Ayara mengangguk lemah. Pikirannya terusik dengan kalimat pedas itu. Sungguh dia sangat berharap bayi itu mau meminum ASI nya, sebab jika tidak … dia akan kembali luntang-lantung di jalanan tanpa arah tujuan. Juga tanpa memiliki harta sepeserpun.
“Baik, Tuan.” Perlahan Ayara mendekati Anggara, lalu mengulurkan kedua tangan.
Dengan ragu Anggara memberikan sang putra kesayangan ke tangan pucat Ayara. Sorot matanya terus mengawasi setiap pergerakan wanita yang terlihat lemah dan kurus itu.
Menerima seorang bayi mungil di tangannya, membuat getaran halus di hati kecil Ayara. Dia tersenyum memandangi wajah mungil sang bayi. Rasa keibuannya muncul begitu saja. Iba pada bayi tak berdosa ini yang telah kehilangan ibunya. Bahkan seketika rasa kehilangan Ayara pada bayinya sendiri, seakan bisa terobati.
“Mari ikuti saya, Nona.” Mira tersenyum ramah. Dia berjalan lebih dulu ke kamar Alvino dan diikuti oleh Ayara. Dengan agak ragu, Anggara pun mengikuti keduanya, dia berdiri di ambang pintu kamar.
Ajaib! Sentuhan tangan Ayara mampu meredakan tangis Alvino, bayi itu tampak mendesakkan kepalanya di d**a Ayara. Dia seperti mencium aroma ASI yang telah menembus baju Ayara.
Mira menyiapkan sofa untuk diduduki Ayara. Dan Ayara terus saja menurut tanpa melihat ke arah manapun, tatapannya tetap tertuju hanya pada wajah sang bayi. Begitu menyejukkan hati hingga mampu membius rasa sakit pada kedua dadanya yang telah semakin membengkak.
Bayi Alvino tidak menangis, tapi lebih terdengar seperti merengek ingin cepat menyusu, tak sabar. Ayara adalah ibu baru, dia belum pernah menyusui, bahkan dia tak sampai merasakan menggendong sang buah hati. Karena saat operasi cesar berlangsung untuk mengeluarkan calon bayi yang telah meninggal dunia di dalam perut, Ayara dalam keadaan tidak sadar.
Namun mendekap bayi malang ini, seolah naluri keibuannya muncul begitu saja. Ayara mulai membuka tiga kancing kemeja teratas. Detik kemudian dengan lahap bayi Alvino menghisap puncak salah satu p******a Ayara yang terlihat begitu bengkak.
Ayara tidak sadar, masih ada Anggara yang berdiri di ambang pintu. Dan posisi sofa menghadap ke arah pintu. Sejak tadi pandangan Ayara hanya terkunci pada wajah tak berdosa Alvino.
Mira sendiri duduk di sebuah kursi di samping sofa, dia sejak tadi membantu mengatur posisi yang nyaman baik untuk Alvino maupun untuk Ayara. Pengalamannya sebagai suster klinik bersalin tentu membuat Ayara sang ibu baru benar-benar merasa terbantu.
Sedangkan Anggara, dia sadar betul posisinya sekarang sangat salah. Masih berdiri di sana dengan tatapan tak berkedip tepat ke arah salah satu p******a Ayara yang terbuka. Bahkan tanpa sadar bibirnya telah terbuka sedikit.
Bagaimana tidak terpana seperti itu? Anggara adalah pria normal dan dia tidak menyentuh wanita sejak istrinya meninggal dunia. Sekarang, pemandangan salah satu aset berharga milik Ayara, terpampang nyata di depan mata. Dan pula, terlihat sangat bulat dan padat berisi.
“Ouhhh sshhh ….” Ayara meringis ketika bayi laki-laki itu menghisap semakin kuat dengan permukaan lidahnya yang terasa kasar. Ini adalah pengalaman menyusui pertama kali bagi Ayara. Rasanya teramat pedih. Tapi sekaligus sensasi lega terasa, ketika ASI nya mengalir deras berpindah ke dalam mulut Alvino.
Anggara meneguk saliva dengan susah payah. Mendengar erangan Ayara, dia justru berpikir yang lain. Sebelum semakin tinggi berimajinasi, segera pria tinggi itu beranjak dari sana. Dia menuju kamarnya sendiri yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kamar Alvino. Di ujung lorong lantai dua ini, tepat sebelum teras balkon yang indah dengan taman minimalisnya.
Anggara sampai di kamarnya dengan napas memburu. “Ah sial, aku tidak boleh tergoda oleh dia!” desisnya sambil duduk di tepian ranjang.
Lalu meraih handphone dari atas meja nakas. Dengan tergesa dia menghubungi nomor yang paling sering dia hubungi seumur hidupnya.
“Ya hallo, Ga.”
“Theo! Cepat bikin surat kontrak untuk ibu s**u!”
Seperti biasa, Anggara memberi perintah sana sini. Tidak terkecuali pada Theo sang sekertaris andalan.
“Hem? Surat kontrak ibu s**u? Maksudnya bagaimana?”
Theo benar-benar tidak mengerti. Bahkan mendengar kata ibu s**u saja baru kali ini.
“Jangan bodoh, Theo! Lo tinggal searching di google apa itu pekerjaan ibu s**u! Pihak pertama gue dan pihak kedua Ayara. Mulai hari ini dia bekerja di mansion sebagai ibu s**u Alvino.”
“Wow! Serius ini?! Akhirnya Alvino mendapat ASI? Selamat Anggara, akhirnya lo dan Suster Mira bisa tidur nyenyak lagi mulai malam ini.”
“Yeah, makanya cepat buatkan! Kasih saja imbalan tinggi, supaya dia terikat sama gue dan nggak tergiur dengan pekerjaan di luar. Gue nggak akan melepaskan orang yang sudah bikin Alvino tidak rewel lagi. Kalau perlu, kasih di surat kontrak itu, akan ada denda dan hukuman kalau dia mencoba kabur dari mansion ini, sebab secara tidak langsung dialah penyebab Alvino tidak bisa menyusu pada ibu kandungnya.”
“Wah wah … bener-bener ya, lo! Sudah dibantu begitu malah mau ngancam! Itu sudah keterlaluan, Ga! Yang gue lihat Ayara adalah wanita polos dan dia baru 21 tahun. Kasihan mentalnya kalau harus diancam begitu.”
“Gue nggak mau tahu ya, tuan baik hati. Pokoknya buatkan sekarang juga dan segera kirim lewat email. Gue tunggu!”
Klik. Sambungan telepon ditutup. Kemudian dia segera beranjak keluar kamar, menuju satu ruangan tertutup di seberang kamarnya, itu adalah ruang kerja untuknya.
Segera Anggara membuka layar laptop seolah tidak sabar menunggu email dari Theo.
Baru satu menit menunggu dia sudah mengeluh seraya menyandarkan kepala pada kursi kerjanya yang tinggi. “Huft! Lama sekali!” Menunggu email dari Theo dalam kesunyian, membuat pikiran normalnya kembali mengingat kejadian tadi. Saat dia terpana memandangi Ayara pada bagian dadanya. Juga suara erangan Ayara bagaikan candu, terus terngiang di telinganya.
Ceklek. Pintu terbuka.
“Loh?!”
Anggara kaget, dia menegakkan punggung. Dan lebih kaget lagi ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Seketika Anggara berdiri seraya menatap tajam pada Ayara di sana.
“Mau apa kamu kesini?!” hardiknya galak. Tapi tunggu … bagian d**a Ayara yang menyembul dan terlihat basah di luar kemejanya pada bagian itu, membuat Anggara lagi-lagi kehilangan fokus. Dia menghela napas dalam sambil mengusap wajah dengan kasar.
“O—oh maaf, Tuan. Sepertinya aku salah masuk ruangan. Ta—tadi aku habis dari bawah mengambil minum, dan mau kembali ke kamar tuan muda Alvino. Tapi … yaa sepertinya aku salah masuk ruangan.” Ayara garuk-garuk kepala. Tangan satunya memegang sebotol air mineral.
“Huft! Sudah sana pergi! Kamar Alvino letaknya berseberangan dengan ruangan ini, tapi tidak sejajar. Cari saja kamar kedua dari sini. Ingat! Jangan salah masuk lagi!”
“Ba—baik, Tuan.” Ayara membungkuk sedikit lalu segera beranjak dari sana, tanpa menutup pintunya kembali.
Membuat Anggara mendengkus kesal, akhirnya dia berjalan untuk menutup pintu. Tapi justru dilihatnya Ayara sedang membuka pintu kamar tepat di seberang ruang kerja. Anggara langsung naik pitam melihat itu.
“Itu kamarku!” teriaknya kencang.