Ayara tersentak sampai berjengit. Untung saja dia tidak punya penyakit jantung. Dengan tergesa Ayara berjalan cepat menuju kamar satunya lagi.
Kali ini adalah kamar yang benar. Dilihatnya Alvino sedang ditidurkan oleh Suster Mira. Bayi itu terlihat sudah mulai nyenyak, tidurnya miring dengan punggung yang diusap-usap lembut.
Mira menoleh dan tersenyum pada Ayara yang masih berdiri mematung di sana. Ayara diam saja karena takut jika bersuara akan membangunkan bayi Alvino.
“Mbak, Alvino sudah tidur nyenyak. Lebih baik Mbak Ayara sekarang istirahat saja di kamar. Karena tengah malam Alvino suka bangun lagi cari s**u, seringnya nangis begadang semalaman. Nanti, kalau bayi Alvino bangun, saya bangunin Mbak Ayara, ya?”
Ayara mengangguk. “Iya, Suster. Bangunin saja nanti. Kalau gitu saya ke kamar dulu, ya?” Diapun keluar dari kamar Alvino. Menuju kamar tamu utama di lantai bawah.
Tadi sejak kedatangannya, Ayara sama sekali tidak bisa menikmati betapa mewahnya kamar yang dia tempati, setidaknya bagi dirinya yang selama ini hidup dalam kesederhanaan. Bahkan dalam kesusahan. Tadi dia sama sekali tidak sempat memperhatikan seisi kamar.
Sekarang Ayara tampak berdiri di ambang pintu kamar sambil memindai ke seluruh sisi kamar. Interior dan furniture bernuansa senada, putih dan cream, juga ada sentuhan coklat dan sedikit hitam. Terlihat mahal dan berkelas.
“Wahh! Kamarnya bagus sekali! Dan … sangat besar!” Ya. Bahkan luas kamar yang ditempatinya, besarnya setengah dari luas rumah ibu mertua, yang juga dia tempati bersama suami.
Tiba-tiba Ayara teringat dengan Ryan. Dia segera menggelengkan kepala. Berusaha mengusir bayang Ryan dari dalam kepalanya. Apalagi Ryan ditambah Riska, ibu mertua yang galaknya minta ampun.
Ayara duduk di tepian ranjang, meneguk air mineral dari botol, sampai habis setengahnya. Mengusap kening yang berkeringat. Mengingat sang suami sama dengan mengingat penyiksaan yang pernah dia rasakan.
Kemudian dia mengusap perut yang telah hampir rata kembali. Selama hamil pun dia tidak menjadi gemuk, karena ada makanan tidak bernafsu, lebih seringnya tidak ada makanan. Dia hanya dijatah makan dua kali sehari, itupun dengan porsi yang sedikit. Benar-benar sengsara.
“Anakku, semoga nanti kita bisa bertemu di surga,” lirihnya pelan. Lalu meringkuk di atas kasur empuk yang harum, memeluk guling dan perlahan isak tangisnya terdengar. Ayara menangis dalam sunyi. Sebisa mungkin dia tahan suaranya, supaya tidak sampai terdengar keluar. Sampai akhirnya Ayara tertidur.
Anggara tersentak dari tempat tidur ketika dia mendengar tangisan yang biasa. Menjadi terbiasa karena telah memasuki waktu dua minggu. Dilihatnya jam di meja nakas.
“Yeah, jam dua.”
Jam dua dinihari memang jam rawan Alvino menangis karena lapar. Dengan mata yang masih berat, Anggara berusaha beranjak dari tempat tidur. Dia berjalan menuju kamar putranya. Langsung masuk tanpa mengetuk dulu, karena khawatir mendengar suara tangis Alvino.
“Suster, sudah dikasih s**u botol?”
Suster Mira yang sedang menggendong Alvino mengangkat tangan kanannya yang memegang botol s**u, isinya masih banyak. “Alvino menolak lagi, Tuan.”
Anggara mendengkus pelan. “Coba s**u yang lain, Suster. Kasihan Alvino kelihatan sangat haus. Biar saya yang gendong.”
“Baik, Tuan.” Mira memberikan Alvino pada papanya, lalu dia bergegas menuju meja besar di dekat box bayi, di sana disusun bermacam s**u dengan merk berbeda. Dan kesemuanya itu adalah merk s**u terbaik dan termahal.
Mira memilih satu s**u lain dan dengan cepat menyeduhnya dalam botol baru. Dia langsung mencoba menyodorkkan botol itu ke mulut Alvino. Namun bayi mungil itu justru semakin kencang menangis.
“Suster, bagaimana ini? Cepat lakukan sesuatu! Suster kan berpengalaman mengurus bayi!” Panik. Anggara memang selalu panik setiap kali Alvino menangis lama dan kencang seperti ini. Apalagi jika Suster Mira tidak berhasil menenangkan bayi Alvino.
“Tuan Anggara, coba saya gendong lagi. Mungkin Alvino perlu bersendawa supaya perutnya lebih nyaman.”
Anggara mengangguk dan menyerahkan kembali Alvino ke pelukan Mira. Dia masih terus memperhatikan. Memang benar Alvino sempat berhenti menangis, tapi itu hanya hitungan menit. Bayi itu kembali menangis bahkan sampai gemetar. Suaranya terdengar mulai serak sekarang.
Anggara mengusap wajahnya dengan kasar. Dia frustasi. Dia punya segalanya tapi tidak bisa memberikan apa yang dibutuhkan anak satu-satunya.
Tangan Anggara terulur, mengusap lembut rambut tipis Alvino. “Ah, andaikan saja mamamu ada di sini, kamu pasti bahagia, kamu bisa minum ASI—”
Anggara terdiam, kalimatnya terhenti. Detik kemudian dia saling berpandangan dengan Mira. Keduanya seperti bicara dalam diam. Tidak mengatakan apapun tapi mengerti isi pikiran masing-masing.
Anggara menunjuk ke wajah Mira, lalu dengan cepat dia berjalan keluar kamar. Langkahnya lebar-lebar menuju lantai bawah. Tujuannya adalah kamar tamu utama.
Tidak peduli sekarang sudah jam setengah tiga dinihari, Anggara mengetuk pintu kamar dengan cukup kencang. Dia menunggu tiga detik, tidak ada jawaban dari dalam. Maka dia mengetuk dengan lebih kencang lagi.
Ayara tersentak. Kedua matanya terbuka tapi dia masih berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar. Bingung, suara apa barusan yang didengarnya.
Tok tok tok.
“Ayara!”
“Ah, iya!” Ayara langsung duduk di tepian tempat tidur. Punggungnya menegak dengan kedua mata mengerjap. Masih mencerna siapakah yang memanggil namanya dari luar kamar.
Mendengar jawaban Ayara, tanpa pikir panjang Anggara langsung membuka pintu kamar dan menerobos masuk. Cahaya di kamar hanya dari lampu tidur di meja nakas. Kening Ayara mengernyit, mencoba menerka siapa pria tinggi yang sedang berjalan ke arahnya.
Sampai pria itu semakin dekat barulah Ayara bisa melihat jelas kalau itu adalah sang tuan besar yang menatap tajam ke arahnya. Dia bingung bercampur takut, kenapa Anggara menatapnya begitu tajam? Apakah dia akan diusir malam ini? Tapi apa kesalahannya?
Ayara menggeleng beberapa kali tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Aku harus bagaimana? Kalau aku diusir dari sini, lalu aku harus tinggal di mana? Di luar dingin dan menakutkan. Bagaimana kalau aku ketemu Mas Ryan? Oh Tuhan, tolonglah aku!”
“Ayo cepat!” Dengan wajah bengisnya ditambah nada suara sedingin pisau belati, Anggara menarik tangan kiri Ayara dan langsung menyeretnya keluar kamar.
“Tuan, jangan Tuan! Tolong aku, Tuan! Aku nggak tahu harus kemana malam ini! Tolong jangan usir aku!”
Ayara mencoba menahan tubuhnya supaya tidak sampai ditarik Anggara, tapi tenaganya percuma saja. Kedua kaki Ayara yang tidak mau melangkah malah terseret dengan begitu mudahnya. Tenaga Anggara benar-benar kuat menariknya.
“Tuan Anggara lepaskan aku! Tolong kasihani aku!”