Bab 3 - Mandul

1802 Kata
Chikita Pov     Emak mertua gue kalau berakting memang totalitas, dua jempol deh gue beri untuk kehebatan aktingnya. Mungkin kalau ada pemilihan semacam award untuk memilih emak mertua terbaik mungkin emak mertua bisa menyapu bersih semua kategori.     Di rumah emak mertua layaknya mertua kejam dan tidak berperasaan tapi di mesjid dia berubah menjadi emak mertua teladan yang menyayangi menantunya seperti anak sendiri. Seperti malam ini, emak mertua tersenyum bangga memperkenalkan gue ke teman satu arisannya.     "Wah Madam Mai ternyata menantunya cantik ya, nggak salah anaknya ternyata pilih istri," puji beberapa ibu-ibu arisan yang melihat kedatangan gue, emak mertua, mbak Silvia serta Mbak Ghania, eh eh tunggu dulu gue nggak salah dengarkan? Madam Mai? Maijinun atau Maimunah?. Emak mertua tersipu seakan bangga dengan pujian Ibu bersasak tinggi yang nggak mau kalah dari rambut Ibu-Ibu pejabat yang gue lihat di TV.     "Hahahaha makasih jeung Saras, alhamdullilah anak saya ternyata pintar memilih istri, saya bangga bisa memiliki menantu seperti Chikita, dia memang menantu idaman semua mertua, cantik … baik… telaten sebagai istri dan rajin menabung." Senyum emak mertua merekah bagaikan durian yang baru matang, manis dan mewangi saat memuji sikap gue tapi semua itu hanya kamuflase.      Mbak Silvia dan Mbak Ghania yang baru pulang dari Bali menarik tangan gue dan kami memilih duduk paling belakang barisan agar puas ngobrol sekaligus bergosip mumpung emak mertua tidak ngerecoki gue untuk di perkenalkan dengan para jamaah lainnya yang kepo dengan kehidupan pernikahan gue.     Semua jamaah sibuk mendengarkan ceramah salah satu Ustad ternama Ibu Kota yang di bayar untuk memberikan ceramah di mesjid komplek, kami bertiga awalnya fokus mendengarkan ceramah Ustad tentang hubungan keluarga yang menurut gue bagus untuk dipahami dan diresapi, syukur-syukur emak mertua tobat dan mulai memperlakukan gue dengan lebih baik.     "Mertua dan menantu, jadi Ibu-Ibu mau saya membahas tentang banyaknya hubungan mertua dan menantu yang sekarang kebanyakan seperti anjing dan kucing?" tanya Ustad ke arah Ibu-Ibu pengajian, bagus juga topik pembahasannya agar emak mertua tau kalau menyiksa menantu itu dosa.     "Iya pak Ustad, soalnya sekarang kebanyakan menantu suka nyiksa mertua dan merasa memiliki hak lebih atas suaminya, termasuk gaji suami yang seharusnya untuk orangtuanya," balas emak mertua dengan nada berapi-api seakan menjadi korban kekejaman gue, helow emak mertua tersayang kagak kebalik ya.     Mbak Silvia dan Mbak Ghania berusaha menahan tawanya dan gue hanya bisa memanyunkan bibir saking kesalnya.     Gue melihat Pak Ustad tersenyum dan melihat ke arah emak mertua "Ketika anak wanita menikah, maka terputuslah tanggung jawab orang tua untuk menafkahi anak wanita itu karena tanggung jawab itu sudah berpindah kepada suaminya. Namun tidak demikian bagi anak laki-laki. Ketika sudah menikah maka Laki-laki tetap memiliki tanggung jawab untuk menghidupi orang tuanya sampai akhir hayatnya. Jadi Hak Orang tua kandung atas anak laki-laki tetap ada sampai kapan pun," emak mertua tersenyum penuh kemenangan, seakan mendapat titik kecerahan supaya semakin bisa menyiksa gue.      Aduh Pak Ustad mulai menabuh genderang perang nih, bisa-bisa sepulang dari mesjid emak mertua narik semua gaji yayang Dimas untuk dirinya sendiri.     "Sehingga dengan demikian setelah menikah, anak laki-laki menjadi milik dua pihak yaitu orang tua kandungnya dan Istrinya yang sah," sambung pak Ustad, wajah emak mertua kembali cemberut mendengar gue juga punya hak atas diri anaknya, andai tidak di mesjid mungkin gue ketawa terpingkal-pingkal melihat wajah kesal emak mertua.     Pak Ustad panjang lebar menjelaskan hubungan antara menantu dan mertua termasuk dalil-dalil agama sebagai penunjang ceramahnya tapi sepertinya emak mertua gue nggak terima dan memandang gue seakan ingin memakan hidup-hidup.     "Sudah jangan diambil hati, Mommy hanya belum siap melepaskan Dimas menikah, lama-lama Mommy pasti sayang sama kamu, yakin deh," ujar Mbak Silvia menenangkan gue, gue mengeluarkan cengir andalan dan menggelengkan kepala gue.     “Bener Chiki, Mommy nggak akan pernah membuat Dimas sedih. Kamu tahu sendiri Dimas anak kesayangan Mommy,” sambung Mbak Ghania sambil memegang tanganku, gue kembali menggelengkan kepala.     "No problemo sister in law, gue sih selow kayak bajaj... emak eh Mommy hanya belum siap menerima menantu secantik gue untuk mendampingi anaknya yang bulet itu," gue tertawa cekikikan membayangkan laki tersayang bulet kayak buntelan kain, Mbak Silvia menepuk tangan gue dan memberi kode supaya emak mertua tidak mendengar gue ngeledekin anak bungsu kesayangannya, begitupun Mbak Ghania yang merapikan selendang yang terpasang di kepalanya, nah seperti ini Mbak Ghania baru terlihat seperti wanita tulen, memakai Gamis dan selendang walau tanpa make up.     Sepertinya Mbak Ghania harus gue kenalkan sama Bang Ke yang penampilannya layaknya boyband Korea, cantik dan mulus untuk laki-laki.     Ngomong-ngomong tentang Bang Ke, itu sepupu gue kapan nikahnya ya. Nggak takut karatan apa ya lama-lama, hmmmm bagus juga kalau Bang Ke dan Mbah Ghania gue jodohkan. Biar keluarga ini semakin menyatu dan emak mertua makin urut d**a lihat menantu-menantunya.     "Sayang!" suara berat Yayang Dimas terdengar di telinga gue, ah tadi yayang Dimas berjanji bakal jemput gue sepulang dari kantor, emak mertua yang melihat yayang Dimas datang langsung menghampiri anaknya dan menarik tangan yayang Dimas untuk diperkenalkan dengan Ibu-Ibu jamaah.     "Ini loh jeung anak saya, ganteng ya..." puji emak mertua, Ibu-Ibu jamaah langsung mengangguk setuju dan memuja yayang Dimas yang terlihat risih diperhatikan Ibu-Ibu seusia emak mertua.     "Ho oh, Madam Mai kok hasil adonannya oke sih, apa resepnya?" tanya Ibu bersasak tinggi yang bernama jeung Sarah, yailah dasar emak-emak rumpi laki tersayang gue dikira kue apa pakai nanya adonan segala, donatttt kelessss.     Aih susah payah membuat deskripsi laki tersayang jauh dari ekspektasi agar cewek-cewek centil yang baca nggak h***y tiap ngebayangin wajah ganteng yayang Dimas, eh emak-emak rumpi malah jujur kalau laki gue kerennya ngalahin Justin Bibir.     "Stsss RAHASIA," bisik emak mertua, yayang Dimas hanya bisa merem mesem saking malu mendengar ocehan emak-emak rumpi yang nggak berhenti menggodanya, sebagai istri yang baik hati, soleh dan rajin menabung dengan langkah cepat gue tarik tangan yayang Dimas dan dengan tanpa basa basi gue langsung meminta izin untuk pulang, kasihan yayang Dimas pulang kerja bukannya istirahat yang ada malah meladeni emak-emak rumpi yang melihat yayang Dimas seperti ingin memangsa sampai habis. Maafin Chikita ya Allah.     Gue, yayang Dimas dan dua kakak ipar tersayang memilih keluar dari mesjid terlebih dahulu meninggalkan emak mertua yang masih sibuk dengan teman rumpinya, kami berempat lalu pulang dengan jalan kaki mumpung mesjid tidak terlalu jauh dari rumah, yayang Dimas memeluk pinggang gue dan meski ini bukan kali pertama tapi tetap saja hati gue berdetak layaknya orang yang lagi kasmaran.     "Mas Bimo nggak jemput mbak ke sini?" tanya yayang Dimas sesampainya kami di depan rumah dan melihat Mbak Silvia membuka pintu mobilnya, Mbak Silvia menggelengkan kepalanya lalu menghela napas.     "Biasa di rumah ada bayi dewasa yang nggak bisa ditinggal lama-lama," balas Mbak Silvia menyindir emak mertuanya yang bersikap tidak jauh berbeda dengan emak mertua gue, tapi gue lebih beruntung laki tersayang membela dan mencintai gue sedangkan Mas Bimo termasuk anak mama yang selalu nurut apapun yang dipinta emaknya.     "Hati-hati Mbak, salam sama Mas Bimo," ujar Mbak Ghania sambil melambaikan tangan, Mbak Silvia mengangguk dan meninggalkan kami berdua dalam kesunyian malam yang membuat gairah membara ditambah malam ini malam jumat, malam yang bagus untuk Sunnah Rasul.     "Masuk yuk," ajak yayang Dimas sambil menunjuk ke arah rumah.     Gue sengaja jual mahal agar di paksa, yeah pemaksaan emang paling enak, gurih gurih asin gitu rasanya, coba deh hehehehe. Mbak Ghania memilih masuk duluan, mungkin takut iri melihat kemesaraan kami.     "Malas ah, enakan di luar," balas gue yang pengen digendong untuk masuk, seperti di film-film itu loh yang suaminya menggendong ala ala Hollywood, istilahnya bridal style.     "Ya sudah, aku masuk dulu ya mau mandi dulu soalnya gerah banget seharian nggak ganti baju, kamu tungguin Mommy sampai pulang ya," balas yayang Dimas acuh dan masuk begitu saja meninggalkan gue yang sukses melongo dengan ketidakpekaannya.     "Yailah, si ayank malah masuk begitu saja, pakai acara nyuruh nunggu emak mertua segala, emangnya emak mertua pejabat penting apa yang kedatangannya harus ditunggu pakai tari piring," gue hanya bisa menggerutu sambil menghentakkan kaki ke tanah, niat hati mau menghabiskan waktu untuk buat anak eh yang ada gue harus nunggu kepulangan emak mertua yang nggak jelas sampai jam berapa. ****     Setiap pagi kalau sedang malas ke pasar gue selalu memanggil tukang sayur yang lewat di depan rumah, hari ini rencananya gue mau masak sayur asem plus jengkol balado kesukaan yayang Dimas sesuai request-nya sebelum pergi kerja tadi pagi. Saat sedang asyik-asyik milih jengkol tiba-tiba tetangga yang rumahnya berada di ujung komplek datang dengan teriakan histeris, gue yang kaget mengira ada kemalingan atau kebakaran langsung menoleh dan melihat semua penghuni komplek keluar karena kaget mendengar teriakan lebay tetangga itu.     "Ada apa Jeung Belinda?" tanya emak mertua yang nongol entah dari mana, kekepoan emak mertua langsung muncul kalau para tetangga heboh seperti tadi.     "Ada kabar gembira jeung jeung sekalian!" teriak Ibu bernama Jeung Belinda itu, gue bersyukur nggak ada maling dan kembali fokus memilih jengkol tua.     "Menantu saya hamil jeung! Akhirnya saya punya cucu! Padahal anak saya baru nikah loh satu bulan," ujar Jeung Belinda dengan bangga, tangan gue berhenti memilih jengkol, gue mencoba menghitung sudah berapa lama gue menikah tapi kehamilan tak kunjung datang, ah masih tiga bulan dan itu wajar mengingat waktu bertemunya kami hanya di malam hari saja.     "Wah selamat ya jeung, menantunya tokcer ternyata," balas emak mertua sambil melirik ke gue dan gue merasa ucapan emak mertua tadi penuh sindiran.     "Ho oh saya nggak nyangka loh Madam Mai kalau menantu saya tokcer, Alhamdullilah!" balas Jeung Belinda bangga.     "Berapa bulan Buk?" tanya gue yang kepo, Jeung Belinda seperti sibuk berpikir.     "Tiga atau empat bulan ya?" jawabnya dengan lugu, gue tercengang dan akhirnya sadar ternyata anak dan menantunya DP duluan makanya tokcer, yailah lebih beruntung gue dong kalau kayak begitu.      Meski belum hamil tapi gue jauh dari hal dosa seperti itu. Emak mertua mendekati gue dan berbisik pelan ditelinga gue. Semua tetangga berbisik membicarakan aib Jeung Belinda, tapi dasar nggak peka bukannya malu Jeung Belinda malah semakin heboh dengan berita kehamilan menantunya.     "Kamu nggak mandul kan? Masa belum hamil-hamil juga?" pertanyaan yang sanggup membuat gue nelangsa dan juga terluka, tapi seperti yang gue bilang, gue bukan tipe menantu yang mau ditindas meski hanya dengan pertanyaan seperti tadi.     "Ya enggaklah Mom," balas gue dengan senyum terpaksa. Apa sih yang nggak gue lakukan agar bisa hamil.     Khayang? Sudah pernah coba meski akhirnya pinggang gue encok besok paginya.     Nungging? Sering banget.     Jungkir balik? Beuh setiap malam kami praktekkan. Pokoknya satu buku kama sutra sudah khatam deh gue praktekkan, hanya menunggu calon dedek bayi saja hadir di rahim gue, tapi memang Tuhan belum memberikan kepercayaan kepada kami untuk menjadi orang tua, kami bisa apa?     "Kalau kamu mandul lebih baik izinkan Dimas kawin lagi," pernyataan emak mertua yang sanggup membuat gue terdiam membisu.      Memberikan izin untuk yayang Dimas kawin lagi? Beuh langkahi dulu mayat gue! Nggak akan pernah! ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN