BAB TUJUH

1832 Kata
Kang Hajoon, begitulah nama yang tertera pada papan nama yang tertempel pada dinding samping pintu ruangan pribadi ayahnya Sora yang bekerja sebagai dokter bedah umum. Bekerja sebagai dokter bedah umum bukanlah hal yang mudah. Ia harus merawat pasien sebelum operasi, menjaga kondisi pasien agar tetap stabil saat operasi berlangsung, dan juga merawat pasien pasca pembedahan. Tidak hanya itu, seorang dokter bedah umum juga harus mendiagnosis penyakit atau masalah yang terjadi pada tubuh pasien sebelum menjelaskan secara singkat dan padat pada dokter bedah spesialis nantinya. Selain itu, seorang dokter bedah umum juga harus memberikan konsultasi ataupun informasi apa saja yang harus pasien maupun keluarga pasien ketahui. Saat itu ayahnya Sora sedang berjaga di ruang ICU bagian bedah anak untuk memantau kondisi pasiennya yang akan ia ikuti pembedahannya, sambil mempelajari foto CT Scan bagian perut seorang anak kecil berusia lima tahun yang terdapat kista timbul di saluran yang menghubungkan liver dan saluran empedu ataupun di saluran empedu yang terhubung ke usus. Seorang wanita yang terlihat gelisah sejak tadi tampak mendatangi ayahnya Sora. Wanita itu tenyata adalah ibu dari anak yang menderita Kista Koledokus tersebut. Dari sorot matanya nampak jelas ketakutan yang begitu dalam dan kekhawatiran yang terus menghantuinya beberapa hari kebelakang. “P-permisi dokter?” , tegur wanita itu dengan suara yang gemetar. “Iya bu, ada yang bisa saya bantu?” , jawab ayahnya Sora ramah. Ia benar–benar tersenyum tulus saat itu untuk meringankan kekhawatiran wanita itu. “Anakku.. Yeonhee.. akan baik–baik saja kan, dokter? Operasinya tidak akan sulit kan, dokter?” , tanya wanita itu khawatir. “Tidak ada operasi yang tidak sulit bu, tapi tidak perlu khawatir. Operasi Yeonhee bukan operasi yang rumit.” “Apa akan lama? Apa akan terasa sakit? Dokter tolong anakku.” , wanita itu tidak bisa lagi menyembunyikan rasa takutnya. “Jadi begini bu, liver memproduksi yang namanya cairan empedu yang membantu mencerna lemak. Cairan yang sudah di produksi akan berjalan ke usus, jalan itu bernama saluran empedu.” , penjelasan ayahnya Sora didengarkan dengan serius oleh wanita itu yang merupakan ibu dari pasien bernama Yeonhee. “Ukuran saluran empedu anak biasanya panjangnya tidak sampai lima milimeter, tetapi saluran empedu Yeonhee memanjang sampai dua sentimeter lebih.” , wanita itu langsung merasa lemas seketika, tetapi ia berusaha tegar adan mendengarkan penjelasan ayahnya Sora sampai akhir. “Jika saluran empedu terlalu panjang, hal itu membuat cairan empedu tidak mengalir dan mengendap. Endapan itu membentuk batu atau bisa juga penyakit komplikasi lainnya. Dan operasi Yeonhee hari ini, mengangkat batu yang ada di saluran empedu dan memotong saluran empedu yang memanjang itu agar kembali ke ukuran normal.” , ibunya Yeonhee merasa lega hatinya setelah tahu detail operasi yang akan anaknya jalani. “Tetapi setelah dipotong, saluran empedu harus tetap mengalir kan? Oleh karena itu harus disambungkan pada usus kembali. Setelah disambungkan, operasi pun selesai.” , ayahnya Sora berusaha menjelakan dengan sesederhana mungkin untuk meringankan kekhawatiran yang menyelimuti ibunya Yeonhee. Ibunya Yeonhee sudah terlihat lebih tenang setelah mendengar penjelasan dari ayahnya Sora. Melihat kondisi anaknya yang terbaring dengan selang–selang di tubuhnya membuatnya ketakutan setengah mati. Tetapi melihat ayahnya Sora begitu tenang menjelaskan situasi operasi membuat ketakutannya perlahan berkurang. Ia meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik–baik saja. “Terima kasih dokter. Tolong jaga anakku Yeonhee. Aku percayakan hal ini padamu dokter.” , ucap wanita itu penuh harap. Ayahnya Sora pun mengangguk tersenyum sambil mengelus pundak wanita itu untuk menenangkannya. Tidak seperti dokter bedah spesialis yang hanya menangani operasi sesuai dengan bidang spesialisnya, seorang dokter bedah umum harus ikut berpartisipasi membantu dalam operasi apapun walaupun ia bukanlah yang membedah