Gwen terjerembab di lantai. Dengan posisi kedua lutut yang terjatuh lebih dulu. Tangannya terulur berharap Anggara melihat dan akan menolongnya. Tapi rupanya Anggara yang terburu-buru tidak menyadari suara jatuh serta teriakan Gwen. Dia terus saja berjalan cepat menuju mobil.
Gwen menunggu, dia belum bangkit dari lantai. Namun yang ditunggu tak juga datang. Justru pelayan yang sejak tadi berdiri di sudut ruang makan, segera menghampiri Gwen lalu berusaha menolongnya.
Namun tangan pelayan itu ditepis begitu saja. Dia tidak sudi tubuhnya disentuh oleh seorang pelayan. “Ahh sudah sudah! Aku bisa sendiri!”
Pelayan mundur kembali sambil menaikkan kedua alis. Sebagai pelayan yang telah bekerja bertahun-tahun di mansion mewah milik Tuan Besar Anggara Maxwell, dia sudah hapal betul dengan sifat angkuh Nona Gwen, adik dari Nyonya Freya. Namun kewajibannya harus tetap bersikap baik meskipun dibalas dengan ucapan atau tindakan yang menyakiti perasaan.
“Huh! Aku jadi tidak nafsu untuk sarapan!” Gwen telah berdiri dengan wajah memberengut. Dia menghentakkan kaki dengan kesal sebelum beranjak cepat dari ruang makan. Dengan langkah tergesa Gwen menuju ke halaman depan mansion, berharap Anggara belum berangkat. Dia ingin mengadu pada kakak ipar tentang lututnya yang mulai terlihat memar.
“Ga! Anggara!” Terlambat. Mobil Anggara terlihat keluar dari gerbang pagar.
Pak satpam yang baru melihat Gwen berdiri di sana, segera menghampiri. “Nona, ada apa?”
“Ahh nggak ada apa-apa!” jawabnya ketus lalu langsung berjalan ke mobilnya. Niatnya datang kesini memang ingin sarapan bersama Anggara dan kalau bisa ikut ke kantornya. Eh ternyata malah ditinggal, jadi pikirnya lebih baik pergi ke butik saja.
Baru saja Gwen duduk manis di kursi pengemudi, handphone di dalam tas berdering. Dirogohnya benda pipih putih itu dari dalam tas. Dan mukanya langsung menekuk ketika melihat nama Diego yang tertera di layar.
“Huft! Pagi-pagi sudah telepon! Mau apa sih dia!”
Seberapapun tidak inginnya Gwen, tetap saja dia harus menjawab panggilan telepon itu.
“Hallo, tampan!”
Nada suara Gwen dibuat sangat bersemangat. Dan … sedikit manja.
“Hallo manis, senang sekali mendengar suaramu sepagi ini.”
Andaikan Diego bisa melihat, kedua bola mata Gwen memutar malas saat ini.
“Ah, aku juga sangat senang ditelepon pagi-pagi. Tapi … ada apa, ya? Apakah ada perubahan jadwal atau ada proyek baru? Tapi Mbak Chayu nggak ada info apa-apa tuh.”
Terdengar suara kekehan Diego di seberang telepon.
“Ya ampun Sayang, kalau Chayu yang telepom pagi-pagi itu berarti memang urusan pekerjaan. Tapi kalau aku yang telepon, kan bisa saja urusan perasaan. Urusan rindu yang nggak bisa ditahan.”
Gwen menjauhkan wajahnya dari handphone. Dia menghela napas panjang, bersusah payah menahan emosi yang membara di dalam d**a. Tentu saja dia tahu kemana arah obrolan bule tua ini. Gwen selalu menganggap Diego sudah terlalu tua, meskipun masih berumur kepala empat, tepatnya 42 tahun, untuk dia panggil tanpa embel-embel pak.
“Hemm yaa sebenarnya aku juga kangen padamu, Diego. Tapi bagaimana ya, pagi ini aku harus antar lima stel baju ke lokasi pemotretan. Jadi—”
“Ah Sayang, itu bukan masalah. Aku sudah suruh sopir untuk ambil baju itu ke butik mu. Jadi, kamu cukup santai pagi ini. Karena tidak ada jadwal pemotretan juga, kan. Ayolah Gwen, kutunggu di apartemenku, ya. Aku sudah sangat kangen.”
Bahasa indonesia Diego sangat lancar meskipun dia masih kewarnageraan Spanyol dengan tempat lahir di Madrid.
Gwen sedang berpikir keras, mencari-cari alasan apalagi yang masuk akal untuk dia bisa menolak ajakan Diego.
“Gwen! Kenapa? Kok kamu diam? Apa kamu tidak mau bertemu denganku?”
“Ohh bukan! Bukan begitu maksudku, Diego. Oke, aku akan datang sekarang. Tunggu aku ya.”
“Oke Cantik, aku tunggu. Sampai ketemu di apartement.”
Klik. Sambungan telepon ditutup. Menyisakan Gwen yang duduk bersandar dan memejamkan mata beberapa saat. Memikirkan hubunganya dengan Diego, yang sudah sangat jenuh dia rasakan. Awalnya dia memang butuh Diego. Tapi sekarang, dia telah meraih segala impiannya, maka dia ingin sekali mengenyahkan Diego dari kehidupannya.
Gwen tersentak ketika kaca di sebelahnya diketuk seseorang. Dengan kesal Gwen menurunkan kaca mobil.
“Apaan sih, Pak?!”
“Maaf, Non. Apa Nona Gwen jadi keluar? Karena kalau nggak jadi keluar, gerbang pagarnya mau saya tutup.”
Gwen mendengkus kesal. “Iya saya mau keluar! Jangan ditutup gerbangnya!”
Pak satpam mengangguk sekali. “Baik, Nona.”
Gwen melajukan mobil keluar dari halaman mansion milik Anggara. Menyusuri jalan raya ibukota menuju sebuah apartement mewah di Selatannya Jakarta. Setelah memarkirkan mobil di basement apartement, Gwen melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke lift. Unit milik Diego ada di Tower A ini lantai sepuluh.
Sampai di depan pintu unit kaamr Diego, dia menekan nomor kunci yang telah dihapalnya. Pintu terbuka. Gwen masuk dan menutup pintunya kembali.
“Diego! Sayang!” Gwen berjalan melewati ruang tamu dan ruang makan.
“Di sini, Sayang! Aku di kamar, baru selesai mandi!”
Seruan Diego dari kamar utama. Sedangkan kamar kedua biasanya hanya digunakan untuk tempat menyimpan barang-barang saja. Diego memang hanya tinggal sendiri di apartement ini. Dan bahkan dia hanya tinggal sendiri di Indonesia, semua keluarganya ada di Madrid dan Valencia.
Aroma musk menyerbu indera penciuman Gwen ketika dia memasuki kamar Diego yang dua tahun belakangan ini entah sudah berapa puluh atau ratus kali dia datangi.
“Hai Sayang, aku baru saja selesai mandi. Kalau tahu kamu akan datang secepat ini, mungkin aku tidak perlu berpakaian tadi,” goda Diego lalu berjalan mendekati Gwen yang berdiri di samping ranjang.
Diego, memasuki usianya yang ke 42 di tahun ini, masih tetap tampan dan bahkan terlihat jauh lebih muda dari usianya. Wajah tampan khas Spanyol dengan rambut tebal coklat dan memiliki mata tajam berwarna senada. Sepasang rahang yang tegas dipenuhi rambut-rambut kasar bekas dicukur. Dipertegas dengan hidung mancung yang tinggi.
Hanya sayang, Gwen sudah bosan dengan Diego. Sebab sejak awal hubungan mereka memang bukan dilandasi atas dasar cinta, tapi hanya barter kebutuhan saja. Diego butuh tubuh seksi Gwen. Dan Gwen butuh harta serta jabatan Diego yang sebagai direktur utama di agency model tempatnya bekerja.
“Ah Sayang, aku benar-benar kangen.” Pandangan mata Diego sayu, lalu dia mulai menciumi wajah Gwen dengan lembut tapi menuntut.
Gwen, mau tak mau berpura-pura menikmatinya. “Ah, Diego ….”