Bab 07

1075 Kata
Mark berdiri di samping mobil Ferrari hitam metalik keluaran terbaru miliknya yang berkilau di bawah terik matahari. Kendaraan mewah itu seperti magnet di tengah parkiran kampus, menarik mata siapa pun yang lewat. Mark memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana panjang hitamnya, tubuh tegapnya santai bersandar pada mobil. Bibirnya bersiul ringan, nada-nada pendek keluar setiap kali sekelompok mahasiswi lewat di depannya. Sesekali ia mengangkat dagu, memberi tatapan tajam penuh percaya diri, bahkan melontarkan senyum menggoda yang sukses membuat beberapa gadis kikuk dan tersipu. Beberapa mahasiswi melambatkan langkah, bahkan ada yang pura-pura menata rambutnya ketika lewat, berharap mendapat perhatian lebih dari pria berwibawa itu. Mark hanya terkekeh kecil, menikmati setiap reaksi yang muncul. Baginya, ini permainan ringan, cara sederhana untuk mengisi waktu sebelum rencananya yang lebih besar berjalan. Namun dari kejauhan, sepasang mata tajam mengawasi setiap gerak-gerik Mark dengan penuh kejengkelan. Giana. Gadis itu baru saja keluar dari gedung kuliah, langkahnya terhenti begitu melihat sosok pamannya berdiri dengan gaya seperti raja jalanan. Wajahnya langsung mengeras, alisnya bertaut. Ia menghela napas panjang, lalu mendengkus kasar. “Untuk apa lagi lelaki tua itu kemari?” geramnya dalam hati, menatap ke arah Mark yang seolah-olah ingin memamerkan diri di hadapan seluruh kampus. Jantung Giana berdegup tak karuan, bukan karena terpesona, melainkan karena rasa malu bercampur marah. Bagaimana jika teman-temannya tahu pria itu tinggal di rumahnya? Bagaimana jika ada yang bertanya-tanya hubungan apa yang sebenarnya mereka punya? Tidak, itu sama sekali tidak boleh terjadi. Mark, yang seakan memiliki radar khusus untuk mendeteksi kehadiran Giana, menoleh ke arah gedung dan langsung menemukan tatapan kesal gadis itu. Senyum lebar mengembang di wajahnya. Ia mengangkat tangan, melambaikan jari-jari dengan santai, seolah menyapa seseorang yang spesial. Giana membelalak, buru-buru berpaling ke arah lain, berusaha mengabaikan. Tapi langkahnya justru semakin cepat, ingin segera kabur sebelum Mark sempat menghampirinya. Namun, Mark tidak tinggal diam. Ia mendorong tubuhnya menjauh dari mobil, lalu berjalan tegap ke arah Giana. Setiap langkahnya penuh keyakinan, membuat orang-orang yang melihat langsung memberi jalan. Suasana di sekitar seakan berubah, seolah kehadiran pria itu membawa aura berbeda. “Giana,” suara Mark berat dan dalam ketika akhirnya ia berdiri tepat di hadapan gadis itu. Giana berhenti dengan terpaksa. Matanya melotot kecil, wajahnya tegang. “Kenapa kau ada di sini? Kau kira ini tempat mainmu?” Mark menyunggingkan senyum dingin. “Aku hanya ingin memastikan keponakanku pulang kuliah dengan selamat. Apa itu salah?” Nada suaranya terdengar lembut, tapi penuh sindiran. Giana mendengus keras. “Aku bisa sendiri tanpa harus dijemput. Kau bahkan tidak pantas ada di sini.” Beberapa mahasiswa yang lewat mulai berbisik-bisik, memperhatikan interaksi keduanya. Mark semakin menikmati keadaan itu. Ia mendekat sedikit, menunduk agar jarak wajah mereka semakin dekat. “Kalau aku tidak pantas, kenapa matamu tadi tidak bisa lepas dari diriku sejak aku berdiri di sana?” bisiknya rendah. Giana langsung menegang, wajahnya memerah bukan karena malu, melainkan karena emosi. Ia ingin berteriak, tapi tidak ingin menarik perhatian lebih banyak lagi. Akhirnya ia hanya menatap tajam, lalu melangkah melewatinya dengan cepat. Mark hanya berdiri, menatap punggung Giana menjauh sambil tersenyum puas. Ferrari hitam metaliknya tetap berkilau di belakangnya, menjadi simbol kekuasaan yang sengaja ia perlihatkan. *** Mark melangkah santai, namun penuh perhitungan, mengikuti ke mana pun Giana pergi. Dari luar, ia memang tampak seperti lelaki pengangguran yang tidak punya pekerjaan, hanya menghabiskan waktu dengan aktivitas aneh: membuntuti seorang gadis muda. Tapi di balik penampilan santainya itu, Mark sebenarnya sedang bermain dengan waktu dan kesabarannya sendiri. Baginya, menjadikan Giana pusat perhatiannya adalah hobi baru yang jauh lebih menantang daripada rapat-rapat bisnis yang setiap hari ia pimpin di perusahaan. Hari itu, Giana tidak pulang langsung setelah kuliah. Ia keluar kampus bersama dua temannya, Mila dan Rani. Mereka bertiga tampak begitu bersemangat, cekikikan sambil membicarakan sesuatu. Dari kejauhan, Mark bisa membaca gerak tubuh Giana yang tampak setengah malas menanggapi obrolan teman-temannya, tapi tetap mengikuti. Ia memarkir Ferrari hitam metaliknya tak jauh dari mobil kampus, lalu berjalan dengan jarak cukup aman agar tidak mencolok. Tujuan mereka adalah sebuah pusat perbelanjaan besar di tengah kota. Mall yang selalu ramai dengan hiruk pikuk anak muda, butik-butik ternama, dan etalase yang memamerkan mode terbaru. Mark masuk ke dalam, mengikuti mereka, selalu menjaga jarak. Namun matanya tidak pernah lepas dari sosok Giana. Ketika Giana dan kedua temannya akhirnya berhenti di sebuah butik lingerie mewah, Mark sempat mengangkat alis. Senyum tipis melintas di wajahnya. Ia menyandarkan tubuh di dinding kaca seberang butik, seolah-olah hanya pria bosan yang menunggu seseorang. Tapi sebenarnya, setiap gerakan Giana di dalam sana ditangkap oleh matanya dengan detail. Mila menarik Giana ke rak penuh bra renda berwarna pastel. Rani sibuk mengangkat set lingerie sutra berwarna merah marun yang tampak berani. Giana menolak dengan wajah setengah kesal, tapi teman-temannya tertawa dan mendorongnya ke ruang ganti sambil menjejalkan beberapa pilihan. Mark yang memperhatikan dari luar, mulai membayangkan sesuatu. Imajinasi liar melintas di kepalanya: Giana yang berdiri di depan cermin, memakai lingerie tipis itu, wajahnya yang malu-malu tapi menawan. Mark menghela napas berat, seolah sedang menahan diri. Ia menyentuh dagunya, tersenyum sinis. “Apa jadinya kalau gadis keras kepala itu benar-benar berdiri di depanku dengan pakaian seperti itu?” pikirnya. Sensasi aneh menjalar di dadanya, membuat obsesi yang ia sembunyikan semakin sulit dibendung. Beberapa pengunjung mall sempat memperhatikan Mark. Bagaimana tidak? Seorang pria dewasa dengan postur gagah, berpakaian kasual mahal, berdiri dengan ekspresi begitu intens mengawasi butik lingerie. Namun Mark sama sekali tidak peduli. Dunia di sekitarnya seakan menghilang. Yang ada hanya Giana. Tak lama kemudian, Giana keluar dari ruang ganti dengan wajah kesal, memelototi Mila dan Rani yang langsung tertawa terbahak. Mereka jelas menggoda sahabatnya itu. Giana membawa kantong belanjaan besar, tanda ia akhirnya membeli beberapa potong lingerie meski dengan berat hati. Mark menatap kantong itu lama, membayangkan kain tipis di dalamnya. Hatinya berdegup, pikirannya semakin liar. Ia membuntuti mereka lagi ketika ketiganya keluar butik dan berjalan menuju eskalator. Dari arah samping, Mark sempat berpapasan sebentar dengan Giana. Gadis itu tidak menyadari kehadirannya, terlalu sibuk bercakap dengan temannya. Mark tersenyum puas. Ia menikmati permainan ini. Bagi Giana, ia mungkin terlihat seperti bayangan tak berguna yang selalu ada di rumah, tapi sesungguhnya, Mark sedang merancang perlahan cara agar gadis itu tak bisa melepaskan diri darinya. Langkah Mark tenang, menyatu dengan keramaian mall, sementara pikirannya terus terfokus pada satu hal: cepat atau lambat, Giana akan sadar bahwa ia tidak sekadar paman pengangguran yang menyebalkan. Ia adalah pria yang bisa mengambil apa pun yang ia inginkan. Termasuk dirinya. Dan menjadikan Giana miliknya dan gadis itu mendesahkan namanya suatu hari nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN