Lembur, part 1

1059 Kata
“Maaf Pak, saya nggak bisa lembur,” kata Dion kepada atasannya. “Terus siapa yang harus bantu aku ngerjain laporan proyek ini?” teriak Baskara ke semua anak buahnya yang sedang meeting saat ini. Anak buah Baskara menundukkan kepala dan tak berani bersuara. Mereka sudah hapal tabiat atasan mereka yang satu ini. Baskara memang terkenal sebagai workaholic. Yang ada dalam kepalanya hanya kerja, kerja, kerja. Mungkin kalau bisa, Baskara tak mau pulang ke rumah dan tetap tinggal di kantor saja. Setengah jam kemudian, satu persatu, anak buah Baskara pulang meninggalkan kantor dan Baskara seorang diri. “Bos sih nggak punya anak istri, nggak punya teman, nggak ada social life. Aku heran sama hidupnya si Bos itu, bisa gitu bener,” cibir salah satu anak buah Baskara kepada rekannya saat mereka berjalan ke arah parkiran mobil kantor mereka. “Nggak tahu juga sih. Denger-denger Bos dulu punya kekasih, terus sudah bertunangan dengan kekasihnya, tak tahunya, Bos ditinggal kabur sama cowok lain. Alasannya si cowok itu lebih kaya dari si Bos. Mungkin Bos dendam, karena itu yang ada di pikirannya cuma kerja dan uang,” jawab rekannya. “Tragis juga ya nasib si Bos. Ceweknya matre, dibawa kabur sama toke, sekarang dia sendiri hidup kek gini,” komentar rekan yang lain. ===== Baskara masih duduk di ruangan meetingnya tadi. Dia asyik mengerjakan laporan proyek dengan laptopnya tanpa perduli keadaan di sekitarnya. Mungkin dugaan anak buahnya tak sepenuhnya salah. Baskara dulu tak seperti ini. Dia berubah sejak kejadian dengan tunangannya waktu itu. Maklum, bukan terlahir dari keluarga kaya, Baskara sudah merasa bersyukur bisa lulus kuliah negeri dengan kerja kerasnya sendiri. Sang kekasih, yang dulu menemaninya semasa kuliah dengan sabar dan penuh perhatian, berubah semenjak mereka berdua sudah masuk ke dunia nyata setelah lulus kuliah. Dia mulai sering mengeluh soal gadget-nya yang ketinggalan jaman dibandingkan rekan sekantornya, soal merk make up teman-temannya, bahkan soal dimana mereka berdua harus menghabiskan malam minggunya. Baskara berusaha keras untuk memenuhi segala keinginan sang kekasih yang mulai makin naik sesuai tingkat pergaulannya. Tak ada lagi makan di warung tenda kaki lima di pinggir jalan, beralih ke resto kelas menengah dengan harga makanan yang gila-gilaan. Tapi, Baskara hanyalah seorang karyawan, fresh graduate yang masih minim pengalaman, seberapa banyak sih gaji yang dia terima dari perusahaan? Pertengkaran demi pertengkaran pun mulai terjadi. Semua karena hal-hal sepele yang tak jauh ujung-ujungnya dari kata gengsi. Hingga akhirnya semua berujung tragedi. Kekasih Baskara lari. Baskara patah hati. Dia sempat down dan sakit hati. Tapi semua itu tak lama dia jalani. Kata-kata Ibunya yang selalu menyemangati kembali membuatnya bangkit lagi. “Le, ngucap syukur. Kamu sudah diselamatkan oleh Gusti Allah dari seorang istri seperti itu sebelum terlambat, Le. Coba kalau dia kecewa sama kamu terus lari setelah kalian benar-benar menikah dan punya anak? Kamu bisa apa?” Ya? Buat apa terus-terusan sakit hati. Mending, move on dan fokus ke pekerjaan. Itu lebih baik buat masa depanku nanti. Baskara pun mulai berubah. Perlahan tapi pasti, dia bangkit dari keterpurukan. Berangsur-angsur menjadi karyawan teladan. Dia karyawan kesayangan yang diberi kepercayaan penuh oleh sang pemilik perusahaan. Dan disinilah dia sekarang, kondisi ekonominya sudah berubah. Tapi dia sudah terlanjur hidup dengan cara seperti ini, bekerja, bekerja, bekerja. Dia lupa apa itu asmara. “Ehm…” “Eh?” Baskara kaget, di depan pintu ruangannya, berdiri seorang laki-laki keturunan. Dia sudah berumur, tapi senyumnya sumringah saat melihat Baskara. “Kupikir siapa tadi masih ada di ruang meeting,” kata Pak Tjandra, bohong tentu saja, dia sudah tahu kalau lah ada karyawan yang belum pulang hingga selarut ini, hanya ada satu orangnya. “Ini sudah mau pulang Pak, tinggal dikit lagi,” jawab Baskara. Tak lama kemudian, hanya suara klik dari mouse dan ketikan di keyboard yang terdengar di ruangan ini. Pak Tjandra sudah menghilang beberapa menit lalu. “Kelar juga. Lumayan, semoga dengan ini, kita bisa meyakinkan Client untuk award Project Ekspansi berikutnya,” gumam Baskara kepada dirinya sendiri, sambil merebahkan badannya ke kursi dan memejamkan matanya. “Bagus… Kalau nanti deal proyek ekspansi dari mereka, aku kasih mobil satu.” Baskara kaget dan terperanjat bangkit. Pak Tjandra tersenyum di sebelahnya sambil melihat ke arah layar laptop Baskara yang masih menyala. Pak Tjandra memegang dua buah gelas yang mengeluarkan uap panas pekat. “Ni, Kopi,” kata Pak Tjandra sambil menyodorkan kopi di tangannya. Baskara agak sungkan menerimanya. Tapi dia tak bisa membiarkan tangan itu teracung ke arahnya selamanya. “Makasih Pak,” jawab Baskara sambil menerima gelas itu dari tangan Pak Tjandra. “Kamu merokok kan? Matikan AC-nya lalu buka jendela,” kata Pak Tjandra sambil menunjuk ke arah jendela. Baskara seperti kerbau yang dicocok hidungnya dan menuruti saja kata-kata bosnya. Pak Tjandra sudah tidak memperhatikan lagi Baskara, tapi meraih laptop Baskara dan membaca proposal yang baru saja selesai dikerjakan anak buahnya itu. Beberapa kali dia terlihat mengangguk-angguk dan mengrenyitkan dahi, tapi sejauh ini, proposal itu masih oke di mata Pak Tjandra. “Ngerokok aja kalau mau ngerokok,” kata Pak Tjandra ke arah Baskara tanpa melihat. Baskara pun menganggukkan kepalanya dan menyalakan rokoknya. Memang paling enak kalau ngopi sambil ngerokok. “Yang ini salah, Bas,” kata Pak Tjandra sambil menunjuk ke layar laptop di depannya. Baskara mendekat dan melihat ke arah halaman yang ditunjuk oleh Pak Tjandra dan memukul jidatnya sendiri, “Iya Pak. Harusnya kita kurangi dulu dengan biaya transportnya. Sini Pak, biar sekalian saya betulkan,” kata jawab Baskara. Mereka berdua lalu sibuk berdiskusi dan melakukan penyempurnaan di sana-sini. Tak terasa, waktu makin beranjak larut dan jam dinding menunjukkan waktu setengah satu malam. Handphone Pak Tjandra berbunyi dan dia melihat pesan WA yang baru saja diterimanya. Dia menghela napas panjang dan melihat ke arah Baskara yang masih serius dengan laporannya. “Bas…” panggil Pak Tjandra. “Iya Pak,” jawab Baskara “Sudah cukup, waktunya pulang,” kata Pak Tjandra. “Tapi ini kurang sedikit lagi Pak,” protes Baskara. “Anak is…” kata-kata Pak Tjandra terhenti. Dia baru teringat jika Baskara tak punya anak atau istri. Pak Tjandra menghela napas panjang lagi lalu duduk menyandarkan dirinya ke kursi. “Bas, menurutmu aku ini termasuk orang sukses atau tidak?” tanya Pak Tjandra tiba-tiba. Baskara yang mendengar pertanyaan aneh dari bosnya menghentikan kesibukannya dan menoleh ke samping. “Bapak punya perusahaan sebesar ini dengan karyawan puluhan orang. Bapak tentu saja orang yang sukses,” kata Baskara yakin. Pak Tjandra tersenyum kecut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN