutupnya, meninggalkan Rei seorang diri di luar. Bahkan, ia memasukan grendel pintu gerbangnya sebelum kembali melangkah menyusuri halaman rumahnya.
“Ya (hei)! Ya (hei)! Sora!” , panggil Rei sambil menahan tawanya karena tingkah Sora yang malah menguncinya di luar.
Senyum Sora mengembang hingga membuat pipinya terangkat ke atas menahan tawanya seraya berpura - pura tidak mendengar dan tidak peduli pada panggilan Rei di belakangnya yang memintanya untuk membukakan pintu gerbangnya. Tentu Sora tidak benar - benar mengunci pintunya. Ia hanya mengaitkan grendel pintu gerbangnya sebab hanya berniat untuk bermain - main dengan Rei seperti yang biasa mereka lakukan di hari - hari lainnya.