Bab 06

1411 Kata
Mark membuka pintu kamar Giana dengan sangat pelan. Engsel pintu berderit halus, hampir tak terdengar, tapi cukup membuat jantung Mark berdegup lebih kencang. Cahaya lampu tidur remang-remang menyinari sebagian wajah Giana yang tertidur pulas di ranjangnya. Napas gadis itu teratur, sesekali tubuhnya bergerak kecil seolah mencari posisi yang lebih nyaman. Mark berdiri lama di ambang pintu. Matanya tajam, seperti elang yang mengincar mangsa. Ia menatap Giana dari kepala hingga kaki, memperhatikan setiap lekuk tubuh keponakannya yang kini sudah tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa. Rasa bersalah sempat menyelinap, tapi segera diusir oleh keinginan gelap yang menyesakkan d**a. Ia melangkah masuk, kakinya pelan sekali agar tak membangunkan gadis itu. Aroma lembut dari tubuh Giana bercampur dengan harum selimut yang hangat, menusuk ke dalam indra Mark, membuatnya semakin sulit mengendalikan diri. Ia duduk di tepi ranjang, tubuhnya miring menghadap gadis yang masih terlelap. Tatapannya menyusuri wajah polos Giana. Alisnya yang melengkung, hidung mungil, bibir yang sedikit terbuka seolah memanggil. Mark mendekat lebih jauh, merasakan betapa jarak mereka hanya sehelai rambut saja. Tangannya terangkat, hampir menyentuh pipi halus itu. Namun sebelum jari-jarinya benar-benar mengenai kulit Giana, ia menarik napas dalam-dalam. Mark menahan diri, meski tubuhnya berteriak ingin melanggar batas. Ia hanya duduk terpaku, menatap dengan penuh hasrat bercampur kegelisahan. Giana menggerakkan tubuhnya, berguling sedikit, membuat selimutnya bergeser turun dan memperlihatkan bahu mulusnya. Mark mendecakkan lidah pelan, seolah dunia sedang menguji kesabarannya. Di dalam kepalanya, Mark berperang dengan dirinya sendiri. Suara nurani kecil berbisik bahwa ini salah, bahwa ia tak boleh menginginkan gadis yang sejak kecil dipanggilnya keluarga. Tapi sisi gelap dalam dirinya justru mendorong lebih kuat, menyalakan api yang sulit dipadamkan. Ia berbisik pelan, suaranya nyaris seperti gumaman. "Kenapa kau begitu cantik, Giana... kau membuatku gila." Tangannya kembali bergerak, kali ini lebih berani. Ia menyusuri udara di atas tubuh gadis itu, seperti ingin menghafalkan bentuknya tanpa menyentuh. Mark menunduk, begitu dekat hingga ia bisa merasakan hangatnya napas Giana. Namun tiba-tiba, Giana mengerang kecil dalam tidurnya, seperti bermimpi. Matanya sedikit berkedut, seolah hendak terbangun. Mark segera menegakkan tubuhnya, menahan napas. Ia tak boleh ketahuan, tak boleh membuat gadis itu sadar akan niat busuknya malam ini. Jantungnya berdetak keras, keringat dingin menetes di pelipisnya. Dengan berat hati, ia berdiri, melangkah mundur ke arah pintu. Tapi sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi. Tatapan itu penuh obsesi, seakan memberi janji pada dirinya sendiri bahwa malam ini hanyalah permulaan. Mark menutup pintu perlahan, meninggalkan Giana yang masih terlelap, sama sekali tak menyadari bahaya yang hampir merenggut tidurnya. Malam itu, Mark sulit tidur di kamarnya sendiri. Bayangan tubuh Giana terus menghantui benaknya, membuatnya semakin yakin bahwa ia tak akan bisa melepaskan keinginannya, meski itu berarti melawan semua batas yang ada. Mark menatap ke bawah mengerang pelan karena kejantanannya yang sudah berdiri tegak membuat Mark harus menidurkan kembali miliknya ini dengan mandi malam. ** Giana terbangun dari tidurnya dengan enggan, tubuhnya terasa berat seolah semalam ia menanggung beban yang tidak bisa dilepaskan. Jam di dinding kamarnya berdetak pelan, menandakan waktu sudah melewati pukul delapan pagi. Udara sejuk dari pendingin ruangan bercampur dengan cahaya matahari yang mulai menyusup masuk melalui celah tirai putih yang tak tertutup rapat. Giana mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu menghela napas panjang. Rambutnya berantakan, wajahnya masih menyimpan bekas bantal, dan kelopak matanya sembab karena semalam ia tidur dengan hati kesal. Dengan malas ia bangkit dari ranjang, kedua kakinya menyentuh dinginnya lantai marmer yang seketika membuatnya bergidik kecil. Ia berjalan perlahan menuju balkon, menyeret langkah seperti orang yang dipaksa bangun sebelum waktunya. Tangannya membuka pintu kaca besar dengan gerakan berat, dan udara pagi yang segar langsung menyapu wajahnya. Giana menyipitkan mata, lalu menatap ke bawah, ke arah halaman belakang vila itu. Sial! Pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang sedang berenang di kolam. Mark. Dengan tubuh tegap, kulit yang terlihat makin berkilau basah oleh air, dan gerakan luwes saat menyibakkan air, ia terlihat begitu gagah dan memancing perhatian. Mark berenang seperti seorang atlet yang memang terbiasa dengan gaya hidup mewahnya—tenang, percaya diri, dan sedikit terlalu sadar akan tatapan siapa pun yang melihat. Mark mengangkat kepalanya, rambut basahnya menempel di dahi. Dan ketika matanya bertemu dengan Giana yang berdiri di balkon, sebuah senyum menggoda langsung terbit di wajahnya. Ia tidak hanya berhenti di situ, Mark bahkan mengangkat tangannya, memberi isyarat seolah mengundang Giana untuk turun dan ikut berenang bersamanya. Tatapannya seakan berkata, "Airnya segar sekali, apalagi kalau kita berdua yang masuk dan mungkin saling berpelukan." Giana menggeram pelan. Ia mendengus kesal, mencibir tanpa ragu, lalu dengan sengaja meludah ke arah samping balkon. “Tidak sudi!” desisnya dalam hati. Tidak peduli setampan apa Mark terlihat dari atas sana, Giana merasa lebih baik menutup mata daripada terjebak dalam rayuan murahan pria itu. Namun, Mark tetap menatap ke arahnya dengan senyum yang semakin lebar, seakan ia justru semakin tertantang dengan penolakan terang-terangan dari Giana. *** Giana sudah rapi dengan pakaian kuliahnya. Rambut panjangnya diikat ke belakang, wajahnya segar meski hanya dipoles bedak tipis dan lip balm. Tangannya menenteng tas berisi buku kuliah, bersiap keluar rumah. Saat menuruni tangga, matanya bertemu dengan Mark yang duduk santai di sofa ruang tamu dengan secangkir kopi di tangan. Tatapan lelaki itu tajam, penuh pengamatan, seakan menikmati setiap gerak-gerik Giana. Dalam hati Giana bergumam, lelaki ini sebenarnya pengangguran atau apa? Tiap hari ada saja di rumah, entah duduk di ruang tamu, nongkrong di balkon, atau hanya mondar-mandir tanpa arah. Sementara dirinya harus bergegas mengejar dosen di kampus, Mark tampak begitu santai seakan dunia ini tak pernah menuntutnya melakukan apa pun. Giana mendengus pelan, malas meladeni. Yang tidak diketahuinya, Mark bukanlah sembarang pria. Lelaki itu pemilik sebuah perusahaan besar, sukses, berpengaruh, dan diam-diam sedang menaruh perhatian lebih padanya. Mark hanya tersenyum samar saat melihat ekspresi wajah Giana. Ada semacam kepuasan tersendiri ketika melihat gadis itu mengernyit kecil, seolah meremehkan dirinya. Ia tahu Giana menilainya salah, tapi justru dari sanalah daya tarik itu semakin kuat. Ia ingin Giana mengenalnya, bukan sebagai lelaki misterius yang selalu ada di rumah itu, melainkan sebagai pria yang mampu mengguncang hidupnya. Giana hendak melangkah menuju pintu depan, tapi langkahnya terhenti ketika Mark tiba-tiba berdiri. Lelaki itu berjalan mendekat, gerakannya tenang namun penuh wibawa. “Kamu selalu terburu-buru untuk berangkat kuliah, ya,” ucapnya tenang. Giana menoleh cepat, sedikit terkejut. “Memang harus begitu kalau kuliah. Tidak seperti kamu yang bisa santai setiap hari.” Ucapan itu keluar spontan, nada ketus yang berusaha ditahan tapi gagal. Mark justru terkekeh kecil. Ia menatap Giana dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat gadis itu merasa risih. “Kalau aku bilang, aku bisa mengatur waktuku sesuka hati, apa kamu percaya?” tanyanya dengan nada menggoda. Giana mengangkat alis, lalu mendengus. “Terserah. Aku tidak mau tahu urusanmu. Yang jelas, aku tidak bisa seperti kamu. Aku harus berjuang dengan caraku sendiri.” Mark menatapnya lekat-lekat, seakan ingin menembus pikirannya. Dalam hati ia kagum, gadis itu punya jiwa mandiri yang kuat. Namun di sisi lain, rasa ingin memilikinya semakin menjadi-jadi. Ia ingin Giana tahu siapa dia sebenarnya. Ia ingin gadis itu melihat dunia yang ia kuasai, bukan hanya menilainya dari luarnya saja. Saat Giana hendak benar-benar keluar, Mark mendahuluinya dengan membuka pintu. Tangannya menahan daun pintu sambil bersandar santai. “Aku bisa antarkan kamu kalau mau,” katanya datar, namun nadanya mengandung arti lebih. Giana menoleh, memandang lelaki itu sebentar. Tawaran itu terasa aneh, tapi tatapan Mark begitu menekan seolah sulit ditolak. “Tidak usah, aku bisa sendiri,” jawab Giana cepat, lalu berjalan melewatinya. Mark tersenyum samar sambil menatap punggung gadis itu menjauh. Dalam hatinya ia berbisik, cepat atau lambat Giana akan tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Dan saat itu terjadi, tak akan ada jalan bagi Giana untuk lari dari pesonanya. Di kampus, Giana berusaha mengusir bayangan lelaki itu dari pikirannya. Namun entah mengapa, semakin ia menolak, wajah Mark justru semakin jelas dalam benaknya. Tatapan mata pria itu, senyum samar yang penuh misteri, seakan mengikuti setiap langkahnya. Mark di rumah hanya kembali duduk di balkon dengan rokok yang ia nyalakan. Tatapannya jauh, tapi senyum di bibirnya penuh rencana. Ia sudah menentukan target, dan Giana adalah gadis yang akan ia buat menyerah di bawah kukungannya dan tidak akan pernah menolak kehadiran dirinya. Dan akan menyebut namanya terus menerus dalam hatinya atau di bibir indah yang begitu tipis dan menggoda itu. Ahh... Mark sudah tidak sabar melihat bibir indah itu mengulum bagian bawah tubuhnya dan wajah Giana penuh dengan ... Hahahah! Dirinya memang sudah gila membayangkan hal itu semua. Dan kegilaannya ingin terlihat nyata dengan menyobek pakaian Giana dan menghentak kasar miliknya masuk ke dalam lubang surgawi milik gadis tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN