Chapter 6

1184 Kata
Alunan musik yang mengalun, terdengar sangat merdu di telinga para pengunjung cafe siang ini. Suara derap langkah beberapa pelayan yang berlalu-lalang ikut memenuhi gendang telinga. Dan salah satu pendengar alunan musik dan deru langkah para pelayan tersebut adalah Navaya. Gadis berusia 22 tahun itu tengah duduk termenung di tempatnya. Minuman yang telah datang sejak 5 menit lalu masih belum ia sentuh setetes pun. Saat ini, kepala Navaya dipenuhi tentang pernikahannya bersama Azka. Lebih tepatnya, pernikahan bisnis yang akan mereka lakukan. Setelah mengetahui fakta itu semalam, Navaya seolah kehilangan kepercayaan dirinya sendiri. Andai saja ia bisa membatalkan pernikahan tersebut, sekecil apa pun kemungkinan keberhasilannya, Navaya pasti akan melakukan itu. Hanya saja, ia tahu kalau membatalkan pernikahan ini tidak akan bisa dilakukan. Pernikahan mereka diikat oleh janji dari dua keluarga yang harus dijalankan. Jadi, mau tak mau, Navaya harus menjalaninya. Tak ada pilihan lain. Padahal, Navaya tidak menyangka kalau dirinya-lah yang akan Azka pilih. Ia tak tahu apa yang pria itu inginkan dengan memilih dirinya. Harusnya Azka memilih Chessy, bukan dirinya. Navaya pikir, setelah perjodohan tersebut berlalu, maka ia akan bebas. Navaya pikir, setelah Chessy menikah bersama Azka, mungkin saja ia bisa memperbaiki hubungannya bersama sang Kakak. Akan tetapi, semua itu hanya sebatas angan-angan Navaya yang tidak akan pernah bisa terealisasikan. Nyatanya, ia yang harus menikah dengan Azka dan hubungannya bersama Chessy semakin retak. Tidak ada satu pun dari keinginannya yang mampu terlaksana. Semuanya justru semakin runyam. Navaya menunduk. Menatap kedua tangannya yang saling meremas di atas pangkuannya. Navaya kembali merasakan dadaanya teras sesak mengingat bahwa ia hanya dijadikan alat untuk harta keluarga. “Yaya?” tegur Zoya yang membuyarkan lamunan Navaya. Gadis itu mengulas senyum, melihat sang sahabat duduk di hadapannya. “Apa yang kau pikirkan?” “Tidak ada,” jawab Navaya. “Tidak ada apanya? Wajahmu jelas-jelas menunjukkannya,” dengus Zoya. “Aku tahu apa yang terjadi semalam. Kau tidak memutuskan sambungan teleponmu saat Nenek Sihir itu datang. Jadi, tidak usah pura-pura baik-baik saja di hadapanku.” Senyum Navaya memudar berganti senyum tipis. Matanya menatap sendu minumannya yang telah mencair sejak tadi. Sebenarnya, Navaya tidak berniat untuk keluar rumah setelah apa yang terjadi semalam. Namun, Zoya bersikeras mengajaknya bertemu sampai ia tak bisa menolaknya. “Apa kau sudah melihat wajahmu sendiri?” tanya Zoya yang membuat Navaya menatapnya bingung. “Kau tampak sangat kacau dengan perban di kening dan luka di sudut bibir juga pipimu. Harusnya kita bertemu di tempat lain yang lebih sepi saja. Kenapa kau memilih tempat ramai seperti ini?” omelnya. “Tidak apa-apa. Lagi pula, tidak akan ada yang memperhatikan wajahku,” ucap Navaya mengulas senyum. Zoya mendengus seraya memutar bola mata malas. “Inilah yang membuatmu sangat mudah ditindas di rumah itu. Kau selalu menanam mindset bodoh itu di kepalamu. Sekali-sekali kau harus berpikir terbuka dan melawan. Jangan mau diinjak terus seperti rumput liar yang tidak ada artinya. Apa lagi, sebentar lagi kau akan menikah. Kau ingin seperti ini terus?” omel Zoya. “Dari mana kau tahu kalau aku yang akan menikah dengan pria itu?” tanya Navaya. “Kau lupa? Aku sudah mendengar semua perdebatanmu dengan si Nenek Sihir dan kedua orang tuamu. Tanpa dijelaskan pun, aku sudah bisa menangkap intinya. Pria itu telah memilihmu dari pada si Nenek Sihir itu,” jelas Zoya. “Dia pantas mendapatkan itu setelah semua yang dia lakukan padamu. Aku benar-benar salut dengan pria itu karena sangat pandai menilai wanita.” Navaya membisu hingga membuat Zoya bingung. “Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini,” gumam Navaya. “Aku tahu.” “Aku tidak pernah berharap untuk dipilih.” “Aku tahu.” “Aku hanya ingin hidup tenang dan bebas.” “Aku tahu.” “Tapi, kenapa aku tidak bisa melakukan apa yang kuinginkan?” Zoya membisu. Tatapannya teduh menatap Navaya. Sebagai orang yang telah berteman dengan Navaya selama bertahun-tahun, ini adalah pertama kalinya Zoya melihat sang sahabat seperti kehilangan semangat hidupnya. Sebesar apa pun hinaan yang Navaya terima dari Chessy dan Devan. Sebesar apa pun orang-orang menggunjingnya. Navaya tidak pernah terlihat seperti ini. Gadis itu selalu ceria seolah tak terjadi apa-apa. Namun, sekarang Navaya terlihat sangat lemah. Membuat Zoya semakin prihatin dengan sahabatnya itu. Andai ia bisa menggantikan Navaya melalui ini semua, ia pasti akan langsung melakukannya tanpa berpikir 2 kali. “Yaya,” gumam Zoya. “Aku tahu kalau kau tidak menginginkan semua ini. Tapi, bukankah ini merupakan sebuah pertanda?” Navaya menengadahkan kepala menatap sang sahabat. “Selama ini, kau telah melalui banyak penderitaan karena Nenek Sihir dan Parasit itu. Di setiap langkahmu selalu diiringi dengan hinaan mereka berdua. Dengan adanya pernikahan ini, menandakan bahwa sudah saatnya kau terlepas dari mereka. Sebentar lagi, kau akan keluar dari rumah itu dan menjalani kehidupan barumu bersama pria itu,” tutur Zoya. “Aku tahu kau atau pun pria itu masih belum merasakan apa-apa. Tapi, bukankah cinta ada karena biasa? Setelah pernikahan kalian berjalan, rasa cinta itu pasti akan timbul seiring berjalannya waktu.” “Aku mengerti kalau kehidupan bebas dan tenang yang kau maksud bukanlah yang seperti ini. Namun, Tuhan tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya. Tuhan memilih jalan keluar ini untukmu, karena Tuhan tahu kalau kau mampu menjalaninya. Tuhan ingin kau terus berjuang di sisa hidupmu. Jadi, berhentilah bersikap pesimis dan jalani hidupmu sesuai rencana yang telah Tuhan atur untukmu.” Setelahnya, mereka berdua pun membisu. Lebih tepatnya, Zoya tengah menunggu respons yang akan Navaya keluarkan setelah mendengar penuturan panjangnya. “Ke Gereja mana kau pergi akhir-akhir ini?” tanya Navaya. “Ck! Aku serius,” decak Zoya yang membuat Navaya terkekeh. “Kau sudah menangkap semua yang kukatakan tadi, kan? Aku tidak mau lagi melihatmu sedih berkepanjangan.” Navaya mengangguk sebagai jawaban. “Apa tanggal pernikahan kalian sudah ditentukan?” tanya Zoya. “Sudah,” jawab Navaya. “Cepat sekali!” seru Zoya. “Jangan-jangan, mereka sudah menentukan tanggal pernikahannya sejak dulu.” “Iya,” ucap Navaya yang membuat Zoya membulatkan mata. “Serius?” tanya Zoya yang diangguki oleh Navaya. “Aku tahu pernikahan kalian berasal dari perjodohan dari Kakek kalian. Tapi, aku tidak menyangka kalau mereka bahkan sudah menetapkan tanggalnya jauh sebelum pria itu memilih di antara kau dan si Nenek Sihir.” “Aku juga baru tahu semalam,” ucap Navaya. “Jadi, kapan kau akan menikah?” tanya Zoya. “Aku tidak sabar ingin melihatmu menikah.” “Ini hanya pernikahan bisnis. Apa yang bisa dilihat?” sindir Navaya pada dirinya sendiri. “Meskipun hanya pernikahan bisnis, tapi kau tetap akan menghabiskan seluruh hidupmu bersama pria itu. Kau hanya perlu membuang sisi negatif-nya dan mengambil sisi positif-nya saja,” tutur Zoya. “Aku ingin melihat sahabatku ini berjalan di altar dalam balutan gaun putih yang sangat indah. Aku ingin menyaksikan pernikahan sekali seumur hidupmu. Aku ingin menjadi saksi dari awal kehidupan barumu.” Navaya mengulas senyum mendengar ucapan sang sahabat. Begitu pula dengan Zoya yang ikut tersenyum. Perkataan itu mengalir tulus dari hatinya. Ia benar-benar ingin melihat Navaya bisa hidup dengan bahagia bersama pendamping hidup gadis itu. Meninggalkan luka di masa lalu begitu menyayat hati. “Jadi, kapan kalian akan menikah?” “Awal bulan depan.” ------- Love you guys~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN