Bab 08

1049 Kata
Giana menunduk, fokus pada makanannya, mencoba mengabaikan tatapan-tatapan asing yang membuat punggungnya terasa kaku. Sendok di tangannya bergerak perlahan, menyuapkan potongan kecil ke mulut, tapi rasanya hambar. Sejak tadi ia sudah merasa ada sesuatu yang mengawasinya, dan kini instingnya semakin kuat. Saat menoleh sekilas ke arah lain, matanya menangkap sosok itu. Mark. Duduk beberapa meja di belakang, berusaha tampak seperti pengunjung biasa, tapi sorot matanya jelas hanya tertuju pada Giana. Seulas decakan kesal lolos dari bibirnya. Bagaimana bisa lelaki itu selalu muncul di tempat yang sama? Mark tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai seringai penuh kemenangan. Ia tahu Giana melihatnya, ia sengaja tidak mengalihkan pandangan. Justru, ia menegakkan tubuh, merapikan jas yang melekat di pundaknya, lalu bangkit perlahan dengan gerakan yang tenang namun penuh kepercayaan diri. Giana menunduk cepat-cepat, pura-pura kembali menikmati makanannya. Tapi jantungnya berdebar kencang, seolah bisa terdengar jelas oleh kedua temannya. Sendoknya gemetar sedikit saat menyentuh piring. Ia berdoa agar Mark tidak melakukan sesuatu yang memalukan di depan orang lain. Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Giana bisa merasakannya tanpa harus menoleh. Aroma parfum maskulin yang khas kini menyeruak, semakin dekat, hingga akhirnya berhenti tepat di samping mejanya. Dua temannya spontan menoleh, lalu terbelalak. Lelaki tinggi dengan penampilan rapi, wajah tampan, dan senyum menawan itu kini berdiri di hadapan mereka. Mark mengucapkan salam singkat dengan nada hangat, lalu tanpa izin lebih jauh, menarik kursi kosong di sebelah Giana dan duduk begitu saja. Seketika, ruangan terasa sempit bagi Giana. Ia menahan napas, menatap piring di depannya, tidak berani menoleh. Tapi ia tahu betul, tatapan Mark kini sepenuhnya menancap ke arahnya, tajam, intens, seakan menelanjangi pikirannya. “Pesanannya sudah cukup? Kalau belum, tambah saja. Aku yang traktir,” suara Mark terdengar jelas, berat tapi santai. Dua temannya terperangah, saling berpandangan, lalu tertawa kecil dengan nada penuh kekaguman. Mereka langsung tergoda oleh tawaran itu, seolah lupa pada ekspresi dingin Giana yang semakin memerah karena menahan amarah. Namun, Mark justru makin nyaman. Satu sikunya bertumpu di meja, sementara jemari tangannya mengetuk perlahan, membuat irama yang seakan hanya ia dan Giana yang bisa mengerti. Senyumannya semakin melebar setiap kali melihat gadis itu berusaha keras untuk tidak menoleh padanya. Kali ini Giana tahu, makanannya tidak akan pernah terasa sama lagi. *** Suara langkah sepatu Giana terdengar cepat dan penuh amarah, mengikuti Mark yang dengan santai menuruni eskalator menuju basement mall. Gadis itu menggenggam tasnya erat-erat, wajahnya memerah menahan emosi. Sementara Mark, seolah tidak merasa bersalah sama sekali, justru memasang senyum tipis di sudut bibirnya. Begitu Mark membuka pintu mobil Ferrarinya dan masuk, Giana langsung menghentakkan kakinya, lalu menyusul masuk dengan keras. Pintu mobil dibanting, membuat bunyi keras menggema di ruangan parkir. “Dasar gila!” Giana menatapnya tajam. “Kenapa sih harus sampai ikut aku ke mall? Kamu tuh nggak punya kerjaan lain selain nempel kayak cicak busuk, ya? Aku bener-bener muak!” Mark mengangkat alis, menyalakan mobil tanpa terburu-buru. Suara mesin mengaum halus. Ia melirik sekilas ke arah Giana yang wajahnya penuh amarah. “Kerjaanku? Banyak. Tapi hari ini aku mau kerjaan khusus—ngikutin kamu yang cantik ini.” “Apaan sih?!” Giana hampir berteriak. “Itu kerjaan orang aneh namanya! Kamu sadar nggak, kalau orang lain lihat tadi, pasti mereka mikir aku jalan sama sugar daddy tua nggak jelas!” Mark tertawa kecil, suaranya rendah dan terdengar menyinggung. “Sugar daddy? Kamu pikir aku tua? Lihat badan ini, Giana. Aku lebih fit daripada kebanyakan cowok seumuran kamu.” Giana mendengus keras, melipat tangan di d**a. “Aku nggak peduli mau kamu punya badan kayak aktor Hollywood atau mau pamerin mobil mahal tiap hari. Intinya, aku nggak suka kamu terus nguntit aku. Itu ganggu! Aku bisa laporin kamu ke Mama kalau kamu keterlaluan.” Mark mendekat sedikit, membuat Giana langsung mundur ke sandaran kursi. Tatapan matanya menajam, senyumannya licik. “Mama kamu? Dia justru senang aku di rumah. Dia yang minta aku tinggal bareng, inget? Jadi, kamu pikir siapa yang bakal dia percaya? Aku… atau kamu?” Mata Giana membelalak, wajahnya memerah semakin parah. “Jangan bawa-bawa Mama! Aku bisa bilang apa aja biar Mama sadar kamu cuma numpang hidup!” Mark menyeringai lebar. “Numpang hidup? Hm… sepertinya kamu belum tahu siapa aku sebenarnya.” “Ya, jelas nggak tahu! Karena kamu nggak pernah keluar rumah kecuali buat ganggu aku. Aku kira kamu pengangguran yang doyan ngabisin waktu ngelamun di balkon sambil merokok.” Mark menyalakan lampu dalam mobil, membuat wajahnya terlihat jelas dalam bayangan remang basement. “Pengangguran? Hm, menarik. Aku pemilik salah satu perusahaan terbesar di Jakarta. Ferrari ini cuma mainan kecil. Tapi aku suka kamu menganggap aku pengangguran. Lucu aja.” Giana terdiam sejenak, menatapnya dengan mata melebar. Namun ia segera mendengkus. “Bohong. Kamu pikir aku gampang percaya? Kalau benar kamu sukses, apa gunanya nempel sama aku terus kayak orang nggak punya kerjaan?!” Mark mencondongkan tubuh lebih dekat, membuat napasnya terasa di wajah Giana. “Gunanya? Karena aku suka liat wajah kamu marah-marah gini. Cantik, tahu nggak?” Giana spontan menahan napas, lalu mendorong d**a Mark dengan kasar. “Jangan dekat-dekat! Kamu itu menjijikkan! Kalau kamu pikir aku bakal seneng digoda kayak gini, salah besar!” Mark tidak mundur. Ia justru tertawa pelan, lalu bersandar kembali ke kursinya dengan santai, memutar stir. “Aku nggak peduli kamu seneng atau nggak. Yang jelas, aku bakal selalu ada di dekat kamu, Giana. Mau kamu benci, mau kamu marah, makin aku suka.” “Gila!” Giana membuka pintu mobil dengan kasar, hendak keluar. Namun Mark cepat-cepat menarik tangannya. “Duduk,” ucapnya pelan, tapi penuh wibawa. “Lepasin!” Giana berusaha menyentak, tapi genggaman tangan Mark begitu kuat. Mark menatap lurus ke matanya. “Aku antar kamu pulang. Jangan coba-coba kabur di basement kayak gini. Bahaya.” “Bahaya karena ada kamu!” Giana membalas dengan nada tajam. Mark tersenyum tipis, akhirnya melepas genggamannya, tapi tetap menyalakan mobil. “Mungkin benar. Tapi bukankah lebih baik kamu ada di mobilku, daripada sendirian?” Giana menoleh ke jendela, menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Ia merasa terkepung, seakan tak ada jalan keluar dari pria yang kini jelas-jelas bukan sekadar ‘paman’ biasa itu. Namun Mark, dengan senyumnya yang licik, melajukan Ferrari hitam itu pelan menuju pintu keluar basement, seolah kemenangan kecil hari itu sudah ada di tangannya dan kemenangan yang lain pasti berada di tangannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN