Lampu depan mobil menyorot gerbang tralis berwarna hitam milik rumah Sora. Mobil hitam mengkilap milik ayah Sora sudah sampai, sesaat setelah lampu depan mobil mati, ayah Sora keluar dari pintu sebelah kiri mobil dan melihat ke kamar Sora yang lampunya menyala. Ia tersenyum dan segera menarik pintu gerbang setinggi dua meter itu agar mobilnya dapat masuk.
Setelah memakirkan mobilnya di dalam garasi, ayah Sora masuk melalui pintu samping di dalam garasi yang menghubungannya langsung dengan dapur. Saat membuka pintu, keadaan dapur gelap karena lampunya tidak menyala. Dengan sedikit heran, ia segera meraih saklar lampu dapur yang berada tepat di samping pintu yang menghubungkan dapur dengan garasi.
“Sora-ya~ appa wasseo (Sora, ayah sudah pulang)~” , sahut ayah Sora mengira Sora sedang ada di kamarnya dan berharap ia mendengar panggilannya sambil meletakkan bungkusan plastik berisi ayam goreng yang masih hangat ke atas meja dapur.
Meletakkan jas hitam yang ia tenteng bersama dengan tas kerjanya dan membuka dua kancing atas kemeja putihnya, ayah Sora berjalan santai menuju lemari kecil yang berada di atas bak cuci dan mengambil sebuah gelas dari sana. Kemudian membawa gelas tersebut unuk dituangkan air putih dari teko beling bening ke dalam gelas yang ada di tangannya dan langsung meneguknya. Ia langsung menghabiskan semua air yang ia tuangkan ke dalam gelas dalam sekali teguk sambil menunggu putrinya turun dari kamarnya.
Sambil masih menunggu, ia memperhatikan dapur dengan detail. Ia tidak menyangka putrinya sangat baik dalam hal bersih-bersih rumah. Bahkan kompor lama pun masih terlihat mengkilap tanpa noda sedikitpun. Hanya wananya saja yang sedikit pudar.
Kali ini, dirinya beralih memeriksa bahan makanan. Rupanya hanya sedikit stok makanan yang tersisa. Bahkan, ia tidak menemukan masakan yang biasanya Sora masak setiap harinya.
“Sora-ya~” , panggilnya lagi dan menunggu beberapa saat.
Namun karena tak kunjung juga ada tanda-tanda jawaban dari panggilannya, ia memutuskan untuk memeriksa ke atas.
“Sora? Chani (Kau sudah tidur)?” , sahut ayah Sora begitu ia membuka pintu kamar Sora dan tidak menemukan seseorang yang dia cari di dalamnya.
Ayah Sora memutuskan untuk masuk dan memeriksa. Ia berjalan menuju meja belajar Sora dan menemukan ponsel milik Sora tertinggal disana. Bertanya-tanya kemana perginya putrinya tersebut, ayah Sora menengok ke luar jendela kamar Sora dan menemukan jendela kamar rei tertutup namun lampunya menyala. Kemudian, beralih melihat ke bawah saat mendengar seseorang yang terdenar sangat familiar di telinganya.
“Jangan lupa untuk cuci piringnya ya, Rei!” , teriak Sora saat ia keluar dari rumah Rei berharap Rei yang di dalam mendengarnya.
Ayah Sora tersenyum melihat putrinya yang tengah berjalan dengan riang menuju pintu gerbang Rei dan kembali ke rumahnya.
“But tonight~ You belong~ To me~ (lagu Tonight You Belong To Me yang dipopulerkan oleh Gene Austin pada tahun seribu sembilan ratus dua puluh tujuh)”. senandung Sora saat membuka pintu dan masuk.
“Appa tidak tahu kau suka lagu-lagu lama.” , sahut ayahnya yang sedang menuruni tangga membuat Sora terkesiap karena mengira tidak ada orang di rumah ini selain dirinya.
Mimik wajah Sora yang tadinya terkejut langsung berganti dengan wajah senang saat melihat ayahnya menuruni tangga dari lantai atas, “Appa eonjewa (Ayah kapan datang)?”
“Baru saja. Appa kira kau ada di rumah, ternyata hanya lampu kamarnya saja yang menyala.”
Sora menggaruk tenguknya yang tidak gatal karena merasa malu, “Hehe, tadi imo (bibi, yang dimaksud adalah ibunya Rei) menyuruhku untuk makan di rumahnya. Imo memasak tangsuyuk. Benar-benar enak sekali!”
Ayah Sora manggut - manggut mengerti, “Hmm.. Kalau begitu sepertinya appa hanya akan makan sendirian ayam goreng yang appa bawa.”
Mata Sora langsung berbinar, “Ayam goreng?!” , Sora senang sekaligus terkejut karena sebelumnya ayahnya tidak mengijinkannya untuk makan ayam goreng dengan alasan tidak bagus untuk kesehatan. NAmun, Sora tidak menyangka ayahnya membelikannya ayam goreng hari ini.
Ayah Sora menunjuk ke arah dapur dengan dagunya untuk menunjukkan pada Sora dimana ayam gorengnya berada.
Sora dengan segera berlari kecil menuju dapur diikuti oleh ayahnya di belakangnya. Perasaan senangnya tidak bisa ia tutupi saat membuka bungkusan plastik yang mengeluarkan aroma ayam goreng yang masih hangat ketika dibuka.
“Appa membeli banyak. aku akan membantu menghabiskannya.” , ujar Sora dengan bersemangat.
Wajah ayah Sora pun terlihat senang walaupun ia tidak terlalu menunjukkan senyumannya, “Cuci tanganmu dulu.” , katanya dan diiyakan oleh Sora yang langsung mencuci tangannya juga mengambil piring untuk alasnya saat makan ayam.
“Sepertinya bahan makanan kita sudah habis.” , kata Ayah Sora yang sudah lebih dulu mengambil ayam goreng bagian paha dan melahapnya.
“Ah,” , wajah Sora menunjukkan dirinya yang lupa untuk berbelanja hari ini, “Iya, aku lupa berbelanja tadi.”
“Kalau begitu kau makan apa sepulang sekolah tadi?” , tanya ayahnya khawatir.
Bola mata Sora melihat keatas saat berusaha mengingat apa yang ia makan tadi sebelum pergi ke tempat les, “Aku menyimpan mie instan cup di laci atas.” , jawab Sora dengan sedikit takut-takut.
Ayah Sora memandangi Sora yang sedang memilih bagian ayam yang ingin ia makan dengan tatapan sedih sekaligus kasihan, “Kalau begitu besok kita belanja.” , sahut ayah Sora tidak ingin ada bantahan.
Mendengar hal itu, pandangan Sora langsung beralih pada ayahnya, “Memangnya besok appa tidak ada operasi?”
“Ah!” , ayah Sora menepuk dahinya dengan pungggung tangannya, “Iya benar, besok appa ada jadwal operasi pagi.” , sesal ayah Sora.
Hal seperti ini bukanlah hal yang baru terjadi, Sora yang sudah terbiasa dengan itu kembali memilihkan sayap ayam untuknya dan meletakkannya pada piringnya.
“Gwaenchanha (Tidak apa). Aku bisa berbelanja sendiri.” , jawab Sora tidak ingin membuat ayahnya merasa bersalah.
Namun mendengar nada bicara Sora yang merendah seperti itu justru membuat ayahnya semakin merasa bersalah karena jarang sekali memiliki waktu berdua dengan putrinya. Bahkan dirinya tidak tahu harus bereaksi dan merespon apa atas ucapan Sora tadi. Mereka pun hanya menghabiskan ayam dengan tenang.
***
Mulut Sora membuka lebar membentuk oval saat menguap karena kantuk yang menyerangnya saat ia tengah mempelajari kembali apa yang diajarkan di tempat lesnya tadi. Ujian hanya tinggal menghitung hari, dan dia tidak ingin mengecewakan ayanya juga dirinya dengan nilai yang buruk.
Merasa matanya tidak bisa lagi bertahan, Sora memutuskan untuk berhenti dan menutup bukuya bersiap untuk tidur. Sebelum pergi tidur, ia menyiapkan buku yang harus ia bawa besok dan memeriksa jika ada PR yang diberikan oleh gurunya di sekolah yang mungkin luput dari ingatannya. Saat mengeluarkan barang-barang dari tasnya, ia mengingat dokumen pendaftaran yang harus ditanda tangani oleh ayahnya selaku wali dirinya.
“Hampir saja aku lupa soal ini.” , gumamnya merasa lega karena dia menemukannya lebih awal jadi ia tidak perlu khawatir jika ayahnya akan berangkat lebih pagi besok.
Ia menarik secarik kertas tersebut dan membawanya untuk ditunjukkan kepada ayahnya. Tak lupa ia juga membawa pena bersamanya.
Sora mengetuk pintu kamar ayahnya yang tidak tertutup sepenuhnya sebelum masuk, “Appa? Chayo (sudah tidur)?” , panggilnya pelan sambil melongok ke dalam kamar. Namun dirinya tidak menjumpai siapapun di kamarnya.
Sora beralih turun ke bawah menduga ayahnya mungkin sedang mandi. Dan benar saja, dari dapur ia bisa mendengar suara shower yang menyemburkan air. Sora akhirnya memutuskan untuk menunggu di meja makan sambil membaca apa saja yang tertulis dalam dokumen tersebut karena asebelumnya ia tidak sempat membaca semuanya.
Setelah membaca dengan perlahan hingga tiga per empat dari isi dokumen, ayah Sora keluar dari kamar mandi masih dengan handuk yang dililitkan pada pinggangnya. Sora langsung menengok pada ayahnya.
“Anchasseo (Kau belum tidur)?” , tanya ayahnya sambil mengeringkan wajahnya dengan handuk kecil yang memang dikhususkan untuk mengeringkan wajah di rumah ini.
“Aku butuh tanda tanganmu, appa.” , jawab Sora langsung to the point dengan mata mengantuk.
“Tanda tanganku? Untuk apa?” , ayah Sora menghampiri Sora untuk melihat apa yang Sora maksud.
Sora menggeser dokumen pendaftarannya agar ayahnya bisa melihatnya lebih dekat, “Aku mendaftar di tempat les dekat taman Hangang. Aku butuh kelas tambahan untuk ujianku.” , jelas Sora.
Ayah Sora mengambil dokumen tersebut dan membacanya dengan seksama untuk memastikan tempat yang Sora pilih adalah tempat yang tepat, “Kenapa kau berusaha keras seperti itu?”
“Appa kan tidak suka jika nilaiku buruk.” , jawaban yang Sora berikan membuat ayahnya terpojok.
“Ah begitu. Kalau begitu kenapa kau tidak membicarakannya lebih dulu dengan appa? Appa bisa mencarikanmu guru pembimbing yang bagus. Atau mencarikanmu tempat les yang bagus.”
“Tidak mungkin appa punya waktu untuk hal itu.” , balas Sora yang benar-benar memukul telak ayahnya.
“Ini, disini. Appa hanya perlu tanda tangan disini. Aku sudah mulai mengikuti kelasnya hari ini. Tempatnya cukup nyaman dan aku bisa menjangkaunya dengan naik sepeda.” , Sora memberikan pena pada ayahnya untuk segera ditanda tangani.
Ayah Sora merasa bangga memiliki putri yang mandiri seperti Sora sekaligus merasa bersalah karena Sora bahkan harus mengurusi hal seperti ini seorang diri. Seringkali terpikirkan untuk mengembalikan Sora pada ibunya dengan harapan mungkin Sora akan mendapat perhatian lebih jika bersama ibunya. Dulu dirinya memang pernah membenci ibu Sora karena telah membagi perhatiannya dengan pria lain yang seharusnya semua perhatian itu ia berikan saja untuk Sora sebagai putrinya, namun, saat ini ia berpikir jika dirinya tidak lebih baik dari ibu Sora. Kenyataannya, dirinya pun tidak memberikan perhatian yang banyak pada Sora selain menghasilkan uang untuk semua yang Sora butuhkan.
Menerima pena yang Sora berikan, ia langsung membubuhkan tanda tangannya di atas nama lengkapnya pada bagian wali peserta didik. Selesainya, ia langsung memberikannya kembali kertas juga pena pada Sora.
“Hoaam~ Kalau begitu, aku tidur duluan ya appa.” , pamit Sora dengan mulutnya yang menguap dan ditutupinya dengan kertas dokumen di tangannya. Langkah kakinya gontai saat menuju tangga karena kantuk yang tak tertahankan.
“Sora-ya.” , panggil ayahnya yang langsung menghentikan langkah Sora.
“Hm?” , Sora yang sudah berpegang pada pegangan tangga, berbalik dengan mata hampir tertutup.
“Bagaimana jika kita menyewa asisten rumah tangga?” , tanya ayah Sora.
Sora tersenyum lemah karena kantuk yang menyerangnya dan menggelengkan kepalanya dengan malas, “Sepertinya kita sudah pernah membahas hal ini sebelumnya. Jawabanku masih sama, appa. Aku tidak mau.” , jawab Sora sambil mengedipkan matanya dengan lambat.
“Appa tidak perlu khawatir, aku pandai bersih - bersih.” , tambah Sora berusaha meyakinkan ayahnya.
“Tidak untuk seterusnya, tapi hanya sampai ujianmu selesai. Bagaimana? Appa tidak mau kau kelelahan.”
Sora menggeleng, “Tidak. Tenang saja, aku bisa mengurus semuanya dengan baik.”
Ayahnya menatap Sora dengan khawatir, “Appa tadi baru saja di telpon, katanya appa mewakili rumah sakit untuk menghadiri rapat asosiasi dokter bedah umum dari berbagai rumah sakit dari negara - negara yang ada di Asia.”
“Eodi (dimana)?”
“Di Singapura.”
“Eonje (Kapan)?”
“Minggu depan.”
“Eonjewa (Kapan pulangnya)?”
“Acaranya lima hari. Jika dihitung dengan waktu berangkat dan pergi, kemungkinan akan menghabiskan waku seminggu.”
Sora manggut-manggut mengerti, “Gwaenchanha (Tidak apa-apa). Naega arasseohalkke (Aku akan mengurus rumah). geugo naega jalhaljanha (Aku kan pandai melakukan hal itu).”
“Sora-ya..”
“Gwaenchanha appa (Tidak apa-apa, appa). Na kkeokjeong hajima (Jangan khawatirkan aku).” , Sora tidak ingin lagi membicarakan hal ini, ia kembali melangkahkan kakinya menaiki anak tangga satu per satu.
“Eomma bogoshipeo (apa kau merindukan ibu)?” , tanya ayahnya tiba-tiba yang membuat Sora tersentak sejenak.
Mata Sora yang tadinya sayup - sayup karena kantuk, mendengar hal itu, membuka lebar matanya dan menamparnya menjadi sadar sepenuhnya. Sora menatap lurus ke depan. Terlihat jelas pikirannya tampak terganggu dengan pertanyaan barusan. Namun, ia tidak ingin memperpanjang hal ini dan memilih untuk melanjutkan langkahnya menuju kamarnya dan segera menutup pintu kamarnya begitu ia sudah masuk ke dalam. Ia bersandar pada pintu dan pikirannya masih melayang kembali ke masa lalu mengingat sosok yang disebutkan oleh ayahnya.
Ayah Sora menyerah dan tidak melanjutkan lagi pertanyaannya yang belum terjawab. Ia berpikir Sora pasti sangat lelah hari ini dengan semua kegiatan yang ia lakukan seharian ini dan butuh istirahat segera.
Rupanya Sora tidak benar - benar pergi tidur. Ia menyandarkan tubuhnya pada pintu dan merosot duduk. Tatapannya terlihat sedih dan menerawang. Kalimat terakhir yang ditanyakan padanya oleh ayahnya telah menghantamnya seperti ada sesuatu yang mendobrak hingga membuka pintu dalam hatinya yang selama ini ia tutup rapat - rapat.