Sekarang mereka berdua sedang berada dalam sebuah butik khusus pakaian wanita. Yang sangat luas bagi Ayara, berlantai tiga. Seumur hidupnya selama 21 tahun, baru kali ini dia masuk ke sebuah butik. Biasanya dia hanya bisa membeli pakaian murah di pasar atau toko baju biasa. Tiga puluh lima ribu dapat satu, seratus ribu dapat tiga potong.
“Wahh baju-bajunya bagus semua!” Ayara terus berjalan perlahan sambil tangan kanan dan kirinya memegang baju-baju yang tergantung rapi. Sering Ayara membelai dengan lembut, seakan takut baju itu akan rusak jika dipegang terlalu kencang. Bahannya terasa lembut dan nyaman sekali di kulit, padahal itu baru dia rasakan di telapan tangan.
Anggara mengikuti saja Ayara dari belakang. Hanya berjarak tidak lebih dari dua meter. Dia sama seperti kebanyakan laki-laki pada umumnya, yang jika berbelanja apalagi pakaian, maunya praktis dan cepat. Tapi kali ini seperti tertarik dengan gerak-gerik Ayara yang unik. Sebab baru kali ini dia menemani orang yang baru pertama kali berbelanja di butik.
“Oh ya ampun! Ini bagus banget!” Ayara memegang setelan turtle neck top lengan panjang warna nude yang digantung bersama dengan rok midi berbahan denim. Sungguh perpaduaan outfit yang membuat sorot mata Ayara berbinar.
Diambilnya setelan itu dari gawang gantung tempat display pakaian. Lalu menempelkan di badan dan melihat bayangannya sendiri pada cermin yang tersedia di tiap batas lorong area display. Anggara masih terus memperhatikan dari balik punggung Ayara. Kali ini dia agak lebih mendekat, karena ada rasa tertarik ingin ikut melihat bayangan Ayara pada cermin itu.
Dan kedua alis pria itu terangkat saat berhasil melihatny. Ternyata outfit semodern itu terlihat cocok juga pada Ayara.
“Hemm bagus begini berapa ya harganya.” Ayara penasaran. Dia menarik hang tag yang tergantung dan seketika kedua bola matanya melotot.
“Sudah ambil saja baju i—”
“Argh!” Baju melayang bersama dengan hangernya lalu mendarat di atas kepala Anggara.
Dengan menarik napas dalam Anggara mengambil baju dari kepalanya. Lumayan juga rasanya kepala kejatuhan hanger kayu.
“Loh! Mana bajunya?” Ayara kebingungan sendiri setelah refleks melempar baju itu dari tangannya, karena kaget melihat harga yang tertera pada hang tag.
Saat dia membalik badan, dilihatnya tatapan bengis Anggara. Kedua alisnya terangkat ketika melihat baju tadi ternyata ada di tangan Anggara. Dia langsung tersenyum canggung dan segera mengambil kembali baju itu. “Ohh maaf Tuan, tadi itu aku kaget banget dan nggak sengaja lempar bajunya. Terima kasih sudah ditangkap, ya. Untung nggak kena kepala. Sekali lagi maaf.” Ayara sedikit membungkuk.
Anggara mendengkus kesal. “Kamu mau baju itu? Sudah ambil saja, nggak perlu lihat harganya! Kan aku yang bayar bukan kamu!”
Ayara segera menggeleng. “Ohh nggak! Nggak Tuan! Baju macam apa yang harganya sampai jutaan begini?! Lihat ini Tuan, atasannya tiga juta, roknya bahkan lima juta! Ini yang jualan sudah gila apa kasih harga segini, ya?”
“Gila atau nggak bukan urusan kita.” Anggara menjawab datar saja. Malas berdebat karena kepalanya masih terasa berdenyut nyeri. Dia melambaikan tangan pada seorang pelayan.
“Loh … Tuan? Ini beneran dibeli?’ Anggara tidak menjawab, dia menunjuk pada baju yang masih dipegang Ayara. “Tolong dibantu, Mbak, saya beli baju yang itu.”
“Baik, Tuan.” Pelayan dengan sigap dan ramah, mengambil baju dari tangan Ayara untuk kemudian disiapkan di meja kasir.
“Yang itu kamu suka, nggak?”
Ayara menoleh pada sebuah kemeja yang tergantung tidak jauh dari mereka. Kemeja polos berbahan katun premium itu terlihat sederhana tapi begitu disentuh, rasanya nyaman sekali di telapak tangan.
“Bagus banget!” Lagi-lagi sorot mata Ayara tampak berbinar cerah.
“Mbak, saya mau kemeja yang itu juga.”
“Baik, Tuan.” Pelayan tadi segera mengambil kemeja yang masih tergantung di hanger. Dia sedikit tersenyum melihat raut wajah customer wanitanya ini, yang terlihat shock dengan bibir sedikit menganga.
“Oh ya Mbak, kemeja itu satu seri ada berapa warna?”
Pelayan yang sedang melipat kemeja yang tadi dipilih, menoleh pada Anggara. “Hanya ada tiga, Tuan. Dan perwarnanya hanya ada satu pcs saja. Sebab semua barang di sini limited edition.”
“Kalau begitu saya ambil semuanya, tiga warna.”
“Baik Tuan.” Pelayan segera menyiapkan pesanan Anggara.
Ayara yang sejak tadi lupa menutup mulutnya kembali, segera menghampiri Anggara dan menatapnya bingung becampur takjub. “Umm Tu—tuan a—apakah semua baju mahal itu untukku?”
“Iya.”
“Semua kemeja itu juga untukku?”
Anggara menatap sengit. “Ya iyalah! Masa’ untuk aku?!”
“Wuahhh! Itu kan mahal-mahal semua! Tuan Anggara ternyata orang yang sangat baik!”
Anggara melengos. Aku hanya tidak mau anakku punya ibu s**u yang dekil! Tidak terurus! Dan andaikan waktu itu kamu nggak asal menyeberang saja di jalanan, kecelakaan itu mungkin tidak akan terjadi, dan istriku masih hidup. Sehingga aku nggak perlu repot-repot mengurus keperluan kamu yang sepele begini! Anggara menarik napas dalam. Dia hanya merutuk dalam hati. Bagaimanapun dia masih punya pikiran, Ayara juga kehilangan bayinya karena kecelakaan itu.
“Aku belikan kemeja supaya kamu mudah menyusui Alvino. Sekarang kamu cari baju tidur sekalian. Setelan piyama atau apalah terserah kamu. Pokoknya semua baju kebutuhanmu sudah harus terpenuhi semua di sini. Aku nggak mau nanti masih ada yang kurang ini dan itu. Jadi tidak ada yang namanya bolak-balik hanya untuk belanja baju! Dan … aku mau kerja dulu di laptop, kamu pergilah dengan pelayan. Aku beri waktu satu jam!”
Anggara sudah akan beranjak dari sana ketika Ayara tiba-tiba berjalan cepat lalu menghadangnya. “Umm maaf Tuan, kalau satu jam sepertinya nggak akan cukup. Semua baju di sini bagus-bagus, aku pasti bingung memilihnya, boleh kah kalau dua jam?”
Anggara melotot. Baru kali ini ada orang berani tawar menawar padanya. “Satu jam!” Anggara berbelok untuk melewati Ayara tapi gadis itu ikut bergeser. Membuat Anggara nyaris menabraknya. “Apa-apaan kamu!”
“Tolonglah Tuan, laki-laki dan perempuan kalau berbelanja kan beda tutorialnya. Dua jam ya Tuan? Aku mohon!” Ayara mengatupkan kedua telapak tangan dan memasang wajah memelas.
“Huh! Satu setengah jam!”
“Ah baiklah, Tuan. Terima kasih banyak!”
Anggara tidak peduli dengan sorot mata kegirangan itu. Dia menepis sedikit lengan Ayara supaya menyingkir lalu langkahnya lebar-lebar menuju salah satu sofa di ruang tunggu pengunjung.
Tinggallah Ayara yang menari-nari kecil sendirian karena hatinya sedang senang sekali. Bagi Ayara yang selama ini hidupnya terkekang oleh suami dan ibu mertuanya sendiri, ditawarkan berbelanja baju seperti ini bagaikan merasakan surga dunia.
Ayara mulai menuju lorong display khusus setelan piyama. Dia menarik satu hanger, dua hanger, tiga hanger, empat hanger, lima hanger, dan berakhir kebingungan sendiri karena baginya semua piyama itu sangat bagus dan nyaman.
Namun saat melihat harga pada hang tag di salah satu piyama, senyumnya langsung lenyap. “Astaghfirullah! Piyama dua juta lima ratus ribu?! Ini maksudnya piyama sama lemari bajunya sekalian gitu ya?”
Seorang pelayan yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari Ayara, menggeleng dan tersenyum. “Tidak Nona, itu hanya harga piyamanya saja.”
Ayara segera menggantungkan kembali empat stel piyama dan hanya mengambil satu yang paling murah. Seharga dua juta pas.
Ayara membalik badan, menghadap pelayan di belakangnya. “Mbak, apa di sini nggak ada yang harga seratus ribuan saja gitu? Supaya saya nggak merasa berdosa kalau mau ambil banyak baju. Ada Mbak?”