BAB 2. Salah Satu Korban Tidak Selamat

1046 Kata
Ken tersentak ketika melihat seorang pelayan rumah berlari keluar pintu dan menuju ke arahnya. Dengan sigap Ken berdiri, tubuhnya menjulang menunggu sang pelayan mendekat. “ Mas Ken! Cepat bantu! Nyonya Freya sakit! Mau dibawa ke rumah sakit. Segera siapkan mobil!” perintah pelayan itu bertubi dengan raut wajah panik. Tanpa menjawab, hanya menganggukkan kepala sekali, lalu Ken segera beranjak dari sana untuk menyiapkan mobil. Tak lama kemudian tampak dua orang pelayan lain berjalan sambil memapah sang nyonya rumah yang tampak pucat, meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. Setelah Freya masuk, Ken menutup pintu mobil dengan hati-hati. Gerbang pagar telah dibuka oleh satpam. Dengan kecepat di atas rata-rata tapi tetap berhati-hati, Ken melajukan mobil menembus hujan badai. Sesekali Ken melirik ke arah sang nyonya melalui spion dalam. Dia terlihat tenang tapi dalam hatinya tetap khawatir. Telepon masuk dari Anggara. Freya merogoh tas dengan tangan gemetar. “Hallo.” Suaranya teramat lemah. “Hallo, Sayang? Kamu sudah di perjalanan ke rumah sakit?” Suara suaminya terdengar begitu khawatir. “Iya ini lagi di jalan.” “Dengan Ken, kan?” “Iya.” “Oke. Kalau begitu dari kantor aku akan langsung ke rumah sakit. Tunggu aku di sana, Sayang.” “Iya.” Freya menutup sambungan telepon, dia kembali bersandar di kursi. Handphonenya terlepas begitu saja. Wajah Freya sudah pucat karena nyeri di perut tak tertahankan. Ken tidak bertanya apa-apa, tapi dia mendengar dari pembicaraan nyonya besarnya, dia tahu sang nyonya sedang begitu lemah. Maka Ken mempercepat laju mobil, dia takut sang nyonya terlanjur tak sadarkan diri. Hujan semakin deras, kondisi jalan raya tidak terlalu ramai, sesekali Ken melihat ke arah sang nyonya lewat kaca spion. Dia sempat melihat keadaan pinggir jalan yang sunyi dan gelap, ini sudah hampir jam dua belas malam. “Astaga!” Kedua mata Ken melotot ketika tiba-tiba dilihatnya seorang wanita berambut panjang berlari di sisi kiri mobil dan semakin ke tengah. Tidak akan sempat menghindar, Ken memilih menekan pedal rem dengan kencang. Tapi detik kemudian dia sadar, ada yang tidak beres! Brak! Tabrakan tak terhindarkan! Bagian kiri mobil menabrak si wanita lalu menabrak trotoar sebelah kiri jalan. Laju mobil yang cukup kencang membuat benturan pada trotoar juga cukup keras, sampai mobil terpental lalu terguling ke tengah jalan. Setelah suara benturan itu, hanya tinggal suara deru hujan diriingi petir menggelegar. Tidak ada keramaian orang-orang yang mengerubungi lokasi kecelakaan. Hening. “Ugh!” Ken tersadar dari pingsannya yang sebentar. Dia berhasil meringsek keluar setelah menendang pintu mobil. Langkahnya tertatih berjalan memutar setengah badan mobil. Kemudian berusaha membuka pintu mobil belakang. Tapi tidak bisa! Pintunya macet dan agak ringsek! Ken berjongkok sambil menyeka darah yang mengalir dari kening bersama dengan tetesan air hujan. Mengerjapkan mata karena kepalanya terasa sangat nyeri. Ken tahu, dia harus tetap sadar karena ada sang nyonya besar yang harus dia selamatkan dan … wanita yang berlari tadi. Entah bagaimana nasibnya sekarang. Di tengah kegelapan dan derasnya hujan, Ken masih dapat melihat sang nyonya dengan posisi terbalik di dalam sana. Tidak bergerak sama sekali. “Nyonya? Nyonya Freya!” Itu satu jam lalu. Sekarang ketiga korban kecelakaan sedang berada di ruang UGD sebuah rumah sakit besar tidak jauh dari lokasi kecelakaan. Dan di antara Ayara, Freya dan Ken. Hanya Ken yang sadarkan diri. Anggara sejak tadi mondar-mandir di depan ruang UGD. Tadi dia hanya bisa masuk sebentar ke ruang UGD untuk bertemu dengan Ken. Sedangkan kedua wanita yang dirawat di ruang berbeda, belum diperbolehkan untuk ditemui. Ken pun hanya mampu menjelaskan secara singkat tentang kecelakaan itu. Lalu setelah itu Anggara pun diminta keluar dari ruang UGD, supaya dokter fokus dulu untuk menangani Ken. Theo, terlihat berlari dengan ujung jas melambai ke belakang, dia menghampiri Anggara dengan napas separuh tersengal. “Ga! Bagaimana? Istrimu?” Raut Theo tidak kalah kusutnya dengan Anggara. “Huft! Freya masih belum sadarkan diri. Begitu juga dengan … wanita sial yang menyebabkan kecelakaan ini! Lihat saja nanti kalau dia sudah sadar, tidak akan aku lepaskan!” geram Anggara lalu terdengar gemeletuk rahang yang terkatup rapat. Theo menghela napas dalam. Pria itu mengerti betul bagaimana perasaan sang sahabat sekaligus bosnya ini. Dia menepuk pelan pundak Anggara beberapa kali. Berharap dapat sedikit menenangkan hati Anggara, meskipun kecil peluangnya. “Kita tunggu dulu, ya. Semoga Freya baik-baik saja dan wanita itu juga … cepat sadar.” Sebenarnya Theo juga agak ngeri membayangkan apa yang bisa diperbuat oleh Anggara pada wanita yang katanya menyebabkan Freya kecelakaan. “Permisi, dengan keluarga Nyonya Freya atau Nyonya Ayara?” Sontak Anggara dan Theo membalik badan. Seorang perawat wanita telah berdiri di hadapan mereka. Raut wajahnya sangat serius. “Ya, saya suaminya.,” jawab Anggara dengan tatapan penuh harap. Benar-benar berharap kabar baik yang akan dibawa oleh perawat ini. Keningnya tampak mengernyit. Perawat sepertinya bingung, pria tinggi berpakaian formal ini suami dari wanita yang mana? Lalu dilihatnya juga seorang pria lain berdiri agak di belakang pria pertama. Sama-sama tinggi dan sama-sama berpakaian formal. Dia beranggapan mereka berdua ini adalah suami dari kedua wanita malang di dalam sana. “Kalau begitu, Bapak berdua silakan masuk, dokter ingin bicara di dalam.” Tanpa bertanya lagi, Anggara segera melangkah masuk, diikuti oleh Theo. Raut wajah perawat membuat hati Anggara tak tenang. Anggara dan Theo duduk berhadapan dengan dokter berusia empat puluhan. Dokter itu awalnya menjelaskan luka apa saja yang diderita oleh Ayara dan Freya, sampai kemudian …. “Mohon maaf yang sedalamnya, kami tim dokter telah berusaha maksimal, tapi salah satu korban … tidak dapat diselamatkan.” Salah satu korban … tidak selamat? Siapa maksudnya? Pasti bukan Freya, kan? Anggara hanya mampu menanyakan itu semua di dalam hati. Seperti takut menanyakannya langsung. Dia terus menatap dokter dengan nanar, kosong. Bahkan usapan tangan Theo di punggungnya seperti tidak terasa. Semua terasa kebas. Hilang rasa. “Dokter, pasien atas nama siapa yang meninggal dunia?” Akhirnya Theo yang menanyakan itu. Dengan sebelah tangan merangkul pundak Anggara. Dokter menatap Anggara dan Theo bergantian, dia menghela napas, tatapan bersimpati yang tidak bisa menenangkan hati Anggara sedikitpun. “Maaf, nyawa Nyonya Freya tidak terselamatkan, selain luka luar yang mengakibatkan kehilangan banyak darah, Nyonya Freya juga mengalami pendarahan otak. Sedangkan untuk Nyonya Ayara … bla bla bla ….” Dokter menjelaskan keadaan Ayara, tapi Anggara tidak peduli. Dia bahkan telah membenci wanita bernama Ayara itu sejak awal. “Tidak! Ohh Freya! Lalu bagaimana dengan Alvino?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN