Dalam hatinya, ia sangat merindukan ibunya sekaligus membencinya. Ia merasa dirinya tidak lagi dicintai dan bukan lagi seseorang yang berharga untuk ibunya. Hari ini terhitung sudah lebih dari setahun ibunya tidak pernah menghubungi ataupun menemuinya lagi.
Dalam pikirannya terbentuk macam - macam prasangka yang membuatnya frustasi dalam diam. Ia bertanya - tanya apa ibunya memikirkannya juga atau hanya dirinya sebagai satu - satunya yang merasakan hal ini.
Sora tidak pernah berharap ibu dan ayahnya akan kembali bersama, ia tahu itu adalah hal yang tidak mungkin. Ia tahu ibunya sudah memiliki keluarga baru yang harus ia pedulikan dan prioritaskan. Tetapi setidaknya, Sora ingin dirinya masih mendapat tempat dalam hati dan pikiran ibunya.
Tak sadar sudah berapa lama ia berjongkok seperti itu sambil bersandar pada pintu, air matanya ikut menetes satu per satu, menumpahkan semua beban yang Sora rasakan akhir - akhir ini. Tak lama, ia bisa mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Ia yakin itu adalah ayahnya yang sedang menaiki tangga menuju lantai dua. Segera Sora bangkit berdiri, mengusap air matanya, dan beranjak ke meja belajarnya untuk meletakkan kembali kertas dokumen pendaftaran dan juga pena yang ia bawa.
Berjaga - jaga jika ayahnya masuk untuk memeriksa, Sora segera berbaring ke tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi lehernya dan berpura - pura tidur.
Benar saja, beberapa detik setelah itu, pintu kamar Sora terbuka perlahan dan menampilkan ayahnya Sora yang muncul dengan kaos putih polos juga celana santainya. Ia melihat Sora yang sudah berbaring dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.
Dengan tenang dan perlahan, ayah Sora berjalan mendekat ke tempat tidur dan duduk disana sambil melihat lekat - lekat wajah Sora yang tampak sudah tertidur lelap padahal kenyataannya Sora hanya berpura - pura tidur. Matanya beralih melihat sekeliling kamar Sora dan melihat meja belajarnya masih berantakan dengan buku - buku dan kertas - kertas yang belum dibereskan.
Ia beralih ke meja belajar dan membereskannya, meletakkan kembali buku - buku ke rak buku dan juga mematikan lampu belajar yang masih menyala.
Tidak ingin mebangunkan Sora jika ia berlama - lama disana, ia pun mematikan lampu kamar Sora dan menggantinya dengan menyalakan lampu tidur yang ada di atas meja di samping tempat tidur Sora dan keluar dari situ.
Tepat setelah pintu kamarnya tertutup, mata Sora terbuka dan kembali pada kesedihannya. Ia bangkit duduk dengan menekuk lututnya dan memeluknya. Kantuk yang tadi menyerangnya langsung sirna begitu saja, digantikan dengan perasaan sedih yang menyeruak keluar dari alam bawah sadarnya. Dari lubuk hati yang terdalam, Sora benar - benar merindukan sosok ibunya. Ia merasa kesepian dan sudah terlalu lama memendamnya.
Rei yang baru kembali ke kamarnya sambil membawa kertas selembaran acara resital piano. Ia meletakkan kertas tersebut di atas pianonya dan beralih ke meja belajarnya untuk menutup tirai jendela yang ada di atas meja belajarnya. Saat sudah di depan mejanya, ia melihat ke jendela dan melihat bayangan Sora yang tengah duduk sambil memeluk kakinya dari jendelanya karena tubuh Sora yang menghalangi lampu tidur.
Rei memandanginya beberapa saat mencoba untuk memahami apa yang Sora tengah rasakan. Ia bertanya - tanya apa yang sedang Sora lakukan, apakah dia menangis, ataukah dia tertidur dengan posisi duduk seperti itu, semua pikiran - pikiran itu yang tengah menghampiri pikiran Rei.
Setelah beberapa lama, Sora masih belum mengubah posisinya, Rei pun memutuskan untuk duduk dan menunggu lebih lama lagi. TIdak hanya memikirkan apa yang sedang Sora rasakan, Rei juga berpikir keras apa yang bisa ia lakukan untuk Sora.
Sebuah lampu kuning terang menyala dalam pikirannya, ia terpikirkan sebuah ide. Segera ia meraih ponselnya dan membawanya bersamanya menuju pianonya. Rei mendudukan dirinya di atas tempat duduk empuk yang berwarna senada dengan pianonya. Dengan hati - hati ia membuka penutup piano, dan meletakkan ponselnya di atas penyangga partitur notasi balok.
Sebelum memainkan piano, ia mencari kontak Sora dan menelponnya. Sora yang tengah larut dalam kesedihan yang dirasakannya, dikejutkan dengan panggilan masuk dari Rei pada ponselnya yang tergeletak dekat lampu tidur di sampingnya. Dengan malas Sora meraihnya dan menggesernya untuk menerima panggilan. Namun, ia tidak mengatakan sepatah kata pun dan lebih memilih untuk menunggu Rei yang lebih dulu mengatakan sepatah kata padanya.
Setelah beberapa saat menunggu, suara yang ia tunggu - tunggu tidak terdengar. Yang ia dengar hanyalah suara piano yang memainkan lagu Together karya Peder B. Helland. Tiap dentingan piano yang mengalun lembut melewati telinga Sora dan menyentuh hatinya yang tengah terluka seakan - akan memeluknya erat. Tidak terasa, air mata Sora mengalir semakin deras. Semua yang ia kubur dalam - dalam menyeruak keluar dalam wujud air mata hangat yang menderai di pipinya. Isakan kecil mulai terdengar dari mulutnya dan dengan sekuat tenaga ia berusaha menahannya. Namun pada akhirnya, Sora membiarkan dirinya menangis malam itu hingga tertidur lelap. Beruntungnya, dinding rumahnya tebal, jadi suara tangisannya tidak akan terdengar oleh ayahnya dari kamar ayahnya.
Rei yang sayup - sayup bisa mendengar suara isakan tangis Sora dari ponselnya. Namun, ia tidak berhenti. Ia merasa lega karena Sora pada akhirnya meluapkan apa yang ia tahan selama ini. Rei memutuskan untuk melanjutkan permainan pianonya, setidaknya, ia bisa menemani dan memeluk Sora erat melalui melodi piano yang ia mainkan. Setelah selesai dengan lagu Together, ia melanjutkan dengan lagu Always yang juga karya Peder B. Helland.
Ayah Sora yang masih terjaga, tengah menikmati segelas anggur sambil melihat pemandangan di luar jendela kamarnya. Ia tidak sempat menikmati waktu untuk dirinya sendiri semacam mengerjakan hobi, memancing, berkemah, ataupun main golf seperti yang dilakukan dokter - dokter lainnya. Hal ini tidak lain karena dokter bedah umum yang langka. Di rumah sakit lain pun keberadaan dokter bedah umum sama langkanya. Tidak banyak mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang memilih dokter bedah umum sebagai residen yang mereka pilih. Hal ini terjadi karena tugas dokter bedah umum yang harus memahami semua bagian operasi karena mereka sangat di butuhkan sebagai pendamping di tiap operasi sulit. Tetapi hal baiknya bagi ayah Sora adalah, ia tidak perlu khawatir untuk mencari lowongan pekerjaan di rumah sakit manapun, sebab dirinya pasti diterima.
Saat tengah menikmati ketenangan dan kedamaian malam itu, ayah Sora melihat mobil ayah Rei yang baru datang. Ia memperhatikan ayah Rei dan istrinya yang terlihat sangat bahagia bersama. Ayah Rei yang agak dingin terlihat sangat menyayangi istrinya, begitu juga istrinya yang terlihat begitu mencintai suaminya dan selalu menempel padanya seperti perangko. Melihat pemandangan seperti itu, bukannya tidak mungkin untuk ayah Sora merasa iri dan menimbulkan perasaan rindu pada masa - masa saat ia masih bersama dengan istrinya.
“Kami merindukanmu..” , gumam ayah Sora sambil menatap bulan yang tengah bersembunyi malu - malu di balik awan.
***
Keesokan harinya, Rei bangun lebih siang dari biasanya karena cuaca dingin di luar. Jika bukan karena panggilan ibunya yang datang ke kamarnya langsung untuk membangunkannya, mungkin ia tidak akan bangun hingga siang hari. Dengan mata yang masih mengantuk karena dirinya yang tidur larut malam tadi, ia membuka tirai dan jendela kamarnya membiarkan udara segar yang dingin masuk untuk menggantikan udara yang sudah terjebak di dalam kamarnya sepanjang malam.
Ia melihat jendela kamar Sora sudah tertutup namun tirainya terbuka, itu artinya Sora sudah pergi berangkat ke sekolah lebih awal hari ini. Rei merasa sedikit sedih karena Sora tidak memberitahunya sebelumnya jika ia akan berangkat lebih awal lagi hari ini.
“Kau akan tetap berdiri disitu sampai siang, Rei?” , tegur ibunya yang datang dengan membawa selimut kotor dari kamarnya untuk di cuci. Ia juga menarik selimut dan juga sprei tempat tidur Rei untuk dibawanya ke bawah ke ruang mencuci.
“Hehe.” , Rei nyengir dan langsung bergegas meraih handuknya dan pergi mandi.
***
Pagi itu suasana sekolah masih sepi dan hening. Kedai yang menjual roti bakar langganan Sora di depan sekolahnya pun masih belum buka. Sora menuntun sepedanya ke tempat parkir yang ada tepat di samping gedung sekolah. Suasana tempat parkir yang biasanya penuh dengan sepeda - sepeda dari para siswa dan siswi yang bersekolah disini, kali ini hanya baru terlihat ada dua sepeda yang sudah terparkir disana, dan sepeda Sora menjadi sepeda ketiga yang ada disana.
Setelah memakirkan sepedanya, Sora tidak pergi ke aula olahraga untuk latihan karena hari ini masih terhitung hari ijin datang bulan. Ia langsung menuntun kakinya melangkah menuju ruang kelasnya yang masih kosong dan sunyi. Benar - benar suasana yang sempurna untuk belajar, pikir Sora. Dengan tenang, Sora melepaskan syal dan juga mantelnya, mengeluarkan buku - buku yang akan dipelajari hari ini, dan juga membuka buku catatannya untuk mengulang materi. Ia benar - benar bertekad untuk mendapatkan posisi lima besar pada ujian semester ini.
Setelah belajar tiga puluh menit, perutnya mulai memberontak minta diberi makan. Hal ini membuatnya sulit konsentrasi, ditambah rasa nyeri pada perut bagian bawahnya karena datang bulannya. Beberapa siswa dan siswi pun sudah mulai berdatangan, kondisi ruang kelas tidak lagi sunyi seperti sebelumnya. Akhirnya, Sora memutuskan untuk pergi mengisi perutnya dan berharap nantinya dia akan dibiarkan untuk berkonsentrasi pada pelajarannya.
Sora beranjak pergi dari tempat duduknya berniat untuk membeli roti bakar kesukaannya yang pasti kedainya sudah buka saat ini. Saat menelusuri lorong menuju tangga, beberapa dari siswi yang berpapasan dengannya, menyapanya dengan ramah walaupun sebenarnya Sora tidak mengenal mereka. Hal ini sudah pasti pengaruh dari isu dirinya yang adalah sepupu orang paling populer di sekolah ini, Seowoo.
Rei baru sampai dan langsung menuju samping gedung sekolah untuk memarkirkan sepedanya. Sesampainya di tempat parkir, Rei memperhatikan tiap sepedan dan mencari sepeda Sora. Dia menemukannya, sepeda Sora yang berada diantara dua sepeda gunung yang berada di sebelah kiri berwarna hitam dan yang berada di sebelah kanannya berwarna biru tua. Rei memandang ke dua sepeda itu dengan tatapan menyipit tidak suka. Ia turun dari sepedanya dan langsung memindahkan sepeda gunung berwarna hitam ke tempat lain agar ia bisa memakirkan sepedanya tepat di samping sepeda Sora. Rei terkekeh jahat saat memakirkan sepedanya tepat di samping sepeda milik Sora.
“Kau tertawa dengan sepeda?” , interupsi Seowoo yang tiba - tiba muncul.
Rei terkesiap terkejut dengan kemunculan Seowoo yang tidak diduga, “Kau ini hantu atau apa? Mengagetkan saja.” , balas Rei sebal.
“Oh? Sepertinya kau tidak menghormatiku lagi seperti sebelumnya? Waeyo (Kenapa)?”
Rei yang juga baru menyadari bahwa dirinya tidak lagi menghormati Seowoo sebagai seniornya, hanya diam tidak tahu harus menjawab apa.
“Lupakan, lagipula aku tidak terlalu peduli soal itu.” , tambah Seowoo melihat Rei yang tidak bisa menjawab pertanyaan darinya.
“Langsung saja ke intinya, apa yang kau mau?” , tanya Rei tidak ingin berlama - lama lagi berada disana.
Seowoo tersenyum geli, “Baiklah, sepertinya kau sedang terburu - buru.” , Seowoo memindahkan baju dan celana tim basketnya yang ia bawa di tangan kanan ke tangan kiri, “Dimana Sora? Aku belum melihatnya pagi ini.”
“Mwo (apa)? Jinjja (sungguh)? Bukankah dia pergi latihan-” , Rei tidak melanjutkan kalimatnya. Ia berpikir sejenak.
‘Dia pergi lebih awal tetapi tidak pergi latihan?’ , gumam Rei dalam hati.
“Wae (kenapa)? Apa kau tidak pergi ke sekolah bersamanya? Ya ampun, kau ini kejam sekali.” ,hujat Sewooo yang telah mengetahui perasaan Sora pada Rei.
***
“Annyeong (Hai, selamat pagi)!~”
“Selamat pagi!~”
“Pagi!~”
“Pagi, Sora!~”
“Hai Sora!~”
Semua sapaan itu tidak pernah terjadi sebelumnya saat dirinya belum berurusan dengan Seowoo. Ia tidak pernah menyangka pengaruhnya akan jadi sebesar ini. Dirinya jadi ikut populer karena statusnya dengan Seowoo.
Karena sudah lelah jika harus balas menyapa para siswi yang menyapanya saat berpapasan dengannya, Sora memilih untuk melewati jalan memutar yang memiliki potensi lebih sedikit siswa dan siswi yang lewat jalan tersebut. Dan benar saja, ia tidak perlu repot - repot membalas sapaan orang - orang karena dirinya tidak berpapasan dengan siapapun di belakang sekolah. Ia merasa lega, dan hanya tinggal memutar melewati parkiran untuk sampai ke depan gerbang sekolah.
Sora yang sebelumnya berjalan dengan santai dan bersenandung riang, tiba - tiba menghentikan langkahnya saat melihat di hadapannya saat ini ada Rei dan Seowoo yang tengah berbicara berdua di tempat parkir, atau lebih tepatnya di tempat Rei memarkirkan sepedanya.
“Sora?” , ujar Rei begitu ia melihat Sora baru saja keluar dari pintu samping gedung sekolah yang jarang dilalui oleh siswa dan siswi di sekolah ini karena itu adalah lorong ruang guru dan kepala sekolah.
Seowoo langsung menengok ke arah Rei melihat dan benar saja, terlihat Sora tengah berdiri tertegun seperti sedang melihat sesuatu yang ganjil dan mistis. Seowoo mengangkat tangannya tinggi - tinggi dan melambaikan tangan pada Sora, sedangkan Rei memandang Seowoo dengan tatapan tak suka pada perlakuan Seowoo pada Sora. Mau tidak mau Sora menghampiri mereka karena mereka sudah terlanjur melihatnya.