Bab 4 - Play Drama Get Karma

1516 Kata
Ghania Pov     Kali ini entah apa lagi ulah Mommy yang berusaha memisahkan Dimas dan istrinya, sejak pagi Chikita terlihat murung dan tidak b*******h. Biasanya rumah ini ramai dengan celoteh dan tingkahnya yang terkadang membuatku tertawa.     “Ghania, lihat tuh ulah Chikita. Selesai belanja bukannya disusun ke dalam kulkas eh malah ditinggal begitu saja berserakan di atas meja, ampun dah punya menantu kerjanya nggak ada benar-benarnya. Kok bisa ya Dimas cinta dan sayang sama wanita seperti itu,” oceh Mommy tanpa henti.     Aku memasang earphone di telingaku, konsentrasiku untuk melanjutkan beberapa bab novel terbaru hilang seketika mendengar omelan Mommy.     “Ghania! Kamu dengar nggak sih Mommy ngomong!” gerutunya sambil membuka earphone yang terpasang, aku menutup laptop dan membawanya keluar dari kamar. Editorku bisa ngamuk kalau malam ini aku tidak kunjung mengirimkan bab lanjutan novel terbaruku.     “Ghania!”     “Aduh Mom, kepalaku pusing dengan segala kerewelan Mommy tentang Chikita, come on mereka sudah menikah. Mommy nggak capek apa ya ngomel mulu kayak bajaj di luar. Aku butuh konsentrasi atau editorku bisa gorok leher ini, please biarkan aku tenang ya Mom,” pintaku dengan wajah memelas     “Ckckckckck kamu ini, kalau seperti ini terus kapan sih kamu jadi istri orang dan itu kenapa rambut semakin pendek, bahkan rambut Dimas saja lebih panjang daripada kamu. Kamu itu wanita bukan laki-laki”     Ya ya ya itu lagi itu lagi.     Menikah.     Punya suami dan anak.     Kenapa sih wanita itu selalu ditakdirkan menjadi istri orang, kenapa tidak dibiarkan hidup sendiri tanpa laki-laki. Semua laki-laki itu sama, menyebalkan dan tukang PHP.     “Gerah Mom, udah deh ya. Aku nggak akan menikah sampai Mommy berhenti merecoki semua rumah tangga anak-anak Mommy, aku nggak mau bernasib sama dengan Mbak Silvia dan Dimas.”     “Kamu ini! pokoknya kalau dalam satu bulan ini tidak juga ada laki-laki yang mau sama kamu, Mommy akan jodohkan kamu. Paham!” teriaknya dari dalam kamarku, aku acuh dan naik ke lantai tiga. Biasanya kalau sudah duduk sendirian di sana maka ide yang tadinya hilang akan kembali. ****     Editorku yang bernama Pak Raka mengerutkan keningnya dan mencoret beberapa bagian yang dianggapnya sedikit tidak sempurna, aku menghembuskan napas saking kesal melihat usaha kerasku dirusak tangannya. Andai dia tahu tadi malam sampai jam 11 malam aku menulis di lantai tiga sendirian.     “Hmmmm entah kenapa bagian konflik pernikahan ini terasa kaku,” ujar pak Raka.     “Bagian yang mana Pak?” tanyaku sambil berusaha melihat bagian yang dicoret Pak Raka, “kaku? Menurut saya bagian itu sudah sempurna, konflik mertua dan menantu bukannya berkisar tentang usaha mertua merecoki rumah tangga anaknya,” sambungku bingung dengan kekakuan yang dimaksud Pak Raka.     “Nah di sana intinya, konflik mertua dan menantu bukan saja merecoki rumah tangga anaknya, tapi ada hal lain … hmmmm ayo kamu pikirkan dan riset lagi, kalau ini yang kita masukkan ke dalam novel kamu, terlalu mainstream.”     Aku riset kok dan melihat rumah tangga Dimas dan Chikita sebagai bahan penelitian. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, rasanya pengen jambak rambut Pak Raka yang bisanya cuma komplain dan komplain tanpa mau memberi solusi.     “Susah memang menulis tentang pernikahan kalau yang nulis saja belum pernah menikah, upssss,” sindirnya.     “Jadi saya harus menikah dulu? Gitu maksud Bapak?” jawabku sewot, Pak Raka tertawa malu dan menyerahkan kembali draft novel terbaruku.     “Kamu coba riset lagi, pokoknya konflik ini terlalu mainstream.”     “IYA!” jawabku ketus.      Aku keluar dari ruangan Pak Raka dengan mulut tak berhenti mengomel, arghhhh ini nih yang membuat aku menolak menulis novel roman picisan bla bla bla. Arghhhh menyebalkan!     “Ghania, ngapain lo sewot di depan pintu Pak Raka,” ujar salah satu rekan penulis yang mempunyai editor sama denganku, namanya Ayu Lestari Joyokusumo, orang terdekatnya biasa memanggil dengan panggilan Mbak Ayu, umurnya tahun ini menginjak 35 tahun, cukup matang bagi seorang wanita untuk menikah dan sampai saat ini Mbak Ayu masih berstatus jomblo, sama sepertiku.     “Biasa Pak Raka menyebalkan, ih rasanya pengen gue pites kepalanya. Masa bawa-bawa status gue yang belum nikah untuk nyindir gue. Andai nggak ingat kontrak mungkin dari dulu gue milih mundur dari perusahaan ini,” gerutuku tak henti-henti, Mbak Ayu mendekatiku dan berbisik di telingaku pelan.     “Daripada ngomel mending lo ikut gue,” ajaknya, “ke kampung gue, di sana tenang dan damai jadi ide pasti nongol di otak lo, gue kayaknya udah terlalu lama nggak ke sana. Bonyok nggak berhenti-henti nyuruh gue pulang,” sambungnya. Hmmm ide bagus, daripada di rumah dengar omelan Mommy lebih baik aku ikut Mbak Ayu ke kampungnya, siapa tau ide baru muncul seketika.     “Oke, gue ikut Mbak.” ****     Sepanjang perjalanan Mbak Ayu bercerita tentang keluarganya, alasan kenapa jarang pulang dan sebagainya. Aku paham dan mengerti alasan kenapa Mbak Ayu lebih betah tinggal di Jakarta daripada di Yogjakarta bersama kedua orang tuanya, di usia matang seperti ini, hanya satu hal yang menjadi ganjalan setiap dia pulang menjenguk kedua orang tuanya, pertanyaan kapan menikah, kapan berumah tangga, sungguh pertanyaan yang sangat kami hindari saat ini.     "Assalammualaikum Ibu." Aku dan Mbak Ayu merapikan pakaian kami, aku tau Ibu Mbak Ayu paling tidak suka kalau melihat anak wanitanya mengenakan pakaian yang terlalu terbuka. Tidak sopan katanya kalau di desa mengenakan baju terlalu terbuka dan kami hanya bisa mengikuti kemauan Ibu daripada diceramahi panjang lebar karena memakai baju yang menurutku biasa tapi di mata Ibu Mbak Ayu luar biasa.     "Waalaikumsalam, Ayu… nak Ghania ya?” tanyanya, aku menggangguk dan menyalami tangan Ibu Mbak Ayu, “masuk-masuk, aduh akhirnya Ibu bisa melihat anak Ibu satu-satunya," sindirnya tajam ke arah Mbak Ayu, Mbak Ayu hanya bisa cengengesan sambil mengajakku masuk ke dalam.     Rumah ini sangat kental adat Jawa, bahkan di beberapa sudut ruangan masih terlihat benda-benda kuno dan antik. Sungguh mengagumkan dan sungguh luar biasa masih ada beberapa keluarga menjunjung nilai adat dan peninggalan sejarah.     "Bapak kemana Bu?" tanya Mbak Ayu sambil melirik ke kiri dan ke kanan, aku menghirup udara desa yang menyejukkan.     "Oh Bapak lagi mancing sama nak Danu."     "Danu? Siapa Bu?" tanya Mbak Ayu.     Aku kemudian duduk dan mendengar pembicaraan mereka tentang Bapak, ah andai sikap Mommy tidak keras mungkin saat ini aku masih bisa berkeluh kesah dan meluapkan semua isi hatiku kepadanya, sayang Ayah dan Mommy bercerai saat aku berusia 16 tahun dan sejak itu aku sama sekali tidak pernah bertemu Ayah.     "Danu, anaknya paman Sulastro, calon suami kamu." Aku yang meminum teh yang dihidangkan Ibu Mbak Ayu langsung terbatuk-batuk mendengar siapa itu Danu dan apa hubungannya dengan Mbak Ayu.     “Ibu, Ayu belum mau menikah apalagi dengan laki-laki yang wajahnya saja tidak pernah Ayu lihat,” tolak Mbak Ayu, Ibu menatap Mbak Ayu dan aku secara bergantian.      Entah apa maksud tatapannya itu.     “Kalian … kalian bukan pasangan kan? Lesbi gitu istilahnya,” tuduh Ibu Mbak Ayu asal, aku kembali terbatuk-batuk. Astaga! kami pasangan lesbi? Ya Tuhan lelucon apa ini.     “Ibu, Ayu dan Ghania ini sama-sama normal loh. Mana mungkin kami pasangan apalagi lesbi. Stop menonton drama turki ya Bu!” Aku mengangguk setuju, walau penampilanku layaknya laki-laki tapi bisa dipastikan aku normal 100 %. Aku memang membenci laki-laki tapi tidak menjadi alasan aku menyukai wanita. Ih amit-amit bisa-bisa Mommy menyuruhku kawin dengan banci kalau itu memang benar-benar terjadi.     “Oh Syukurlah, fiuhhhh.” Ibu Mbak Ayu mengurut dadanya saking lega mengetahui kami masih normal.     "Ibu sayang, Ayu belum mau menikah dan Ayu nggak suka Ibu selalu mencarikan jodoh terus menerus, Ayu mau menikah tapi bukan karena dijodohkan." Mbak Ayu menghela napas sambil memegang tangan Ibunya.     "Tapi usia kamu..." sebelum Ibu melanjutkan perkataannya, aku mendengar suara mobil dan gelak tawa dari luar. Aku yakin itu Bapak Mbak Ayu dan laki-laki yang akan dijodohkan dengan Mbak Ayu, aku jadi penasaran bagaimana bentuk dan rupa pilihan Ibu Mbak Ayu.     "Nanti kita bicara lagi," aku masih duduk di sofa sambil memakan cemilan yang disediakan Ibu Mbak Ayu.     "Assalammualaikum Ibu," sapanya dengan ramah, kok suaranya familiar ya. Aku berusaha mengintip tapi terhalang tubuh Mbak Ayu.     Aduh kok jadi kepo ya aku.     "Masuk nak Danu."     "Kamu pasti suka dengan dia," kata Ibu ke Mbak Ayu. Rasa penasaran membuatku berdiri di samping Mbak Ayu.     “Ciyeeee yang kepo pengen lihat calon suami,” godaku saat melihat Mbak Ayu membesarkan bola matanya untuk melihat laki-laki itu, Mbak Ayu membuang wajahnya ke arah berlawanan.     Aku melihat seorang laki-laki sedang sibuk membantu Bapak Mbak Ayu duduk di kursi roda, bahkan dia menggendong Bapak. Hal yang jarang aku lihat zaman seperti sekarang. Hmmm sepertinya laki-laki pilihan Ibu Mbak Ayu bukan type laki-laki seperti yang kami takutkan selama ini.     "Siapa dia Bu?" tanya Mbak Ayu yang masih belum jelas melihat wajahnya karena dia membelakangi kami. Rasa kaget langsung hinggap saat kami berdua melihat dengan jelas wajah laki-laki yang sedang berjalan mendekati kami, aku dan Mbak Ayu saling menatap dengan tatapan tak percaya.     Ya Tuhan! Aku mengucek-ucek bola mataku, untuk memastikan sekali lagi siapa laki-laki itu.       Dia ... Dia ... Ibu Mbak Ayu nggak salahkan!     "Hai Mbak Ayu, Mbak Ghania," sapanya dengan ramah seperti biasa, aku tertawa kecil dan memilih kembali masuk.     Mampus Mbak Ayu, ternyata laki-laki yang akan dijodohkan sama dia adalah laki-laki yang sangat dia benci di kantor, Danu salah satu karyawan bagian administrasi yang selalu membuat darah Mbak Ayu naik dengan keisengannya. Aku angkat tangan dan nggak mau ikut campur dalam masalah ini, lebih baik aku pergi dan menyusuri kota ini daripada mendengar amukan Mbak Ayu.     "Ayu perkenalkan dia Danu Atmadja," ujar Ibu Mbak Ayu memperkenalkan mereka.     "Ngapain lo disini, nggak kerja?" tanya Mbak Ayu dengan jutek, aku melambaikan tangan dan meninggalkan rumah Mbak Ayu yang tak berhenti memanggil dan meminta bantuanku, sorry Mbak Ayu bukannya aku nggak mau bantu tapi masalahnya laki-laki itu Danu.     “Ih amit-amit nikah sama orang yang kita benci, Mbak Ayu kayaknya kena karma deh,” ujarku mengingat karma mulai berlaku ke diri Mbak Ayu. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN