Dua minggu berlalu sejak kecelakaan itu, pihak rumah sakit menghubungi nomor Anggara, sebab tidak ada satupun lagi nomor yang bisa dihubungi.
“Apa?! Ayara?! Dia bukan siapa-siapa saya! Kenapa justru telepon saya!”
Anggara menggeram marah setelah menutup sambungan telepon. Theo yang sedang duduk berhadapan dengannya, hanya dibatasi meja kerja, menatap lekat-lekat sahabat yang menjadi bosnya saat di kantor ini.
“Ga, telepon dari mana? Rumah sakit, ya?” Tentu saja Theo bisa menebak dengan tepat. Dua minggu ini dia disibukkan dengan urusan Ayara. Menggantikan Anggara yang diminta bertanggung jawab untuk seluruh perawatan Ayara.
Bagi Anggara, Ayara adalah penyebab kecelakaan sehingga Freya meninggal. Tapi bagi Ayara, mobil Anggara yang telah menabraknya menjadi penyebab dia harus kehilangan sang anak dalam kandungan. Lagipula Ayara tidak punya uang sepeserpun di tangan. Dan demi apapun, dia tidak mau kembali ke rumah suaminya! Rumah neraka baginya.
Anggara tidak menjawab. Menghempaskan tubuh dengan kasar ke sandaran kursi, lalu menghela napas panjang, sudah cukup menjadi jawaban.
“Ga, bagaimanapun lo tetap harus bertanggung jawab buat dia. Lo dan dia sama-sama kehilangan. Tapi parahnya, dia nggak punya siapa-siapa, nggak punya uang, nggak punya tempat tinggal. Kalau gue bawa pulang ke rumah, apa kata mama gue! Bisa jantungan dia tiba-tiba lihat gue pulang bawa perempuan abis operasi cesar.”
“Huft! Terserah lo deh! Pusing gue! Dan ingat ya, dia tetap penyebab meninggalnya Freya!” Anggara menggebrak meja sebelum akhirnya dia meninggalkan ruang CEO, ruang kerjanya.
Theo, sekertaris andalan CEO, geleng-geleng kepala, lalu diapun meninggalkan ruangan itu. Sebelum dia berangkat ke rumah sakit untuk menjemput Ayara, dia masih mengirimkan pesan untuk Anggara. Minta izin satu sampai dua jam. Bagaimanapun ini adalah jam kerja.
Waktu satu jam cukup untuk Theo menyelesaikan administrasi rumah sakit, lalu mengantarkan Ayara ke mansion mewah milik Anggara di Permata Hijau.
“Ayara, aku harus pergi lagi ke kantor. Kamu baik-baiklah di sini, kalau bisa hindari saja bertemu langsung dengan Anggara. Mansion ini cukup luas untuk bermain petak umpet.” Theo tersenyum melihat raut serius Ayara. Lalu dia menoleh pada seorang pelayan yang telah menunggu di depan pintu utama. “Mbak, tolong antarkan ke kamar tamu utama.”
“Baik, Tuan Theo.” Pelayan itupun segera bersikap menyambut Ayara dan mempersilakan masuk. Sedangkan Theo langsung masuk ke mobil kembali untuk menuju kantor.
Ayara berjalan pelan mengikuti langkah sang pelayan. Sesekali dia meringis nyeri, memegang di bagian perut bawah, lalu juga di bagian d**a yang membengkak.
Interior yang mewah menjadi pemandangan luar biasa bagi Ayara. Sejenak rasa sakitnya bisa teralihkan. Baru kali ini dia memasuki rumah sebesar dan semegah ini. Rumah yang sebelumnya hanya bisa dia lihat di layar TV saja.
Hampir jam delapan malam sedan hitam mewah memasuki halaman luas mansion Permata Hijau. Anggara menyerahkan kunci pada Ken yang sejak tadi menunggu di pos satpam. Ken telah pulih dan kembali bekerja sejak tiga hari lalu.
Sambil mengendurkan dasi, Anggara memasuki mansion. Seorang pelayan langsung menyambutnya dengan mengambil tas kerja juga sepatu Anggara.
“Apakah Tuan mau disiapkan makan malam sekarang?”
Tanpa bicara, Anggara hanya mengangkat tangannya, menandakan dia menolak. Pelayan langsung mengerti dan itu berarti dia tidak perlu membuntuti sang tuan besar lagi, hingga nanti tuan besarnya mungkin akan memanggil jika butuh sesuatu.
Nyatanya, Anggara memilih mengambil minuman sendiri di kulkas di ruang makan.
Di dalam kamar tamu utama, Ayara sedang memijat pelan kedua payudaranya yang semakin membengkak. Saat di rumah sakit, yang selalu dilakukan perawat adalah mengompres payudaranya di saat nyeri, dan itu cukup membantu.
Maka Ayara berpikir, dia harus melakukannya juga. Menghela napas, Ayara berdiri dari ranjang, keluar kamar sambil menoleh ke kanan kiri. Dia ingat pesan Theo, dia harus menghindari bertemu langsung dengan Anggara. Dirasa aman, Ayara melanjutkan langkah. Mansion yang luas namun sepi membuatnya mendesah resah. Seperti orang hilang di dalam sini. Tapi tidak ada pilihan lain, daripada dia menjadi gembel jalanan lalu tertabrak mobil lagi. Ayara bergidik membayangkan itu.
Pikirnya, dia akan ke dapur untuk mencari baskom, lalu meminjam waslap pada pelayan. Sambil berjalan kedua tangannya seperti menahan di bawah d**a, dengan maksud untuk mengurangi rasa nyeri saat berjalan. Namun sial, langkahnya justru membawanya ke ruang makan. Dan Ayara langsung terhenyak ketika melihat seseorang di sana, seseorang yang paling dia hindari untuk bertemu saat ini.
Sempat terpikir untuk balik badan dan pura-pura tidak melihat, tapi terlambat! Anggara juga telah melihat ke arahnya. Pria tinggi dengan rahang tegas itu memicingkan kedua mata. Bagai melihat musuh di depan mata, Anggara rasanya ingin segera mencengkeram tubuh mungil Ayara. Dia meletakkan gelas yang telah kosong di atas meja makan. Lalu berjalan perlahan, tapi pasti mengarah pada Ayara.
Ketakutan setengah mati. Ayara meneguk saliva dengan susah payah. Kakinya terasa berat untuk kabur menyelamatkan diri.
“Pembunuh!” desis Anggara pelan tapi penuh penekanan.
Ayara mundur selangkah, dia gemetar. Tapi detik kemudian Ayara justru tersentak dengan rasa nyeri yang menjalar tiba-tiba. Dadanya terasa begitu berdenyut linu bercampur perih, tak dapat diungkapkan dengan kata-kata karena sangat sakitnya.
“Sshhh!” desisnya mengerang sambil setengah membungkuk. Kedua tangan masih menahan di bawah d**a yang semakin membengkak.
Membuat Anggara bingung bercampur kaget. Dia menghentikan langkah, memperhatikan Ayara dengan kening mengernyit, saat pandangannya turun ke bagian yang tampak menonjol. Apa itu? Silikonnya pecah atau gimana?
Anggara terus melihat ke bagian d**a Ayara yang terlihat sangat berisi, kontras sekali dengan tubuhnya yang ramping. Tapi bukan itu saja yang menarik perhatian Anggara, melainkan noda basah yang menembus di kaos Ayara, membentuk bulatan besar di kedua puncak p******a wanita itu.
Ayara mendongak, dia tersadar sorot Anggara tertuju pada bagian yang seharusnya tidak dilihat sefokus itu. Spontan Ayara menyilangkan kedua tangan di dadanya. Namun justru rasa nyeri dirasanya semakin hebat.
“Ouh! Aduh!” Keringat dingin mengucur di kening Ayara.
“Kamu kenapa?!” Nada pertanyaan Anggara tidak bisa dikategorikan rasa iba atau empati.
Belum sempat Ayara menjawab, tiba-tiba terdengar suara tangis bayi yang terdengar nyaring sekali. Keduanya langsung menoleh ke arah tangga menuju lantai dua.
Segera Anggara beranjak dari sana dengan langkah lebar, rupanya pengasuh Alvino sedang menggendong bayi mungil itu keluar kamar, makanya suara tangisnya terdengar begitu jelas. Dan sudah sejak tadi bayi Alvino menangis di dalam kamar, dikasih s**u beberapa kali menolak.
“Kenapa, Suster? Alvino menolak s**u botol lagi?” Anggara sungguh tak tega melihat wajah anaknya yang sudah memerah karena terus menangis. Bahkan suara bayi itu sudah serak, timbul tenggelam.
Suster Mira menatap Anggara dengan sendu. Lelah bercampur sedih melihat bayi yang diurusnya. Sejak mama dari bayi itu meninggal dunia, setiap malam Mira selalu begadang untuk menenangkan Alvino. Bayi mungil itu hanya mau minum s**u karena terpaksa. Sudah terlalu lapar atau sudah lelah menangis. Begitu seterusnya. Anggara dan Mira dan bahkan seluruh penghuni rumah besar ini tahu, Alvino menginginkan ASI mamanya. Tapi bagaimana mungkin?
Bermacam merk s**u sudah dicoba, sampai s**u termahal seharga jutaan rupiah, bahkan s**u unggulan yang diimport dari luar negeri. Alvino tetap menolak.
Anggara meraih bayinya, botol s**u yang berulang kali ditolak terlepas dari bibir mungil yang bergetar. “Nak, maafkan Papa. Bagaimana caranya supaya kamu mau minum s**u lagi?” lirih pria tinggi gagah itu.
Wajah tampan Anggara yang biasanya selalu terlihat dingin dan kaku, sontak berubah menjadi lembut saat menatap putranya.
“Boleh aku memberinya ASI?”
Anggara dan Mira menoleh bersamaan. Ada Ayara di sana. Berdiri tidak jauh di belakang Anggara sejak tadi.
Tatapan Anggara kembali tajam dan kejam. “Berani kamu mengikutiku! Anakku menderita begini karena mamanya meninggal, dan itu ulah kamu!” Mungkin kalau dia sedang tidak menggendong Alvino, sudah ditariknya kasar tangan Ayara dari sana.
“Tapi Tuan … bayi ini kehausan, lapar, dia pasti ingin ASI, kan? Aku punya ASI tapi tidak punya bayi, jadi apa salahnya? Siapa tahu bayi Tuan mau minum ASI ku.” Ayara kembali menahan bagian bawah payudaranya yang kembali terasa nyeri.
Mira memperhatikan Ayara terutama di bagian payudaranya. Lalu dia mendekati sang tuan besar. “Tuan Anggara, sepertinya ASInya memang melimpah. Tolong beri dia kesempatan, Tuan. Ini demi tuan muda.” Mira menatap Alvino pilu, tangisnya semakin bergetar.
Berpikir. Anggara berpikir keras. Detik kemudian dia menghela napas lalu mengangguk. “Baiklah, satu kesempatan. Jika anakku tidak mau minum ASI mu, kamu harus pergi dari rumahku malam ini juga!”