Mendengar namanya disebut oleh Gwen, pria tinggi itu serasa terpompa, dia semakin b*******h. Ciuman Diego mulai panas. Yang tadinya hanya lembut saja di area wajah Gwen. Sekarang mulai turun ke leher.
Aroma tubuh Gwen memang telah menjadi candu bagi Diego. Dia ingin menyesapnya terus, minimal satu atau dua kali seminggu. Saat Diego mulai bergeser ke leher belakang dan juga di dekat telinga, Gwen mulai kewalahan. Dia menggeliat tanpa bisa ditahan.
Ah, sial! Kenapa aku jadi terangsang begini? Aku ingin permainan ini cepat selesai. Gwen membatin, merutuk dirinya sendiri.
“Ohh Gwen ….” Diego kembali ke wajah Gwen. Mencari bibir seksinya dan langsung melumat dengan rakus. Dia hanya memberi jeda sebentar untuk Gwen menarik napas, lalu kembali menjelajah dengan lidahnya.
Sudah semakin tinggi, Diego mengeratkan pelukannya memutari pinggang ramping Gwen. Lalu mendorong wanita seksi itu hingga terbaring di ranjang besar yang empuk.
Mini dress Gwen tersingkap, memamerkan kedua pahanya yang putih mulus hingga ke pangkalnya. Diego mengusap mulutnya sendiri, menelanjangi Gwen dengan tatapan berkabut.
Napas Gwen memburu. Dia yang awalnya tidak ingin, justru sekarang menjadi ingin. “Lakukan Diego, apapun yang kamu mau,” desahnya manja.
Detik kemudian Diego telah melucuti seluruh pakaian Gwen hingga berserakan di lantai. Pria Spanyol itu selalu mampu memuaskan Gwen lebih dari satu kali. Itu pula yang menjadi salah satu alasan Gwen mampu bertahan hingga dua tahun ini, selain alasan Anggara masih ada yang memiliki.
“Umhhh Diego ….” Dagu Gwen sampai terangkat dengan kedua mata terpejam, merasakan apa yang tengah Diego lakukan di bawah sana.
Satu jam lebih permainan panas itu berakhir dengan keduanya berpeluh keringat dan napas yang memburu. Mereka berbaring terlentang di atas ranjang, bersebelahan. Senyum bulan sabit terukir di bibir Diego.
Sedangkan di wajah pucat Gwen tidak ada segaris senyumpun yang terlihat. Saat gairahnya telah menurun lalu menghilang, isi kepala Gwen kembali dipenuhi dengan bayang Anggara dan Anggara.
Dua tahun dia bersabar, hingga akhinya kesempatan ini datang. Tidak mungkin akan dia sia-siakan. Gwen bagai berlomba dengan waktu. Dia takut Anggara akan tergoda wanita lain sebelum dia mendapatkannya. “Tidak boleh!” teriak Gwen tiba-tiba.
“Hah?! Apa, Gwen?” Diego memiringkan kepala. Menatap Gwen keheranan.
Ups! Gwen sendiri kaget dia tiba-tiba berteriak seperti itu. Padahal tadi dia kira hanya berbicara dalam hati.
Gwen segera bangkit dan duduk di tepian ranjang, masih dengan tubuh telanjangnya. “Oh maaf Diego, maksudku tidak boleh kamu menjadi milik wanita lain.”
Ah sial! Dasar mulut besarku, bicara apa sih aku ini!
Terlambat. Kalimat manis dari bibir Gwen telah masuk ke telinga Diego dan membuat senyuman pria itu semakin merekah. Diego mengangkat sedikit kepalanya dan bersandar dengan tangannya. Dia menatap penuh hasrat pada Gwen. Karena posisinya di belakang Gwen, dia hanya bisa memandangi punggung mulus wanita itu.
“Oh Gwen, kamu manis sekali. Sekarang bahkan aku mulai terpikir bagaimana kalau kita menikah saja?”
Deg! Sontak Gwen berdiri dan bergegas melangkah menuju kamar mandi. “Maaf Diego, tiba-tiba aku teringat ada janji dengan seorang langganan di butik.”
Tanpa menunggu jawaban Diego, Gwen langsung menutup pintu kamar mandi. Tanpa buang waktu, dia langsung menyalakan kran shower hingga tubuhnya basah dengan air hangat. Gwen ingin cepat-cepat pergi dari apartement ini.
Jika dia sengaja mengulur waktu di sini, bisa-bisa hasrat Diego akan bangkit lagi. Dan mereka akan mengulang permainan. Gwen tidak menginginkan itu.
Baru saja Gwen berpikir demikian, pintu kamar mandi yang tidak terkunci dibuka dari luar. Dan Gwen tidak menyadari itu. Seringai penuh arti pada wajah tampan Diego. Mencium aroma Lily dari busa sabun yang mengalir di lantai, membuat Diego semakin ingin berjalan mendekati wanita kesayangannya itu.
Apalagi setelah dia menyibak shower curtain dan melihat langsung tubuh telanjang Gwen dari belakang. Basah dan … menggairahkan.
“Ahh!” teriak Gwen tertahan ketika tubuhnya dipeluk dari belakang.
Kepala Diego langsung menyusup di ceruk leher Gwen yang basah mengkilap. Dan dengan cepat kedua tangan kekarnya yang berbulu, naik merayap hingga menemukan dua gundukan padat dan bulat berisi.
Hhh! Kenapa sih orang ini! Tidak pernah puas hanya sekali! Aku capek melayaninya terus tanpa rasa!
Gwen terus merutuk dalam hati sementara Diego sibuk mengekspos tubuhnya dari atas hingga ke bawah lalu kembali lagi ke atas. Pasrah. Hanya itu yang bisa dilakukan Gwen. Sebab dia masih mendulang uang dari agency model yang dipimpin pria Spanyol ini. Serta menguras keuntungan dari hubungannya dengan Diego.
Ya. Bahkan modalnya membuka sebuah butik yang cukup besar juga diperolehnya dari Diego. Dan agency model mereka selalu menyewa pakaian dari butik milik Gwen. Tentu saja itu karena campur tangan Diego. Uang dan uang, sehingga Gwen bisa memiliki uang yang lebih dari cukup untuk bisa melakukan perawatan rutin di klinik kecantikan ternama.
“Ohh Gwen, ini nikmat sekali,” racau Diego ketika dia telah memaksa Gwen untuk berlutut di hadapannya.
Berakhir dengan mandi bersama dan Gwen memilih mandi dengan cepat kali ini. Tubuhnya terasa lelah sekali. Melayani Diego dalam seminggu bisa beberapa kali dilakukannya.
“Diego, aku pulang sekarang, ya. Umm jangan lupa Sayang ….” Gwen sengaja menggantung kalimatnya.
Diego tersenyum seraya mengedipkan sebelah matanya. “Cek rekeningmu, Sayang. Sudah kutransfer lima juta untuk uang jajanmu, ya.”
Gwen langsung mengecek handphone dan memang ada notifikasi dari salah satu rekeningnya. Senyumnya langsung merekah seakan rasa lelah itu menghilang seketika. “Ah, terima kasih, Diego.”
Gwen melambaikan tangan lalu keluar dari apartement unit 105 itu. Bergegas dia turun ke basement dengan lift. Dan segera masuk ke mobil. Ini sudah akan masuk jam makan siang. Dia melajukan mobil menuju kantor Maxwell Group.
Di kantor megah lima belas lantai itu, Gwen sedang berjalan di lobby utama dengan langkah yang anggun. Setiap karyawan perusahaan yang berpapasan dengannya langsung menyapa ramah sambil mengangguk dan tersenyum. Sekadar berbasa-basi. Sebab mereka sangat tahu kalau Gwen adalah adik ipar dari CEO perusahaan.
Dan mereka juga tahu, Gwen adalah seorang model tanah air yang telah go internasional. Dan model itu sangat … sombong.
Theo berdecak malas dari kursinya. Ketika melihat siapa yang baru saja keluar dari lift di lantai sembilan ini dan sedang berjalan ke arahnya. Tepatnya ke arah ruang CEO yang letaknya di seberang meja kerjanya. Meja kerja sekertaris CEO.
Theo langsung berdiri dengan tubuh tingginya, siap menghadang Gwen. “Maaf Gwen, tapi Anggara sedang sangat sibuk hari ini. jadi tidak bisa diganggu. Sejak pagi dia—”
“Pak Anggara! Kalau di kantor panggil bos mu dengan lebih hormat, Theo! Jangan mentang-mentang kamu juga sahabatnya!”
“Oke. Pak Anggara sedang sibuk hari ini, Nona Gwen yang cantik. Sudah pulang sana!” Theo mengibaskan tangannya.
Gwen langsung melotot dan kadar rasa bencinya pada Theo semakin bertambah siang ini. “Minggir! Aku hanya mau mengajak Anggara makan siang bersama! Itu saja!”
Gwen terus maju untuk masuk ke ruang CEO. Refleks kedua tangan Theo terangkat dengan maksud untuk menahan Gwen. Dan memang berhasil, tapi ada satu kesalahan …yaitu kedua telapak tangan Theo menempel tepat di kedua aset kembar Gwen yang montok berisi.
“Ups!”