4

967 Kata
Matahari mulai meredup di ufuk barat, bayangan matahari pun seolah mulai. menurun dan menghilangkan jejaknya di belakang gedung-gedung yang tinggi. Alunan musik akustik yang indah terdengar sangat mengagumkan di telinga. Sayup-sayup terdengar seorang vokalis pun menyanyikan lagu dengan suaranya yang merdu. Terdengar derap langkah suara sepatu seseorang yang bergesekan dengan lantai kafe itu hingga menimbulkan suara yang jelas. Laki laki itu tampak tergesa-gesa dan nafasnya pun tersengal sengal seperti habis berlari di kejar anjing. Sepatu Fantopel berwarna putih dengan ujung sepatu yang lancip tampak sang mengkilap dan bersih, mungkin wajah kita bisa berkaca disana. Celana bahan berwarna hitam pekat tampak sedikit ketat di bagian paha dan menjuntai cutbray dengan layar yang sangat lebar. Kemeja berwarna pink polos dengan saku didepan tampak sapu tangan berwarna putih menyembul setengah ke luar saku kemeja tersebut. Kemeja itu di masukkan rapi ke dalam celana hingga gesper yang melilit pinggangnya pun terlihat, ada yang aneh, gesper itu berbentuk love walaupun berwarna hitam. "Ssttt... Harum itu Akbar, lihat ke belakang, sepertinya dia mencari meja kita." ucap Dyah pelan sambil mengetuk mejanya dengan pelan. Harum pun menengok ke arah pintu masuk kafe dan menutup bukunya dan diletakkan di samping Kopi Green Teanya. Harum melihat waktu di pergelangan tangannya, masih jam lima kurang seperempat berarti lelaki itu on time, mungkin ini syarat pertama yang lolos review. Jangan salah masih ada beberapa syarat lagi untuk bisa mendekati Harum. "What ... Dee ... kamu kenal dimana orang seperti itu. Astaghfirullah ... Aku sudah ilfil lihatnya." ucap Harum yang sudah melihat calon temannya itu. Dyah pun terkejut menatap laki laki yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan foto profil yang ada di akun sosial medianya. "Maaf Harum, kemarin terlihat ganteng lho. Sumpah??!!" ucap Dyah pelan membela diri. "Kamu sudah pernah bertemu Dee?" tanya Harum pelan. Dengan cepat Dyah pun menggelengkan kepalanya dengan jujur. "Belum Harum, aku hanya mengenalnya lewat akun sosial media saja." ucap Dyah pelan dan tampak cengengesan. "Oh My God ... Dee !!!!" teriak Harum kesal menatap tajam ke arah sahabatnya. "Selamat Sore, aku tidak terlambat ya. Tepat jam lima sore di Kafe Akustik, boleh aku duduk disini. Kalian Dyah dan Harum kan?? Aku Akbar, tepatnya Akbar Tanjung." ucap Akbar dengan percaya diri. Harum dan Dyah pun saling bertatapan menahan tawanya, tapi hanya melempar senyum satu sama lain. Bagaimana tidak, tingkat percaya dirinya sangat tinggi, ditambah gaya berpakaian yang seperti itu, dengan kumis panjang melintir bertengger di bawah hidungnya, serasa ingin mencabutnya. "Silahkan duduk Akbar. Aku Dyah dan ini temanku Harum. Mau pesan apa? Biar aku pesankan?" ucap Dyah pelan, tatapannya sangat aneh saat memandang rambut Akbar yang sedikit krebo. "Hallo Dyah. Hai Harum, Kamu cantik sekali, aku mau jadi pacar kamu." ucap Akbar dengan senyum lebar dengan menampilkan giginya yang rapi, tapi ada cabe hijau yang masih menyelip di antara giginya. Harum hanya melotot mendengar ucapan Akbar dan menghela nafas yang panjang hingga suara hembusannya pun tampak kasar dan jelas terdengar. "Kamu bekerja dimana Akbar???" tanya Dyah memecah keheningan. Dyah sangat paham sahabatnya ini sudah sangat ilfil, dan sudah tentu akan ditolak mentah mentah karena tidak sesuai selera. "Aku hanya buruh lepas di PT INDOMARCO. Hari ini aku off demi pertemuan ini." ucap Akbar polos. Harum mengetuk mejanya dan menggeser bukunya lalu menyeruput Kopi Green Teanya agar lebih rileks menghadapi sosok mahkluk ajaib di sampingnya ini. Pesanan Dyah pun datang untuk Akbar. Secangkir Kopi Arabica alami tanpa campuran apapun. "Silahkan diminum." ucap Dyah pelan. Akbar pun mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan Kafe Akustik seperti takjub dan heran. Kedua matanya menatap lurus ke atas dinding bertuliskan Kopi Favorit, Kopi Arabica, Kopi Robusta, Capuccino, lengkap dengan harganya yang menjulang tinggi. Satu cangkir kopi di banderol harga yang berkali kali lipat dibandingkan dengan kopi yang diseduh di Angkringan kaki lima. "Seratus Ka" Akbar mengeja nominal di papan yang terpampang di dinding. Itu artinya seratus ribu rupiah. Akbar pun menggelengkan kepalanya, laku menatap Harum dengan tatapan bingung. "Satu cangkir kopi ini sangat mahal sekali. Kamu sering nongkrong disini?" tanya Akbar kemudian ke arah Harum dan Dyah secara bergantian. "Ini Kafe Favorit Harum." jawab Dyah dengan tersenyum dan mata berbinar-binar. Dyah bisa membaca situasi jika lelaki ini akan mundur Alon Alon, melihat gaya hidup Harum yang mewah. "Lalu roti bakar itu harganya berapa?" tanya Akbar lagi penasaran. Dyah pun memberikan buku menu untuk di bcaa Akbar. Disana jelas harganya di atas 100k. Untuk roti bakar isi coklat keju dengan toping kacang mete, dibanderol harga 75k. Akbar hanya geleng-geleng kepala, dan merogoh dompetnya yang mulai lusuh dan membuka dompet itu didepan kedua wanita itu. Hanya ada dua lembar berwarna merah disana, lalu diambil dan diletakkan di atas meja. "Ini untuk membayar Kopi yang aku minum." ucapnya dengan raut wajah memelas. Baru saja tadi berbicara dengan mantap dan tegas,tiba tiba saja Akbar pun melemah dan lesu. "Simpan saja uangmu, anggap kamu yang mentraktir kali ini." ucap Dyah pelan dan mengedipkan satu matanya banyak ke arah Harum. Harum sudah tidak respect, jadi lebih memilih diam dan membaca bukunya kembali. Akbar pun mengerti dengan maksud Dyah. Lalu memasukkan kembali uang tersebut ke dalam dompetnya. "Kopinya aku habiskan. Terimakasih sudah berkenalan, tapi mungkin lain waktu kita bertemu lagi." ucap Akbar menghabiskan kopinya badan berpamitan untuk pergi. "Gila lu Dee ... masa aku kamu umpanin sama yang begituan. Kalau nyari gebetan itu yang benar, di seleksi dulu sebelum di ajak ketemuan." ucap Harum dengan galak. "Sorry Rum ... aku pikir tidak se-Culun itu." jawab Dyah terkekeh mengingat tampang Akbar yang memang lucu. Apalagi saat memperkenalkan diri dengan nama Akbar Tanjung, sungguh ironis sekali perbedaannya. Mereka berdua pun terasa lepas, seperti telah selesai menonton drama komedi. Hari ini hilang sudah kesempatan untuk memiliki jodoh. Jodoh yang di idamkan secuil kuku pun tidak ada yang di miliki oleh Akbar. Dengan berat hati, Harum harus tegas membatasi dirinya dengan orang orang yang di anggapnya tidak penting atau kurang penting.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN