Bab 6 - Tawaran 8 Digit

1692 Kata
Ghania Pov     Beberapa kali ponselku berdering dan tentu saja nama Mbak Ayu muncul di layarnya, bukannya aku tidak setia kawan tapi untuk saat ini aku tidak bisa membantunya mengatasi keinginan keluarga besarnya tentang menikah dengan Danu.     Aku menatap candi Borobudur yang berdiri dengan gagah di depanku. Desainnya yang unik sedikit membuat pikiranku terbuka, jari jemari dengan lancar menulis kelanjutan novel baru yang sudah beberapa kali direvisi oleh Pak Raka.     Drttt drttt     Lagi-lagi aku mendengar ponsel berdering, sepertinya ponsel ini harus segera aku non aktifkan demi ketenangan dan kedamaianku, tapi niat itu langsung aku batalkan saat melihat nama Chikita di layar ponsel.     “Halo Mbak Ghania, lagi sibuk nggak.”     “Sedikit, ada apa Chiki? kamu berantem lagi dengan Mommy, sabar ya say. Anggap saja itu cobaan dalam rumah tangga kamu tapi Mbak yakin sebentar lagi pasti Mommy sayang sama kamu, oke.”     “Aduh Mbak, bukan masalah Mommy kok hehehe. Itu… anu… ishhhh kok aku rasanya nggak enak ya minta tolong, tapi aku mohon Mbak mau nolongin aku ya ya ya ya.”     “Hmmmm minta tolong apa? kamu mau gantungan bergambar candi Borobudur atau Bakpia atau…”     ““Hahahaha nggak Mbak, tenang saja aku minta tolong tapi nggak keluarin duit kok. Itu Mbak pasti tau kalau Bundaku tinggal bersama Uncle dan Aunty, nah Aunty Sara itu punya anak laki-laki yang gantengnya ngalahin Justin Bibir. Jadi gini Mbak…”     “Oke oke kamu ngomong kok belibet amat, to the point aja.”     “Oke, sorry. Jadi beberapa hari ini sepupu aku itu nggak bisa dihubungi keluarganya dan Aunty di rumah nangis mulu kayak kehilangan suami, aku kan sedih Mbak.”     “Terus hubungannya dengan Mbak apa?”     “Nah masalahnya sepupu aku itu sekarang lagi di Yogja juga, bisa nggak Mbak cek kondisinya. Apakah dia baik-baik saja atau sudah jadi salah satu batu di candi Borobudur hihihihi.”     “Kamu suruh Mbak cari orang di sini, ya elah Mbak nggak tau daerah say. Kalau nyasar terus diperkosa beberapa berandalan gimana? Ih nyeremin.”     “Ishhh ya nggak mungkinlah Mbak, aku yakin mata mereka siwer lihat cewek tapi kok tomboy hihihi”     “Ih rese kamu, apa untungnya kalau Mbak nuruti kemauan kamu?”     “Ih Mbak nggak mau rugi amat, oke kalau Mbak berhasil menemukan pangeran hilang itu. Aku bakal pijet Mbak seminggu penuh, puas!”     “Oke deal, jadi siapa nama sepupu kamu.”     “Bang Ke eh Bang Kelvin Utomo Jayadiningrat, usia 32 tahun, single, straigh, baik, ganteng, tajir mampus.”     Bang Ke? rasa-rasanya aku kok pernah dengar nama itu ya, tapi di mana dan kok kesannya Chikita sedang promosi sepupunya ya.     “Oke, tapi nggak janji ya. Mbak harus selesaikan novel baru Mbak dulu.”     “Siap Sister in Law”     Aku tertawa dan menyimpan kembali ponselku, aku mengernyitkan keningku sambil berusaha mengingat di mana rasanya aku pernah mendengar nama Bang Ke. Ishhhh kok otakku langsung mumet ya, ide cemerlang yang tadi timbul langsung hilang seketika.     “Chiki rese! Hilang semuakan!” Aku menutup laptop dan menyimpannya kembali dalam tas ransel, aku membuka Mbah Google dan mengetik nama yang disebut Chikita tadi.     Kelvin Utomo Jayadiningrat.     Dalam hitungan detik berbagai article tentang Kelvin Utomo Jayadiningrat keluar, mataku langsung melotot saat melihat isi sebuah article yang menampilkan fotonya. Ya ya ya akhirnya aku ingat, laki-laki rese di bandara beberapa hari yang lalu.     Pelukis muda yang menghasilkan beberapa karya terbaik menghilang sejak satu bulan yang lalu meninggalkan galeri yang menyimpan puluhan bahkan ratusan lukisan bernilai tinggi di Paris.     Wow ternyata Chikita punya sepupu terkenal juga dan tajir. Aku kembali membuka article lain tentang diri Kelvin Utomo Jayadiningrat.     Kelvin Utomo Jayadiningrat diragukan orientasi sexualnya sejak dipergoki jalan berdua dengan laki-laki tak dikenal.     Buset, gay? Tapi Chikita bilang sepupunya itu straigh dan itu berarti normal, dunia semakin kecil dan aku akui wajahnya rupawan meski bisa dibilang cantik tapi ya kasihan orangtuanya punya anak kok melenceng dari norma yang ditakdirkan Tuhan.     “Hmmm oke hentikan membaca article gosip Ghania, lebih baik sekarang aku mulai menyusuri kota ini untuk mencari pangeran keluarga Chikita sebelum anak itu merecoki liburanku dan lumayan di pijet satu1 minggu gratis,” aku meninggalkan kawasan candi untuk mulai mencari Bang Ke. ****     Hal pertama yang aku lakukan adalah menghubungi hotel-hotel ternama dan bertanya apakah ada nama Kelvin Utomo Jayadiningrat menginap di sana dan sialnya semua hotel sudah aku hubungi tapi nihil. Tidak ada nama Kelvin Utomo Jayadiningrat.     “Makasih ya Mbak,” aku menghela napas dan meletakkan gagang telepon hotel dengan putus asa, sepertinya pencarian pangeran lebih baik aku lanjutkan besok saja. Hari semakin larut dan mataku sudah tidak bisa dibawa kompromi. Aku membuka kemeja dan hanya memakai tank top berwarna putih.     Aku membuka kulkas dan mengambil sekaleng beer lalu aku membuka pintu menuju balkon dan menghirup udara malam yang rasanya menyegarkan dan menenangkan melihat pemandangan kota Yogja dari balkon kamar seeperti ini.     “Sendirian Mas?” aku menoleh ke kanan dan langsung shock melihat laki-laki yang menyapaku, laki-laki yang beberapa jam ini aku cari ke mana-mana dan ternyata dia tinggal di samping kamarku.     “Bang Ke!” sapaku dengan semangat, keningnya langsung berkerut dan wajah ramahnya langsung berubah kesal, aku mendekati balkonnya dan bersyukur ternyata tak butuh waktu lama akhirnya aku bisa menemukan pangeran hilang.     “Mas kenal saya?” tanyanya.     “Saya wanita, nggak usah panggil Mas Mas segala. Memangnya ada Mas Mas secantik saya?” pujiku dengan rasa percaya diri tinggi, dia kembali menoleh ke arahku dan melihat diriku dari atas sampai ke bawah dan entah kenapa matanya berhenti tepat ke arah payudaraku.     Astaga! Aku lupa sekarang hanya memakai tank top, aku langsung menyilangkan kedua tangan di dadaku untuk menutupi agar Bang Ke itu tidak menikmati surga dunia milikku.     “Nggak doyan saya Mbak, jadi nggak usah ditutupi,” ujarnya dengan ketus, what! Nggak doyan? Berarti berita tentang dia Gay itu benar adanya,  sayang sekali. Tak lama aku melihat ada laki-laki lain keluar menghampirinya lalu memberikan kimono handuk, laki-laki itu tersenyum kepadaku lalu kembali masuk ke dalam kamar.         Dugaanku benar dan semakin yakin kalau sepupu Chikita ini penganut paham lagibete. Aku pun melepaskan kedua tanganku dan yakin dia tidak akan tertarik dengan wanita sepertiku.     “Bang Ke … eh maksud saya Mas Kelvin diminta segera menghubungi keluarga di Jakarta, Chikita bilang Papi Mas kena serangan jantung,” kataku berbohong.     Ya ampun Ghania bisa-bisanya berbohong seekstrem itu tentang kondisi Papi-nya, kalau ketahuan bohong bisa-bisa Bang Ke dan Chikita ngamuk besar tapi anak seperti dia tidak akan peduli kondisi orangtuanya kalau tahu kondisinya baik-baik saja.     “Ah akhirnya saya ingat, kamu itu iparnya Chiki ya. Penulis abal-abal itu?”     Buset abal-abal! Seenaknya! Tiga buku yang aku hasilkan semua menjadi best seller dan sudah masuk cetakan 7, 10 dan 12.     “Penulis abal-abal yang menganggap pernikahan itu indah tanpa masalah, ah mungkin karena penulisnya belum pernah menikah ya?” ejeknya lagi, emosiku kian tersulut dan kaleng beer yang sudah kosong di tangan langsung aku lemparkan ke arahnya dan untungnya langsung mengenai jidatnya.     “Hei!” teriaknya sambil memegang keningnya yang memerah. Syukur! Siapa suruh rese dan menyebalkan.     Mampus loe! ejekku dalam hati sambil masuk dan mengacuhkan teriakannya, ishhhh menyebalkan! pokoknya tugasku sudah selesai dan mulai sekarang aku tidak akan pernah mau berurusan dengan gay itu lagi. ****     Tiga hari kemudian.     Ting tong ting tong.     Siallllll! baru akan memejamkan mata suara bel pintu mengganggu ketenanganku, aku melihat jam yang terletak di atas nakas dan mataku langsung melotot saat jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Dengan malas aku turun dari ranjang dan membuka pintu sambil mengacak rambut cepakku.     “Cari siapa malam-malam begini,” gerutuku dengan mata setengah terpejam.     “Kita harus bicara empat mata,” suaranya terdengar tidak asing, aku membuka mata dan melihat Bang Ke berdiri di depan pintu kamarku dengan wajah panik luar biasa, aku berniat menutup pintu ini kembali tapi dengan sigap Bang Ke menahan dengan kedua tangannya.     “Please,” pintanya dengan wajah penuh harap, entah kenapa aku langsung luluh dan membiarkan dia masuk, Bang Ke lalu masuk dan menutup pintu. Andai dia laki-laki normal pasti aku langsung ketakutan tapi untungnya dia Gay.     “Buat apa anda mengganggu saya malam-malam begini, sadar sudah jam berapa sekarang?” Tanyaku acuh sambil menunjuk jam di dinding, wajahnya sedikit panik dan aku tau pasti ini ada hubungan dengan Papi-nya, aku membuka kulkas dan mengeluarkan dua buah kaleng beer, satu aku lemparkan ke tangannya dan satu lagi untuk aku nikmati sendiri.     “Maaf, saya tidak minum alkohol dan seharusnya kamu juga tidak minum. Tidak baik wanita mengkonsumsi minuman seperti ini.” Dia merebut kaleng beer dari tanganku, kenapa dia jadi perhatian seperti ini.     Ah mungkin dia tidak mau ipar sepupunya terluka, lebih baik aku positive thinking saja.    “Jadi mau kamu apa?” tanyaku dengan formal sambil duduk di ranjang, Bang Ke mondar mandir seperti orang linglung. Aduh kenapa sih nggak bisa langsung to the point, laki-laki kok memble.     “Saya tidak tahu harus minta tolong sama siapa lagi dan setelah berkonsultasi dengan Chikita, kamu satu-satunya orang yang bisa nolongin saya,” jawabnya.     “Oh ya? Memangnya saya bisa bantu kamu apa?”     “Saya pikir kamu bohong masalah Papi yang kena serangan jantung, dan ternyata Papi benar-benar kena serangan jantung dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit,” ya ampun! Jangan bilang gara-gara ucapanku. Ampuni aku ya Allah, nggak lagi-lagi deh berbohong bawa-bawa kesehatan, “dan Mami bilang Papi nggak akan sembuh kalau saya tidak bawa istri saat pulang ke Jakarta,” sambungnya, aku langsung memelototkan mata dan terbatuk-batuk mendengar ucapannya.     “So what! Lalu hubungannya dengan saya apa?”     “Saya mau kamu membantu saya, maukah kamu pura-pura menjadi istri saya sampai Papi sembuh dan bisa menerima kalau saya belum mau berumah tangga. Tugas kamu hanya akting sampai Papi sehat dan setelah itu tugas kamu selesai,” ujarnya, aku tertawa sinis.       Dia kira gampang apa, bagaimana kalau Mommy tau bisa-bisa rambut sasaknya bertambah tinggi. Lagian Papinya kok aneh banget, memangnya bisa sembuh kalau anaknya punya istri, “kita nggak benaran nikah kok, hanya akting,” sambungnya sambil terus membujukku.     “Nggak ah, nggak ada untungnya. Bisa-bisa saya kena damprat pacar kamu,” tolakku sekaligus mengingatkan tentang laki-laki yang aku lihat di balkon beberapa hari yang lalu.     "Pacar? Maksud kamu Arjuna? Dia bukan pacar saya dan tolong digaris bawahi saya itu bukan gay, saya normal dan dia hanya asisten saya, jangan pernah berpikir yang aneh-aneh," ujarnya menjelaskan siapa laki-laki itu, aku hanya bisa mengangguk tanda mengerti meski keraguan masih ada.     "Lalu untungnya bagi saya apa?"     "Tentu semua ini tidak gratis. Saya akan bayar berapapun nominal yang akan kamu sebut. Enam digit? Tujuh digit?”     “Nggak sekalian 12 digit?” candaku sambil tertawa.     “Boleh, kalau kamu mau,” balasnya dengan wajah serius sambil mengeluarkan buku cek, aku langsung menggeleng dan memukul tangannya.     Aih orang bercanda dianggap serius.     “Serius? Hahahaha nggak usah 12 digit, saya hanya minta delapan digit,” ujarku sambil menunjukkan angka delapan dengan jari jemariku, dia langsung mengangguk dan menyerahkan selembar cek kepadaku, aku tertawa senang, “oke, hanya satu minggu dan setelah itu perjanjian kita selesai,” sambungku lagi.     “Tapi … ada syaratnya.”     “Syarat apa?”     “Kita harus make over penampilan kamu selama berakting jadi istri saya.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN