Bab 5 - Cari Jodoh

1478 Kata
Chikita Pov     Pernyataan emak mertua yang menyuruh gue memberikan izin yayang Dimas untuk kawin lagi kalau gue terbukti mandul sedikit membuat harga diri gue terganggu dan terluka, pokoknya gue harus bunting apapun caranya. Apapun! Termasuk menggarap yayang Dimas setiap hari. Yup sejak hari itu gue nggak berhenti-henti berusaha untuk bisa hamil, secapek apapun yayang Dimas pulang dari kantor pasti gue selalu minta dibuntingi.     "Kamu napsu-an amat beberapa minggu ini," ujar yayang Dimas di sela deru napas gue yang kayak kebo betina habis dibuntingin, gue melirik ke arahnya dan tersenyum m***m seakan hal yang baru saja kami lakukan tadi belum membuat gue puas.     Gue baru puas kalau dedek bayi sudah nongol di rahim tapi sampai tiga bulan pernikahan dedek bayi serasa enggan muncul di rahim gue. Entah apa yang salah, selama ini kami b******a sesuai dengan anjuran yang gue baca di artikel-artikel yang ada, meski beberapa kali yayang Dimas selalu mengeluarkan s****a-nya di luar, nggak tahu deh kenapa hal itu dia lakukan.     "Ya harus napsu-an dong yank, demi dedek bayi kita harus tanding sampai ngegolin berkali-kali, pokoknya bulan ini aku harus bunting eh hamil hihihi," gue memainkan jari di bagian dadanya, yah siapa tau yayang Dimas tergoda dan minta nambah lagie tapi harapan gue ternyata sia-sia yang ada yayang Dimas menghela napas berkali-kali seolah apa yang gue ucapkan tadi suatu beban baginya.     "Apa sebaiknya kita menunda punya anak dulu ya, kamu tahu sendiri kalau kita masih tinggal di rumah Mommy dan aku belum siap punya anak di saat karirku masih biasa-biasa saja, aku ingin memberikan kehidupan layak untuk anak-anak kita kelak," jawaban yayang Dimas berhasil memukul gue dengan telak dan gue langsung membisu.     Pokoknya reaksi gue saat ini seperti habis mergoki suami gituan sama p*****r, sakit nggak tuh bayanginnya. Sakit cuy  hiks jangan dibayangin cuy.     "Tapi ..." rasanya d**a gue sesak dan nggak habis pikir kenapa yayang Dimas enggan memiliki anak dari gue, dengan kesal gue memunggunginya dan mendiamkan untuk pertama kalinya semenjak kami menikah, entah kenapa gue merasa sedih banget akan penolakannya. Hiks Bunda anakmu sedih banget malam ini. ****     Setiap gue sedih tentang apapun pasti esoknya gue selalu ke kuburan Ayah, di sana gue bisa nangis, tertawa dan bercerita tentang apapun tanpa takut diledekin karena seorang Chikita yang berani ternyata bisa menitikkan air mata juga.     Curhat sama Bunda? Sama saja gue keluar kandang harimau masuk kandang serigala, yayang Dimas itu menantu kesayangan emak kandung dan gue nggak boleh ngeluh tentang yayang Dimas karena bagi emak kandung gue dinikahi laki-laki saja sudah hal paling beruntung di hidupnya, sadis nggak tuh. Punya emak mertua dan emak kandung nggak beda jauh, sama-sama sadis dan kejam.     "Yah, andai Ayah masih hidup pasti Chiki nggak akan sesedih ini," gue menghela napas lalu memegang nisan ayah, "tapi seperti yang Ayah ajarkan dulu kalau Chiki nggak boleh menyerah dan lemah, Chiki akan berjuang supaya bisa punya anak meski Dimas belum mau punya anak. Jangan pikir Chiki akan diam saja emak mertua menindas Chiki karena belum hamil," balas gue dengan berapi-api, cukup lama gue berkeluh kesah tentang kehidupan pernikahan gue di kuburan ayah dan tanpa terasa hari semakin siang dan gue harus pulang kalau tidak mau mendengar sindiran tajam emak mertua.     Sebelum pulang gue sengaja singgah ke rumah emak kandung, biasa setor muka sekalian jengukin emak kandung yang tinggal bersama Uncle Robby dan Aunty Nina, ituloh orang tua Bang Ke dan Natha.     Tok tok tok     "Assalammualaikum, Bunda … Uncle … Aunty," gue sengaja teriak agar emak kandung atau keluarga lainnya mendengar dan tahu kalau gue datang ke rumahnya dan beberapa menit kemudian pintu rumah terbuka. Gue melihat emak kandung sedang asyik menguyah sirih sampai mulutnya berwarna merah.     "Ngapain kamu kesini? Mantu Dimas mana?" tanya emak kandung sambil celingak celinguk mencari menantu kesayangannya, gue hanya bisa mendengus kesal melihat betapa acuhnya emak kandung setiap gue datang ke rumah, bukannya bertanya tentang kabar anaknya eh yang dicari malah Yayang Dimas.     Nasib … Nasib.     "Dimas kerjalah Bun, memangnya suami eyke pengangguran yang jam segini kelayapan," gue masuk meski belum dipersilakan emak kandung, gue langsung menuju meja makan dan membuka tudung nasi. Di atas meja tersedia beberapa lauk yang menggiurkan dan dengan cepat gue mengambil nasi di piring.     Saat akan menyendok lauk ke dalam piring dengan ujung kemoceng emak kandung memukul tangan gue, "Yailah Bun, akukan bukan kucing yang dipukul pake kemoceng segala," gerutu gue sambil mengelus tangan yang sakit akibat pukulan emak kandung.     "Siapa suruh kamu acak-acak makanan itu, itu buat mantu Dimas ... kalau dia datang dan lapar saat dia jemput kamu nanti?" balas emak kandung dengan wajah mirip emak mertua kalau sedang ngomel, sadis.     "Yailah Bun, yayang Dimas jemput aku nanti sore kok sedangkan sekarang masih siang, lapar Bun." Gue sengaja merengek sambil menggoyang-goyangkan tangan emak kandung tapi dasar pelit tetap saja gue nggak boleh makan.     "Lapar? Masak sendiri!" balas emak kandung dengan kejamnya, rasa lapar tadi langsung hilang dan dengan kesal gue makan saja nasi putih tanpa lauk, malang nian nasib gue. Di rumah emak mertua disiksa secara psikis dan di rumah emak kandung disiksa secara fisik. “Uncle, Aunty, Bang Ke dan Natha mana Bun, kok sepi amat rumah ini?” tanyaku masih dengan mulut penuh makanan, Bunda langsung memelototkan matanya yang besar, dan sumpah wajah emak kandung kok lama-lama mirip emak mertua ya, jangan-jangan mereka saudaraan.     Aih Chikiya fokus!     “Bang Ke Bang Ke … Kelvin, kalau Uncle kamu dengar bisa diusir kita dari sini, tahu sendiri Kelvin itu anak kesayangan Uncle kamu, Uncle dan Aunty lagi ke Singapore baru balik nanti sore, Kelvin lagi ke Yogja dan Natha mungkin lagi kuliah,” balas Bunda, gue hanya bisa nyengir mengingat Bang Ke menjadi anak kesayangan Uncle.       Yogya? Wah kebetulan banget nih Mbak Ghania juga sedang di Yogja. ****     Selesai makan gue memutuskan untuk tidur-tiduran di kamar yang sangat gue rindukan sambil menunggu yayang Dimas datang menjemput dan sialnya gue baru terbangun saat azan Ashar berkumandang dan gelak tawa Aunty Nina bersama Bunda, sepertinya mereka sudah pulang.     "Bun," gue sengaja duduk di samping emak kandung dan Aunty yang sibuk menonton serial Uttaran yang panjangnya ngalahin kredit mobil, wajah Bunda dan Aunty banjir airmata dan gue hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakukan dua emak-emak ini.     "Mantu Dimas sudah jalankan untuk jemput kamu?" tanya emak kandung, gue membalas dengan anggukan, "bagus deh, Bunda nggak mau kamu lama-lama main di sini nanti besan berpikiran lain," balasnya dengan kejam dengan mata masih tetap memandang ke arah TV, tapi dasar muka gue sudah tebal dengan sindiran dan makian dengan cepat gue langsung mengaitkan tangan gue ke tangan emak kandung dan Aunty.     "Bun ... Aunty… ternyata menikah itu nggak seenak seperti yang aku bayangkan selama ini," ujar gue dengan sedih, emak kandung dan Aunty langsung melihat gue dengan tatapan penuh tanda tanya.     "Kamu ada masalah dengan Mantu Dimas? Ingat Chikita... pokoknya Bunda nggak mau dengar...." Emak kandung langsung ngomel kayak kereta api bergantian dengan Aunty tentang bagaimana gue harus bersikap sebagai seorang istri dan menantu, panjang banget ceramahnya sepanjang tali kolor yayang Dimas.      Niat hati ingin berkeluh kesah tapi apa daya seperti yang tadi gue bilang emak kandung mungkin lebih memilih yayang Dimas sebagai anaknya di banding gue.     "Iya Bun."     "Chikita ngerti."     Hanya itu yang bisa gue balas setiap emak kandung mengingatkan gue disela ceramah panjangnya yang membuat telinga gatal dan yang semakin membuat telinga gue panas Aunty selalu memanasi Bunda dengan ikut menceramahi gue.     “By the way busway kamu punya kenalan wanita single nggak?” tanya Aunty, gue mengernyitkan kening bingung dengan pertanyaannya, jangan bilang Aunty ingin Uncle punya istri baru.     “Buat Uncle?” tanya gue dengan lugu, Aunty langsung menjitak kepala gue dengan jarinya.     “Awwwww sakitttt.” Rengek gue dengan manja, Aunty menghela napas dan memandang foto keluarga yang terpajang di dinding.     “Itu, buat abang kamu… lihat sendiri bagaimana hidupnya sekarang, sudah berumur tapi tak kunjung menikah. Aunty dan Uncle takut dia berbelok.”     “Belok ke mana mbak yu?” tanya Bunda dengan lugu.     “Ada sih, tapi apa Uncle dan Aunty mau dengan wanita yang aku kenal ini. Baik sih, terpelajar, mandiri dan sopan. Masih single dan aku bisa jamin dari keluarga baik-baik,” ujar gue, siapa tahu keluarga Uncle suka dengan pilihan gue ini. Andai jadi kan keluarga kami bisa semakin erat jalinan kekeluargaannya.     “Siapa siapa  cantik nggak?” tanya Aunty.     “Cantik sih … kalau dipoles.”     “Oke, siapa namanya dan di mana tinggalnya?” tanya Aunty semakin antusias, gue menghembuskan napas beberapa kali dan berharap gue nggak salah menyebutkan nama.     “Ghania, di rumah aku Nty. Dia kakaknya Yayang Dimas alias kakak ipar aku.” Aunty mengerutkan keningnya dan melihat ke arah Bunda, mungkin sedang bertanya apakah pilihan gue nggak salah.     “Oke, Aunty minta kamu atur pertemuan mereka,” ujar Aunty bagaikan titah, buset secepat ini? Aduh Chikita elo gali kuburan sendiri, bagaimana kalau emak mertua tau gue sedang berusaha menjodohkan anak perawannya dengan sepupu gue yang cantik itu.     “I…iya Nty.”     Gue pandang foto Bang Ke yang sendirian, meski cantik tapi kesan cowok dan maskulinnya masih ada dan menurut gue dia cocok kok dengan Mbak Ghania. Mbak Ghania itu nggak kalah cantik dibandingkan gue tapi ya itu selama ini dia menyembunyikan kecantikannya dengan dandanan tomboy.     Ah mumpung Mbak Ghania di Yogja sepertinya gue harus jadi mak comblang dan mempertemukan mereka. Gue meninggalkan ruang keluarga dan kembali masuk ke dalam kamar. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN