BAB 13. Emosian Terusss

1102 Kata
Sedan hitam mewah memasuki halaman parkir mansion, tepat jam lima sore. Sesuai dengan janji Anggara. Dan mungkin jika dilihatnya Ayara sedang menjemur pakaian lagi di teras depan, akan langsung dia angkut masuk ke mobil dan berangkat sekarang juga. Hanya saja gadis itu tidak kelihatan batang hidungnya. Terpaksa Anggara turun dan berjalan dengan langkah lebar-lebar. Sebenarnya dia paling malas dengan yang namanya menunggu. Tapi mau bagaimana lagi, mau menelepon Ayara dan menyuruhnya keluar, tapi gadis itu belum punya handphone. Langkahnya langsung tertuju pada kamar tamu utama di lantai bawah. Dia ketuk pintu kamar berulang, tapi tidak ada jawaban dari dalam. Tidak sabar, Anggara mengetuk lagi, kali ini lebih kencang, nyaris seperti menggedor. "Maaf Tuan Anggara, sepertinya Nona Ayara masih di lantai atas.” Anggara membalik badan. Dilihatnya seorang pelayan wanita dengan posisi berdiri agak membungkuk. Tatapan matanya ke arah lantai, seolah akan terkena hukuman pancung jika berani menatap sang tuan besar. “Di lantai atas? Maksudnya di kamar Alvino?” “Ya betul, Tuan. Tadi Nona Ayara ke kamar Tuan Muda Alvino untuk menyusui, dan sepertinya belum kembali ke kamarnya karena sejak tadi saya membersihkan ruangan sekitar sini, Tuan.” Pelayan itu menjelaskan. Anggara melirik jam di pergelangan tangan. “Kalau begitu panggilkan dia, bilang cepat turun ke bawah! Saya tunggu di ruang keluarga.” “Baik, Tuan.” Bergegas pelayan itu menuju anak tangga ke lantai dua. Sedangkan Anggara berjalan lebih santai sekarang, ke ruang keluarga, yang letaknya tidak terlalu jauh dari kamar tamu utama. Duduk bersandar di sofa lalu mengeluarkan handphone untuk mengecek pesan dan email masuk. Tidak lama kemudian, pelayan tadi telah kembali. Menghadap Anggara yang masih fokus pada layar handphone. “Maaf, Tuan.” “Hem?” Anggara mendongak sebentar kemudian melanjutkan kesibukannya dengan handphone. “Mana dia?” “Ma—maaf Tuan, tapi di kamar Tuan Muda tidak ada Nona Ayara. Kata Suster Mira, sudah selesai menyusui sejak tadi.” “Apa?!” Anggara mendongak. Rahang tegasnya dengan tatapan mata tajam mengilat seketika membuat si pelayan gemetar. Bagaikan dia yang baru saja membuat Ayara menghilang di muka bumi. “Jadi ada di mana dia?!” Nada suara Anggara mulai tinggi. “Nona Ayara di—di—ah aduh … maaf saya tidak tahu, Tuan.” Semakin gemetar. Dan juga semakin menunduk. Anggara berdiri, tinggi menjulang, benar-benar mendominasi keadaan. “Kalau begitu cepat cari! Kalau perlu panggil semua pelayan untuk mencari Ayara!” teriaknya menggelegar. “Baik Tuan!” Tanpa sadar sang pelayan juga menjawab dengan nada agak tinggi. Sebab dia tersentak kaget. Detik kemudian dia sudah lari tunggang langgang dan meminta bantuan pada para pelayan lainnya. Mereka semua menyebar. Mencari seorang Ayara yang kurus mungil itu. “Bu Nissa, ini nanem anggrek memang bisa pakai arang begini? Biasanya kan arang mah buat bakar sate, Bu?” Wajah keheranan Ayara membuat Nissa sang tukang kebun tersenyum. Baginya Ayara sangat polos, jadi hiburan baginya. Juga temannya bekerja sejak tadi. Nissa jadi tidak merasa jenuh sama sekali. “Bisa Nona Ayara. Ini namanya arang holtikultura, bisa menjadi media tanam untuk tanaman anggrek. Masih banyak media tanam lain, semua ada di sana.” Nissa menunjuk ke arah sebuah rak bertingkat di bagian belakang taman. Pandangan Ayara mengikuti arah itu, bertepatan dengan datangnya dua orang pelayan yang berjalan cepat menghampirinya, berkeringat dan ngos-ngosan. “Ada apa?” tanya Ayara bingung. “Nona Ayara ditunggu Tuan Anggara di ruang tamu, sekarang!” jawab seorang pelayan dengan raut cemas. “Ah, ya ampun! Aku ada janji dengan Tuan Anggara jam lima sore!” Ayara menutup mulutnya dengan kedua tangan dan mata yang melotot. Dia benar-benar lupa ada janji dengan sang tuan rumah. “Non! Sudah atuh kagetnya, sana cepat temui Tuan Anggara, sebelum seisi rumah ini kena marah!” Nissa segera menarik kedua tangan Ayara yang belepotan arang lalu mengelap dengan tangannya sendiri. “Eh nggak usah Bu. Lihat tuh tangan Ibu jadi ikutan hitam!” Ayara menarik kembali tangannya dan bergegas pergi dari sana. “Eh tapi itu, Non!” Seruan Nissa sudah tidak didengar Ayara. Gadis itu melesat mengikuti kedua pelayan tadi untuk menuju ruang tamu. Sampai di ruang tamu, Ayara melihat Anggara dari arah belakang punggungnya. Sebab pria tinggi itu sedang berdiri membelakanginya. Ayara menarik napas dalam. Berusaha menguatkan diri sendiri. Lagipula kan dia tidak sendirian di sini, ada dua orang pelayan yang menemaninya. Ayara membalik badan dan seketika dia terbelalak. Sebab kedua pelayan tadi sudah tidak ada di belakangnya. Sudah kabur sejak tadi. “Huft!” Ayara menghela napas dalam, lalu berdeham pelan. “Tuan Anggara.” Anggara membalik badan. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Ayara. Sangat tajam sampai Ayara meneguk saliva dengan susah payah. “Ma—maaf Tuan … aku lupa.” Ayara menunduk dan sesekali mencoba membalas tatapan Anggara, meskipun hanya bertahan satu atau dua detik saja. Aura Anggara saat ini bagaikan rumah angker di malam Jumat kliwon. “Lupa kalau ada janji dengan saya?” Tidak membentak. Tidak dengan juga dengan nada suara tinggi. Tapi terdengar menggetarkan. Bahkan Anggara memakai kata ‘saya’ saat ini. Terdengar lebih formal. Membuat Ayara langsung tahu, Anggara tidak sedang marah padanya saat ini, tapi sangat marah. “Aku tahu ini salah, Tuan. Tadi umm … aku keasyikan menanam anggrek di taman belakang.” Ayara jujur. Meskipun mungkin itu semakin membuatnya dalam posisi bahaya. Anggara berjalan mendekati Ayara. Sampai mereka berdiri berhadapan. Ayara menunduk karena takut. Dan Anggara menunduk karena tinggi Ayara hanya sebatas bahunya saja. “Karena kamu sudah sangat terlambat! Tepatnya, sepuluh menit, tidak ada waktu untuk siap-siap lagi. Kita pergi sekarang.” Anggara berjalan menuju ke parkiran depan. Ayara segera mengikutinya. Gadis itu melihat kedua tangannya yang masih agak kehitaman, bekas memegang arang hortikultura. Tadi hanya sempat dibersihkan sedikit oleh tangan Bu Nissa saja. Anggara sudah naik ke mobil, dia menunggu Ayara tapi tiba-tiba pintu penumpang belakang yang terbuka. Ayara duduk manis di sana. Anggara menoleh ke belakang dengan kening mengernyit. “Kamu ngapain duduk di belakang?” “Umm … kalau aku duduk di depan, nggak enak sama Tuan Anggara. Rasanya … kurang sopan.” Kedua bola mata Anggara melotot. “Memangnya kalau kamu duduk di belakang itu sopan? Hah?! Kamu pikir aku sopir kamu? Pindah ke depan!” sentaknya sampai membuat Ayara berjengkit karena kaget. Mudah sekali emosi Anggara terpancing jika sudah berkaitan dengan Ayara. Dengan cepat Ayara pindah ke kursi depan. Napasnya tersengal menahan takut. Dia duduk tegak menghadap depan, tidak berani menoleh ke arah Anggara. Namun ada yang aneh, mobil tidak juga bergerak. Perlahan Ayara menoleh ke arah samping kanannya. “Astaga!” Ayara kaget bukan main. Anggara memicingkan kedua bola matanya, bagaikan ingin sekali menelan Ayara hidup-hidup. “Tutup pintu belakang!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN