BAB 11. Janji Nanti Sore

1090 Kata
“Sialan kamu Theo! Berani sekali kamu!” Gwen menyilangkan kedua tangan di depan d**a. “Maaf Gwen, aku nggak sengaja, kamu juga terlalu dekat sih tadi.” Theo nyengir. “Huh! Awas kamu ya! Aku laporin ke Anggara biar kamu kena hukuman!” Gwen langsung menerobos masuk ke ruang CEO. Dia menutup pintu ruangan itu kembali dan berjalan cepat ke arah meja kerja CEO. Theo hanya bisa geleng-geleng kepala dan siap mendapat teguran nanti. Anggara mendongak, pandangannya beralih dari layar laptop. Detik kemudian keningnya mengernyit. “Loh? Gwen?” Kerja apa sih si Theo?! Ngurus begini saja nggak becus! Sudah kubilang aku sedang nggak mau diganggu siapapun! Theo terus merutuk dalam hati. Dia benar-benar sibuk hari ini. Ditambah harus berkonsentrasi kerja karena sudah berniat akan pulang lebih awal. Dia sudah ada rencana nanti sore untuk membelikan beberapa stel pakaian untuk ibu ssu Alvino, yang …lebih layak pakai ketimbang baju bawaan Ayara yang sudah pudar warnanya. “Iya, Anggara. Aku sengaja kesini mau ngajak kamu makan siang bareng. Sebentar lagi kan jam makan siang.” “Hemm?” Anggara menoleh pada jam besar di dinding. “Apanya yang sebentar lagi, Gwen? Ini kan masih jam sembilan.” Gwen tersenyum. “Ya sudah, biar aku temani di sini sambil menunggu jam makan siang, ya? Tadinya kan aku mau berangkat kesini bareng kamu Anggara. Eh aku malah ditinggal!” Sekarang Gwen cemberut. “Yaa aku memang buru-buru tadi. Nanti di rumah saja kita makan malam bersama, oke?” Gwen makin memberengut. “Yahh lama dong! Lagian, kok di rumah sih? Bosen, ah! Umm bagaimaan kalau kita makan malam di luar?” “Nggak bisa, Gwen. Sore ini aku ada janji dengan Ayara.” Gwen terdiam. Ayara? Ayara siapa, ya? Seorang gadis cantik kah? Seper pernah dengar nama itu, tapi di mana ya? Gwen mencoba mengingat, sepertinya dia pernah mendengar seseorang menyebutkan nama itu. Tapi dia ragu. “Anggara, siapa itu Ayara?” “Ibu susunya Alvino,” jawab Anggara santai tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. “Ada janji … maksudnya bagaimana? Bukankah dia tinggal di mansion?” Gwen semakin penasaran. Wanita manapun yang berhubungan dengan Anggara, tidak peduli dalam bentuk seperti apa hubungannya, itu bisa membuat Gwen cemburu buta. Bahkan Gwen sangat cemburu pada Freya yang berhasil mendapatkan Anggara sebagai suaminya. Semasa hidupnya, Freya tidak pernah menyadari itu. Wanita itu terlalu baik untuk punya prasangka buruk pada adiknya. “Yahh aku ada janji pergi dengan Ayara, nanti jam lima.” Masih dengan serius menatap layar laptop. Anggara sedang menjawab beberapa email masuk. Deg. Hati Gwen mulai panas. Dia saja sulit mau bepergian berdua dengan Anggara. Lalu ini, pendatang baru di mansion, dan hanya seorang pengasuh Apa istimewanya gadis bernama Ayara itu? Gwen berpikir keras. “Umm pergi kemana?” Setiap kali pertanyaannya dijawab, itu justru membuat Gwen semakin penasaran dan ingin bertanya lagi. Anggara menoleh sebentar. “Beli baju untuk dia. Aku tidak mau ibu s**u anakku tampil lusuh.” “Maksudnya, kamu yang belikan untuk dia? Pakai uangmu begitu?” “Ya iyalah, Gwen. Mana ada dia uang, baju saja cuma sehelai di badan. Dan dia juga belum dapat gaji apa-apa dariku. Sudah ya, aku mau ke ruang meeting dulu, sudah ditunggu PT. Angkasa.” “Eh tapi ….” Anggara sudah berjalan cepat keluar dari ruang CEO. Meninggalkan Gwen begitu saja. Tidak aneh memang menemukan Gwen dalam ruang kerja Anggara. Saat Freya masih hiduppun, Gwen suka tiba-tiba datang ke kantor ini, dengan alasan magang. Ya, dia ingin kerja kantoran katanya, dan ingin belajar bisnis dari Anggara. Tapi itu tidak pernah terwujud, Gwen terus fokus di dunia modelling, lalu membuka sebuah butik yang cukup besar. Seluruh anggota keluarga bangga padanya. Mengira modal membangun butik adalah hasil jerih payahnya sebagai model. Gwen menghempaskan tubuhnya di sofa tengah ruangan. Sofa panjang yang biasa untuk menerima tamu di ruangan CEO tersebut. Dia menunggu dan menunggu, tapi Anggara tak kunjung selesai rapatnya. Dia mencoba menelepon nomor Anggara untuk menanyakan akan selesai jam berapa meetingnya, tapi tidak diangkat. Mengirim pesanpun tidak dibaca-baca sejak tadi. Terpaksa Gwen menelepon Theo, musuh bebuyutannya. Boro-boro dijawab oleh Theo, baru juga dua kali nada sambung sudah direject saja. “Ah, Theo sialan!” geramnya lalu meletakkan handphone di atas meja kaca oval di depan sofa. Terlalu jenuh, Gwen menyandarkan punggungnya di sofa, mencari posisi yang lebih santai. Lama-kelamaan dia menguap, kantuk mulai menyerang. “Huahemm lama banget sih Anggara, ah!” Sekarang Gwen benar-benar telah terlentang di atas sofa panjang. Bagian pahanya yang agak terbuka ditutup dengan bantal kecil. Gwen memang sukanya memakai pakaian mini, yang kalau bukan terbuka setengah d**a, ya pasti terbuka setengah paha, kalau sekadar terbuka bahu dan punggung sih sudah biasa sekali. “Pak Anggara, setelah meeting ini sebaiknya kita langsung makan siang saja di luar, karena nanti jam setengah dua ada meeting lagi di Restoran Nusantara.” Theo mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Anggara yang duduk tepat di sampingnya. Dia berbicara berbisik supaya tidak mengganggu rapat yang masih berlangsung meskipun sudah akan selesai. Begitulah, selama di dalam ranah kerja, apalagi masih bersama dengan orang-orang dari kalangan perusahaan atau rekan bisnis, Theo akan memposisikan diri sebagai sekertaris yang sangat menghormati bosnya, yaitu Anggara. Tapi di luar lingkup kerja, mereka berdua bak sepasang sahabat tom and jerry, bersama terus tapi jarang akur. Anggara mengangguk. Kemudian melanjutkan rapat yang akhirnya membuahkan hasil memuaskan, yaitu PT. Angkasa menginginkan perpanjangan kerjasama dengan Perusahaan Maxwell Group, dan meminta kontrak lebih lama, yaitu tiga tahun ke depan. Padahal biasanya selalu perpanjang setiap setahun sekali. Setelah para pria berpakaian formal itu saling berjabat tangan dan melempar senyum simbolis kemenangan dua pihak. Saling menguntungkan dan saling percaya. Anggara dan Theo melangkah lebar-lebar menuju lobi utama. Ken telah siap di samping pintu mobil belakang. Dia membukakan pintu ketika melihat Anggara telah mendekat. “Terima kasih, Ken.” Theo menepuk pundak Ken pelan lalu memutari setengah bagian mobil belakang. Dia duduk di samping Anggara. Seperti biasa. “Theo, pastikan meeting selesai jam empat, karena gue ada janji dengan Ayara.” Anggara bicara tanpa menoleh pada Theo. Dia sambil mengecek email pada layar handphone. Theo terkekeh, lebih terdengar seperti meledek atau mencoba menggoda Anggara. Padahal dia yang paling tahu seberapa mudahnya seorang Anggara tersulut api emosi. “Kenapa ketawa?!” “Ada janji apa sama Ayara, Bos? Janji nemenin dia nenenin Alvino?” “Sudah gila lo!” Plak! Anggara mengeplak kepala Theo begiti saja. Bukannya kapok justru Theo semakin kencang tertawa. Ken hanya geleng-geleng kepala saja dari kursi depan. Plak! Kepala Ken kena keplak Anggara juga. “Ngapain geleng-geleng?!” “Hahahahaa!” Theo sakit perut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN