Chapter 5

1511 Kata
“Sayang~” Seorang wanita bertubuh molek langsung menghampiri Azka lalu memeluk pria itu dengan erat. Azka membalas pelukan wanita tersebut tak kalah eratnya. “Aku merindukanmu,” bisik wanita itu. “Aku juga,” balas Azka lalu mengecup pundak terbuka wanita tersebut. Rebecca Hall merupakan seorang wanita berusia 28 tahun sekaligus pemilik beberapa club yang telah tersebar di beberapa kota besar Indonesia. Rebecca adalah kekasih yang selama ini Azka sembunyikan. Hubungan mereka berawal sejak 4 tahun lalu ketika Azka pertama kali menginjakkan kaki di club milik Rebecca. Awalnya, mereka berdua hanya saling menegur sapa. Hingga lama-kelamaan, perasaan keduanya berkembang dan berakhir dengan menjalin kasih sampai sekarang. Tak ada siapa pun yang mengetahui hubungan mereka berdua, selain kedua sahabat pria itu. Sebenarnya, Azka sendiri tidak berniat menyembunyikan hubungan mereka. Akan tetapi, pria itu harus melakukan hal tersebut demi perjodohan yang telah diatur oleh keluarganya dan keluarga Navaya. Rebecca sendiri juga telah mengetahui perihal perjodohan tersebut. Dan dirinya tidak mempermasalahkan masalah tersebut. Selama ia bisa bersama dengan Azka, Rebecca tak masalah jika harus menjadi simpanan pria itu. Terlebih, Azka telah berjanji bahwa pria itu tidak akan pernah menyentuh siapa pun yang akan menjadi istrinya nanti. Karena itu, Azka memilih Navaya yang pada dasarnya memang pendiam dan lebih mudah untuk diatur. Satu-satunya alasan kenapa pria itu lebih memilih Navaya di dibanding Chessy yang cerewet, terkesan liar, dan sulit diatur. Jika Azka menikah dengan Chessy, sudah bisa dipastikan kalau hubungannya bersama Rebecca bisa terancam ketahuan. Oleh sebab itu, pilihan terbaik jika Azka menikah dengan Navaya. Saat ini, mereka berdua tengah berada di sofa. Kepala Rebecca bersandar di dadaa Azka. Sementara sebelah lengan pria itu merangkul pundak sang kekasih. Mengelus pundak wanita itu dengan penuh kelembutan. Sesekali, Azka mengecup puncak kepala Rebecca untuk menyalurkan perasaannya. Membuat hati wanita itu menghangat. “Bagaimana pertemuan kalian tadi?” tanya Rebecca lembut dengan tangan yang membelai dadaa Azka. “Begitulah,” ucap Azka kemudian menghela napas panjang. “Kenapa begitu? Kelak, wanita itu akan menjadi istrimu. Kamu harus memperlakukannya dengan baik,” tutur Rebecca. Sontak, Azka mengerutkan kening dengan ucapan wanita itu. Ia lantas menunduk menatap wajah Rebecca. “Memang kamu tidak cemburu kalau aku memperlakukannya dengan baik?” tanya Azka. Rebecca mengulas senyum kemudian mendongak menatap manik pria itu. “Tidak.” “Kenapa? Kamu tidak takut kalau nanti aku akan jatuh cinta padanya?” tanya Azka yang kali ini menerima pukulan kecil di dadaanya. “Aku hanya menyuruhmu memperlakukannya dengan baik, bukan mencintainya,” tukas Rebecca. “Bagaimanapun, di mata semua orang nanti, wanita itu akan berstatus sebagai istrimu. Jadi, kamu harus memperlakukannya dengan baik untuk menjaga harga dirinya dan juga nama baikmu sebagai suami. Memang kamu mau dicap sebagai suami yang buruk?” “Tapi, bagaimana kalau aku benar-benar mencintainya?” tanya Azka. Rebecca cemberut sembari menjauh dari pria itu. “Memang kamu bisa mencintai wanita lain selain aku?” “Tidak,” jawab Azka yang membuat Rebecca mengulas senyum. “Masalah selesai,” ucap wanita itu kemudian kembali memeluk pria itu. Azka terkekeh kemudian mengacak rambut sang kekasih dengan gemas. “Azka,” gumam Rebecca memberi jeda. “Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah memberikan hatiku padamu. Sejak awal pun aku sudah mengatakan kalau tidak masalah jika hubungan kita harus berjalan seperti ini. Aku yang memilih jalan ini dan aku akan terus menjalaninya selama kamu berada di sampingku.” “Kamu boleh menikah dengan wanita itu. Aku tidak peduli. Aku yakin kalau satu-satunya wanita yang ada di hatimu hanya aku. Sekuat apa pun wanita itu menggodamu, kamu pasti tidak akan tergoda olehnya. Karena, hatimu telah tergoda lebih dulu olehku.” “Tenang saja. Wanita itu tidak akan pernah menggodaku,” ucap Azka. “Bagaimana kamu bisa tahu?” tanya Rebecca sembari menengadah menatap pria itu. “Wanita yang kunikahi hanya gadis polos berusia 22 tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikannya. Jadi, kamu bisa te- Akh!” Azka menoleh pada Rebecca yang memukul dadaanya cukup keras. “Kenapa memukulku?” “Jahat. Kenapa kamu memilih gadis sepertinya untuk menikah denganmu?” protes Rebecca. “Kalau bukan dia, kita tidak akan bisa mempertahankan hubungan kita,” ucap Azka. “Jika aku memilih yang satunya, bisa-bisa hubungan kita berakhir di hari pertama pernikahan kami. Dia wanita liar yang sulit diatur. Dia pasti akan sangat merepotkan.” “Jika seperti itu, bukankah memilih gadis berusia 22 tahun lebih baik?” “Tetap saja. Bisa saja dia memiliki masa depan yang lebih baik dari menikah denganmu. Tapi, kamu malah merusaknya,” tukas Rebecca iba. “Kenapa aku yang merusaknya? Dia bersedia ikut dalam perjodohan ini. Itu artinya, dia sudah siap untuk menikah. Jadi, aku sama sekali tidak merusak siapa pun,” elak Azka. “Kamu bisa saja memilih wanita yang satunya,” ucap Rebecca. “Sudah kubilang kalau dia itu wanita liar dan sulit diatur. Bagi hubungan kita, dia adalah sebuah ancaman. Dan aku tidak akan membiarkan wanita itu melakukannya,” tukas Azka. “Itu belum pasti terjadi. Kenapa kamu selalu takut pada hal-hal yang belum tentu terjadi?” tanya Rebecca. “Kamu belum bertemu dengannya, jadi bisa bicara seperti itu. Jika kamu bertemu dengannya secara langsung, kamu pasti bisa memahami pilihanku. Percayalah, aku melakukan ini demi kamu. Demi hubungan kita,” tutur Azka. “Tapi,-” “Sudahlah. Tidak perlu membahas gadis itu lagi. Semuanya juga sudah terlanjur terjadi,” putus Azka kemudian menarik Rebecca kembali ke dalam dekapannya. “Aku masih merasa sayang pada gadis itu,” lirih Rebecca. “Kenapa kamu masih membahas gadis itu?” tanya Azka jengah. “Aku tidak bisa melupakannya,” ucap Rebecca. “Apa tidak bisa kamu mengganti pilihanmu?” tanyanya penuh harap. “Jadi, kamu lebih memilih hubungan kita terancam dari pada masa depan gadis itu berakhir di tanganku?” tanya Azka balik. “Bukan begitu. Aku hanya- Kyaaa~” Tanpa aba-aba, tubuh Rebecca langsung melayang yang membuat wanita itu menjerit. “Dari pada menggunakan bibirmu untuk menyebut gadis itu, bagaimana kalau kamu menggunakannya untuk mendesahkan namaku?” bisik Azka penuh arti. Rebecca terkekeh. Ia lalu melingkarkan kedua tangannya di leher Azka dengan tatapan dan senyum menggoda. “Dengan senang hati.” Setelahnya, Azka langsung membawa Rebecca masuk ke dalam kamar. ------- “Kak, berhentilah. Kau sudah mabuk,” bujuk Devan pada sang Kakak yang masih meneguk minuman alkoholnya. Sudah hampir 1 jam mereka di club tersebut dan Chessy telah menghabiskan beberapa botol minuman dengan kadar alkohol yang lumayan tinggi. Wanita itu ingin melampiaskan semua rasa marahnya ke dalam minuman tersebut. Chessy masih belum bisa menerima kenyataan kalau bukan dirinya yang Azka pilih. “Hentikan,” pinta Devan seraya menahan tangan Chessy saat wanita itu hendak meneguk minumannya untuk kesekian kali. “Lepaskan,” ucap Chessy lemah sembari menepis tangan Devan darinya lalu meneguk minumannya. Sementara Devan yang melihat hanya bisa menghela napas berat. “Azka ... Azka ...,” lirih Chessy telah sepenuhnya mabuk. Devan memutar bola matanya ketika ia kembali mendengar nama itu untuk kesekian kalinya. “Sudahlah. Lupakan saja pria itu. Memang apa yang bagus darinya sampai membuatmu seperti ini?” Chessy membisu. Wanita itu hanya menatap gelas yang berada di genggamannya. Sampai tak lama kemudian, Chessy mengulas senyum. “Dia pria yang sangat tampan. Suaranya yang berat begitu menggoda. Terlebih saat aroma parfumnya yang begitu memikat. Aku menyukai semua yang ada pada Azka. Sangat suka,” gumam Chessy melantur. “Sejak aku diberitahu tentang perjodohan ini, aku telah membayangkan pernikahan bahagia kami. Saat itu, aku sangat yakin kalau Azka akan memilihku. Dia akan menikahiku. Dia tidak akan mengecewakanku.” Dalam sekejap, senyum Chessy luntur. Mata wanita itu berubah tajam. Tangannya mencengkeram gelas yang ia genggam dengan erat. “Tapi, gadis sialann itu menghancurkannya! Dia merebut Azka dariku!” PRANG! Devan membulatkan mata ketika Chessy memecahkan gelas tersebut dalam genggamannya. “Kak! Kau baik-baik saja?!” seru Devan panik kemudian bergegas membersihkan tangan Chessy dari pecahan kaca gelas yang membuat telapak tangannya mulai mengeluarkan darah segar. Sementara itu, Chessy sama sekali tak peduli pada lukanya dan membiarkan Devan membersihkannya. Yang ada di kepala wanita itu sekarang adalah Navaya. “Eh! Jangan mengepalkan tanganmu! Lukamu bisa semakin parah!” decak Devan sembari mencoba membuka tangan Chessy yang tiba-tiba mengepal. “Ini semua gara-gara gadis sialann itu! Aku pasti akan membalasnya! Pasti!” tukas Chessy penuh dendam. “Iya, kau boleh membalasnya. Kau boleh membalasnya sampai hatimu tenang. Tapi, buka dulu tanganmu. Kalau tidak, tanganmu akan-” Bruk! Chessy menjatuhkan kepalanya di atas meja. Wanita itu akhirnya jatuh pingsan akibat mabuk berat yang melanda. Membuat Devan yang melihat menghela napas panjang. Antara lega dan frustrasi. Merasa lega, karena Chessy akhirnya berhenti minum dan berhenti mengepalkan tangan. Tapi, ia juga merasa frustrasi melihat sang Kakak seperti ini. Namun, yang penting saat ini adalah membersihkan tangan Chessy dari pecahan kaca gelas yang menusuk tangan wanita itu. Serta, darah darah yang semakin mengalir keluar. Dalam melakukan aksinya, Devan dibantu oleh seorang bartender yang memberikan kotak P3K. Sesekali, pria remaja itu melihat Chessy yang tengah tertidur lelap. Pikirannya pun melayang pada Navaya yang menyebabkan sang Kakak seperti ini. Kini, hatinya pun mulai memupuk dendam pada Kakak keduanya itu. ------- Love you guys~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN