Gwen terbangun dari tidurnya yang cukup lelap. Mengusap kedua mata hingga tanpa sadar mascara biru menjejak di bawah dan atas mata Gwen. Meskipun waterproof kalau dikucek dengan setega itu tetap saja akan menyerah dan terpaksa luntur karena terpaksa.
“Huh! Jam dua belas?!” Dia melihat jam mengkilap di pergelangan tangan, merk Olivia Burton, original. Semakin resah saja ketika melihat layar handphone tidak ada notifikasi panggilan masuk atau sekadar pesan dari Anggara. Yang ada malahan pesan dari Diego, mengingatkannya supaya jangan lupa makan siang dengan menu sehat. Supaya berat badan tidak bertambah, bahkan kalau bisa turun 2,5 kilo.
Gwen mendengkus kesal. Malas sekali rasanya membalas pesan dari Diego, biarlah nanti-nanti saja.
Gwen menelepon nomor Anggara. Butuh beberapa kali nada sambung sampai panggilan itu dijawab. Senyumnya langsung mengembang begitu mendengar suara khas bariton Anggara dari seberang telepon.
“Hallo. Ya Gwen?”
“Hallo Ga. Kamu di mana? Sudah selesai kan meetingnya? Ayo kita makan siang bareng! Aku sudah lapar nih.”
“Astaga, Gwen! Kamu masih di kantor?”
Perasaan Gwen mulai tak enak, keningnya mengernyit, curiga.
“Iya, Ga. Aku kan nungguin kamu dari tadi. Jangan bilang kamu makan di luar sama si Theo gila itu!”
Anggara menoleh, menatap Theo dengan kedua alis terangkat. Theo si cenayang sekaligus pawangnya Anggara, langsung paham arti tatapan itu. Dia menggeleng pelan beberapa kali dengan kedua alis nyaris bertaut. Itu adalah kode keras untuk Anggara supaya tidak luluh dengan rayuan maut adik ipar.
“Maaf Gwen, tapi memang aku harus makan di luar, sebab dari sini aku akan langsung meeting lagi, dengan perusahaan lain.”
“Huft! Meeting di mana lagi sih?! Jadi kita nggak makan siang bareng nih?”
Gwen mendengkus kecewa. Padahal dia sudah menahan lapar sebab dia juga tidak sarapan sama sekali tadi pagi. Dan sekarang, kembali gagal makan bareng Anggara sambil ngobrol santai berdua, begitu sih inginnya Gwen.
“Ya mungkin lain kali Gwen, saat aku nggak sesibuk ini, oke? Jadi, kamu makan siang saja ya. Jangan sampai terlambat. Oh ya, aku sudah mau sampai, nanti kita telponan lagi.”
“Ga! Anggara!”
Nanar tatapan Gwen pada layar handphone, sambungan telepon sudah ditutup dari seberang. Dengan kesal dimasukannya handphone ke dalam tas selempang. Lalu beranjak pergi dari ruang CEO. Gwen akan ke butik saja, dia mau meredakan emosinya di sana.
Sementara itu di mansion nan mewah, meskipun hanya ada dua lantai, bawah dan atas, tapi tiap lantainya begitu luas, terutama di lantai bawah. Ayara baru saja selesai menyusui Alvino. Sekarang bayi itu telah tertidur lelap. Dan Ayara sedang duduk di tepian ranjang memandangi wajah si bayi mungil. Yang sesekali bibir merah naturalnya bergerak seperti masih menghisap putting.
Puas memandangi wajah teduh Alvino, Ayara bangkit berdiri dari terpian ranjang. “Suster Mira, aku akan jalan berkeliling dulu, ya. Supaya nggak nyasar nanti, habisnya gede banget sih ini rumahya.”
Dan di sinilah Ayara sekarang, tertegun di lantai bawah mansion, di sebuah lorong panjang yang dia sendiri bingung, apakah sejak tadi sudah melalui lorong ini apa belum. Sanking luasnya mansion ini, Ayara rasa dia harus memiliki peta penunjuk arah, atau mungkin bertanya pada seseorang.
Tapi sayangnya, tidak ditemuinya satu pelayanpun, padahal setahu dia jumlah pelayan yang bekerja di mansion ini lebih banyak daripada jumlah pengurus RT di tempatnya tinggal dulu.
Andaikan dia punya sebuah handphone, pastilah dia sudah menghubungi Suster Mira untuk minta dijemput atau dipandu ke arah kamar tamu utama.
Berpeluh keringat, Ayara celingukan, dia mulai cemas. “Duh gusti! Ini rumah atau labirin sih?! Kapok aku, nggak mau aku punya rumah sebesar ini. Kalaupun punya suami kaya raya, lebih baik rumahku nyaman tentram ketimbang mewah tapi bikin pusing begini! Duh!” Ayara mengusap kening lalu dia mulai melangkah lagi dan terus melangkah. Panjang sekali lorong ini hingga berujung halaman belakang rumah terbuka.
“Wahh!” desisnya terpesona dengan hamparan bebungaan. Ternyata ini adalah taman outdoor yang tak bisa dibilang minimalis.
“Nona?” Seseorang memanggil dari belakang punggungnya.
Ayara sedikit tersentak, tapi suara itu terlalu sopan untuk membuatnya kaget. Dilihatnya seorang wanita usia mendekati lima puluhan dengan alat penyiram tanaman di tangannya. Wanita dengan senyuman amah itu menggunakan seragam yang sama seperti pelayan lainnya di mansion ini.
“Ohh maaf Bu, aku tersesat.”
“Apa? Tersesat?” Dia terkekeh pelan. “Pasti Nona baru di mansion besar ini, kan? Pantas saja tersesat. Bahkan pelayan yang sudah lama bekerja di sini, jika kerjanya hanya di dapur saja, dia tidak akan bisa langsung kembali setelah sampai di taman ini. Ck ck sebenarnya Nona mau kemana? Nanti saya tunjukkan jalannya.”
“Saya mau ke kamar tamu utama.”
Kedua bola mata tua itu membulat dengan sorot yang tulus. “Wahh ternyata tamunya Tuan Anggara? Saya kira karyawan baru tuan. Kalau begitu saya antaran saja langsung, ya.”
“Ehh nggak perlu Bu! Biar saya sendiri saja. Kan Ibu juga lagi kerja. Eh tapi ….” Fokus Ayara terpecah ketika meihat beberapa tangkai bunga cantik mengintip dari balik punggung ibu itu. Dia penasaran, kok ada tumbuh bunga di punggung si ibu? Ya meskipun ibu itu adalah tukang kebun di rumah ini. Ayara memutari tubuh ibu tukang kebun. Detuk kemudian dia terpana, bola mata indah membulat sempurna dengan bibir sedikit menganga. “Ohh! Cantik sekali!”
Ibu tukang kebun tersenyum merekah, manis sekali dilihatnya, sama seperti melihat bunga anggrek warna-warni yang dia turunkan dari tas berupa ransel pvc bening yang unik. Rupanya ibu tukang kebun sedang menanam anggrek sambil menyiraminya sedikit-sedikit. Ayara lihat sudah ada beberapa tanaman anggrek kecil yang menempati pot berwarna putih di tanah.
“Ohh Ibu lagi menanam bunga?”
Ibu itu mengangguk. “Iya, Nona. Saya tukang kebun di sini, tugasnya ya seperti ini. Sangat menyenangkan! Setiap hari melihat bunga warna-warni yang cantik dan harum. Sama seperti Nona ini, cantik sekali!” pujinya tulus.
Senyum bulan sabit langsung terukir di wajah cantik natural Ayara. Dia jarang dipuji, apalagi setulus ini. “Ibu nggak perlu panggil saya nona, cukup panggil saya Ayara.”
“Ohh tidak, tidak. Bukan tamu sembarangan yang bisa menempati kamar tamu utama. Jadi saya tetap akan panggil Nona Ayara. Ngomong-ngomong namamu juga indah sekali. Ayara. Itu artinya bulan yang indah, atau bisa juga keindahan yang mulia. Pas sekali dengan wajah pemiliknya. Semoga hatimu secantik namamu, Nak.”
Ayara tersenyum. Damai dan senang sekali mendengarnya. “Umm kalau ibu, siapa nama Ibu?”
Ibu itu tersenyum sambil menyusun pot-pot kecil berisi tanaman anggrek warna-warni. “Saya Nisa. Tepatnya Annisa.”
“Ah nama Ibu juga sangat indah! Cocok dengan pemiliknya!” Keduanya tertawa tergelak. Lalu tanpa ada permintaan atau penolakan, Ayara langsung menerjunkan kedua tangannya, menjamah tanaman-tanaman itu dan membiarkan belepotan dengan tanah humus.
Dia suka sekali membantu Ibu Annisa bekerja di taman yang cukup luas ini. Sampai lupa waktu menjelang sore. Dan lupa dengan janjinya pada sang tuan besar, yang sudah dalam perjalanan pulang ke mansion.
Siap-siap mendapat semprotan kehidupan epsiode ke sekian!