Natta tersenyum malu mendengar pertanyaan Wenny, dia menggaruk-garuk pipinya yang entah kenapa tiba-tiba terasa gatal. “Ya, tapi nggak sering. Mama dan papa kenal sama dia.” “Oh.” Wajah Wenny berubah murung. “Fiza juga sering ke mari, kita bertiga, ‘kan bersahabat sejak SMA, dan aku sahabatan dengan Fiza sejak SMP. Jadi wajar dong Alana beberapa kali ke sini.” “Ke kamar kamu?” Natta mengangguk. “Tapi nggak pernah berduaan, kalo ada Fiza baru kita bertiga di kamar. Aku tahu batasan, ‘kok.” “Oh.” Wenny cukup lega mendengar penjelasan Natta. Dia memahami keakraban Natta, Fiza dan Alana yang sudah terjalin sejak dulu. “Wen.” Natta meraih tangan Wenny dan mendekap di dadanya. “Boleh peluk?” tanyanya hati-hati. Wenny tidak segera menjawab, justru dia berpikir bahwa Natta adalah pria yang