pasien secara langsung. Dokter bedah umum harus selalu memantau kondisi pasien dan bersiap siaga jika kondisi darurat terjadi. Semua pekerjaan dan tugas pokok yang harus ayahnya Sora jalani sebagai dokter bedah umum membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit dibandingkan di rumahnya sendiri. Tetapi ia selalu menyempatkan diri untuk pulang selarut apapun itu, ataupun sesingkat apapun waktu luangnya, ia selalu menyempatkan untuk pulang walaupun hanya sekedar untuk mengganti baju. Setidaknya ia harus memastikan Sora baik–baik saja dan tidur dengan baik di malam hari. Ia sadar betul bahwa sikapnya tidaklah menunjukkan sikap hangat kasih sayang seorang ayah ataupun seorang suami. Kesibukannya membuatnya terkadang tidak bisa membagi waktunya untuk keluarganya, hal itulah yang membuatnya tidak terlalu dekat dengan Sora dan juga yang membuatnya bercerai dengan ibunya Sora. Ia menyesal karena punya hubungan yang tidak terlalu akrab dengan putrinya sendiri, tetapi ia tidak menyesal karena sudah bercerai dengan istrinya. Pada awalnya ia memang menyalahkan dirinya atas penyebab perceraian dirinya dengan ibunya Sora . Tentu itu bukanlah hal yang mudah untuk diterima dengan lapang d**a begitu saja, pada awalnya ayahnya Seowoo menolak sepenuh hati, ia tidak terima, dan tidak mau berpisah dengan istrinya ataupun Sora. Ia sudah berusaha memenuhi kebutuhan istri dan juga anaknya dengan cukup. Ia tidak ingin mereka merasa kekurangan uang akan menghambat mereka seperti apa yang ia alami dahulu. Tentu saja ia tidak ingin keluarga kecilnya merasakan hal yang sama dengan dirinya yang dulu. Oleh karena itu ia berusaha keras, memberikan semua yang mereka inginkan dan butuhkan. Tetapi kenyataannya tidak seperti yang ia pikirkan. Hal itu masih dirasa kurang oleh istrinya hingga menggugatnya cerai. “Ini, aku juga sudah menuliskan data dirimu, tinggal hanya perlu tanda tanganmu.” , ucap ibunya Sora meletakkan selembar map cokelat besar di atas kasur menunjukkannya pada ayahnya Sora yang sedang mengganti pakaiannya. Ayah Sora sudah tahu betul apa isi dari map cokelat itu. Adalah hal yang sama yang selalu istrinya bicarakan selama sebulan ini. Surat pengajuan perceraian yang tidak ia inginkan, ia pun tidak menanggapi ucapan ibunya Sora dan tetap melanjutkan melepaskan dasi dan juga kancing bajunya. Ibunya Sora sudah tidak sabar, ia sudah lelah menunggu. “Tolong jangan persulit hal ini. Aku tidak bisa melanjutkan hidupku seperti ini. Aku mohon, aku hanya butuh tanda tanganmu.” Ayahnya Sora berbalik menatap ibunya Sora yang sudah melipat tangannya di bawah dadanya menunggu ia membuka suara. “Dengar, aku tidak ingin kita bercerai. Walaupun kau ingin, aku tetap tidak akan mau. Apa kau ingin Sora tidak punya ayah atau ibunya? Kau mau Sora tumbuh besar seperti itu? Sungguh?” , balas ayahnya Sora tegas menatap ibunya Sora dengan serius. Ibunya Sora sama sekali tidak bergeming, ia balas menatapnya. “Lalu.. kau mau Sora punya adik yang berasal dari ayah yang berbeda? Kau ingin Sora sadar bahwa keluarganya bukanlah keluarga yang bahagia dan harmonis seperti yang selama ini ia pikirkan? Begitu? Kau ingin menunjukkan padanya bahwa keluarganya sungguh berantakan? Begitu?” , balas ibunya sengit. Ayahnya Sora tertegun mendengarnya. Ia menatap manik istrinya nanar berusaha mencerna perkataan yang baru saja ibunya Sora lontarkan padanya. “Apa katamu?” , suaranya terasa tertahan di tenggorokannya. Ibunya Sora membuang muka sesaat seperti menyesali apa yang baru saja keluar dari mulutnya, tetapi apa daya, sudah terjadi dan sudah terucapkan. Ia pun kembali menatap ayahnya Sora yang masih menatapnya menunggu jawaban atas pertanyaan keterjutannya. “Aku sedang mengandung. Sudah dua bulan.” , jawab ibunya Sora singkat namun sanggup membuat ayahnya Sora sulit untuk menelan ludah yang terasa seperti batu besar yang mengangkut di tenggorokannya. Ayahnya Sora sadar betul bahwa ia tidak berhubungan badan dengan istrinya selama tiga bulan belakangan ini. Ia pun menyadari apa yang sebenarnya terjadi. “Sejak kapan?” , tanya ayahnya Sora dingin. “Sebenarnya aku sudah mengenalnya dua tahun ini, namun beberapa bulan ini aku benar–benar dekat dan ingin bersamanya. Kau tahu, kau jarang punya waktu untukku, aku kesepian. Bukan hal yang salah kan jika aku melakukan hal itu?” , jelas ibunya Sora terus terang. Ayahnya Sora tidak habis pikir, bagaimana bisa istrinya keluar dengan pria lain ketika ia punya Sora yang harus ia rawat. Yang ada di pikiran ayahnya Sora saat ini hanyalah Sora. Ia sudah merasa di khianati oleh istrinya. Ayahnya Sora bisa menerima alasan karena kurangnya waktu intim berdua padahal istrinya adalah orang yang selalu ingin perhatian dan ditemani, tetapi ia tidak bisa menerima bagaimana bisa istrinya melakukan hal itu ketika ada Sora yang seharusnya diperhatikan dan diberikan banyak kasih sayang. “Kau benar–benar ingin bersama pria itu?” , tanya ayahnya Sora tegas. Ibunya Sora paham betul bagaimana tegasnya ayahnya Sora. Ia adalah orang yang bersungguh–sungguh dengan kata-katanya dan tidak akan menarik kata–katanya kembali. “Iya. Aku mohon jangan siksa aku dengan kesepian ini dan biarkan aku bahagia.” Ayahnya Sora pun melunak. Ia mencintai istrinya dan tentu ingin istrinya bahagia. Walaupun itu artinya harus melepaskan istrinya pergi. “Baiklah jika itu maumu. Kau tahu, aku sungguh mencintaimu Soyeon-a, maaf aku tidak bisa membuatmu bahagia. Maafkan aku sudah membuatmu merasa kesepian. Maaf karena tidak memperlakukanmu dengan baik. Aku harap kau benar–benar bahagia dengan keputusanmu.” , ayahnya Sora tidak meminta ibunya Sora untuk menarik kembali kata–katanya jika hal itu sudah menjadi keputusan finalnya, ia hanya mengampaikan penyesalan yang ia rasakan saat ini. “Terima kasih.” , sahut ibunya Sora menahan air mata. Ia merasa sakit ketika melihat kilasan balik waktu–waktu yang mereka habiskan bersama hingga sejauh ini. Tetapi ia juga merasa senang karena merasa akhirnya bebas dari apa yang menahannya selama ini. Ia tidak bisa lagi menjalani hidup seperti ini. Ia ingin hidup dengan bahagia. Setelah mendengar hal itu, mereka saling tidak bersuara lagi. Ayahnya Sora segera mengganti pakaiannya dan keluar kamar menuju kamar Sora. Pintu kamar Sora tertutup saat itu karena waktu sudah tengah malam dan sudah pasti Sora sudah tertidur pulas. Dengan pelan–pelan ayahnya Sora membuka pintu kamar Sora agar suara decitan pintu tidak membangunkan Sora yang sudah tertidur lelap di atas tempat tidurnya. Ayahnya Sora dengan perlahan berbaring di samping Sora dan memeluknya. Air matanya mengalir namun tak bersuara. Sakit, tentu saja. Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar, selama dua tahun itu istrinya diam–diam bermain di belakangnya. Selama dua tahun itu juga ia selalu menganggap keluarga mereka baik–baik saja. Semua itu terasa runtuh saat istrinya tiba–tiba memintanya untuk bercerai., tetapi setelah mengetahui fakta bahwa ibunya Sora berselingkuh dengannya dan lebih memilih untuk bersama selingkuhannya, ia sama sekali tidak menyesali perceraiannya. Bukan perasaan yang mudah untuk ditanggung seorang diri ketika ia berusaha keras untuk menghidupi keluarganya, ingin memberikan keluarganya kehidupan yang layak dan tidak kekurangan, namun justru mengkhianatinya. Sora yang merasa ada sesuatu yang besar memeluknya langsung menggeliat bangun dan membalikkan badannya untuk melihat siapa yang memeluknya. Sora mencoba untuk membuka matanya yang masih mengantuk, dan tersenyum saat menyadari siapa yang telah memeluknya. “Appa sudah pulang?” , tanya Sora sambil tersenyum setengah sadar, ia pun memeluk ayahnya erat. “Iya Sora, appa sudah pulang.” , ayahnya Sora membelai lembut rambut putrinya dan mencium pucuk kepalanya dalam. Ia bisa mencium wangi buah dari sampo yang biasa Sora gunakan. Sejenak ia bisa melupakan luka yang ia rasakan dan terganti oleh perasaan penuh kasih sayang untuk putrinya. Ia bisa melepaskan istrinya, tetapi ia bertekad untuk mempertahankan putrinya. Putri kesayangannya dan satu–satunya di dunia ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN