Pak Tjandra tersenyum kecut.
“Bas, kamu tahu nggak kenapa aku mempromosikanmu untuk posisi Manager hari itu?” tanya Pak Tjandra.
Baskara tak mau menebak alasannya dan hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
“Aku melihat sosok diriku ada padamu,” jawab Pak Tjandra.
“Nasib dan jalan hidup kita mirip.”
“Aku terlahir dari keluarga miskin. Apalagi di lingkungan kami, ekonomi menjadi tolok ukur utama untuk semuanya. Jangankan pacar, mereka bahkan melarang anak-anak mereka untuk sekedar berkawan denganku.”
“Aku masih ingat, dulu ketika kecil, mereka selalu menutup pintu rumah mereka saat aku datang untuk bermain. Aku seorang diri dan semua itu karena aku miskin.”
“Aku bertekad akan mengubah kondisi keluarga kami. Aku bekerja keras tanpa kenal lelah. Aku fokus. Pikiranku hanya satu, aku tak mau mereka merendahkan keluargaku lagi. Dan akhirnya, aku punya ini semua,” cerita Pak Tjandra.
“Ketika aku seumuranmu, aku sama sepertimu. Gila kerja, menghabiskan waktu untuk menghasilkan uang, merasa puas dengan setiap keberhasilan dalam usaha dan pekerjaan.”
“Di saat aku butuh menyalurkan hasratku, aku jajan ke pelacuran. Aku berpikir kalau semua itu toh hanya kebutuhan biologis layaknya makan. Kapan aku butuh, aku pergi dan mengeluarkan uang. Sederhana.”
“Waktu berjalan. Perusahaanku ini makin berkembang. Keluargaku juga tentu saja merasakan juga hasil jerih payahku. Aku puas. Kini keluargaku tak lagi dianggap pecundang yang memalukan.”
“Tapi, umurku terus bertambah. Satu persatu, keluargaku meninggal dan tiada.”
“Hingga suatu hari, aku berpikir. Keluargaku yang kuanggap berharga sudah lebih dulu meninggalkanku. Saat aku mati nanti, semua yang dengan susah payah aku cari ini, siapa yang akan menikmati?”
“Disitulah aku tersadar. Aku butuh keluargaku sendiri. Semua orang butuh keluarga. Mereka butuh keturunan yang akan meneruskan perjuangan orang tua mereka. Mereka butuh anak-anak yang akan mewarisi jerih payah leluhur mereka.”
“Aku memutuskan untuk berkeluarga di usiaku yang hampir mendekati 50 tahun.”
“Dengan uang yang kumiliki, mudah bagiku memilih istri yang terbaik dari keluarga yang terbaik. Aku menikah, dan dikaruniai seorang putri yang jelita. Saat melihat putriku lahir, aku tahu. Semua ini, semua jerih payahku ini, semuanya untuk dia.”
“Aku menyesal. Kenapa tidak dari dulu aku menikah supaya bisa menghabiskan waktuku lebih lama dengan putriku.”
“Pikirkan baik-baik. Jangan ulangi kesalahan yang pernah aku lakukan,” kata Pak Tjandra mengakhiri ceritanya.
Baskara terdiam dan terlihat berpikir dalam. Dia paham apa yang dikatakan oleh bosnya barusan. Dia sendiri juga sudah memikirkan hal itu sebelum ini. Tapi selama ini, dia selalu menepisnya dan tak menghiraukannya.
“Oke… Oke… Pertimbangkan saranku, kamu masih punya cukup waktu,” kata Pak Tjandra sambil tersenyum, “Sekarang pulang.”
Baskara tak lagi membantah dan mulai mengemasi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan keluar dari ruang meeting menuju ke parkiran mobil.
“Btw, kau sering jajan kan?” tanya Pak Tjandra sambil terkekeh.
“Kan Bapak sendiri yang bilang. Itu hanya kebutuhan biologis, sama seperti makan,” jawab Baskara sambil tersenyum kecut.
“Aku kan tidak melarang, Bas. Mumpung masih muda. Masih strong,” kata Pak Tjandra sambil memperagakan dengan tangannya yang mengepal dan diayun dari bawah ke atas tepat di depan perut.
Baskara otomatis tertawa melihat tingkah bosnya barusan. Tak lama kemudian, mereka berdua sudah sampai di parkiran.
“Jangan lupa besok pagi,” kata Pak Tjandra sambil menu ke mobilnya.
“Siap Pak,” jawab Baskara sambil berdiri di tempatnya.
Setelah Pak Tjandra meninggalkan perusahaan dengan mobilnya, Baskara baru menuju ke arah mobilnya sendiri.
Kesuksesan dan kemenangan tak pernah terlepas dari usaha dan perjuangan.
Tak sia-sia usaha yang dilakukan oleh Baskara semalam. Dia berhasil meyakinkan Client mereka untuk mempercayakan Proyek Ekspansi yang merupakan pengembangan dari proyek sebelumnya ke perusahaan mereka. Pak Tjandra mengacungkan jempol ke arah Baskara saat mereka baru saja selesai menandatangani nota kesepakatan untuk kerjasama lanjutan mereka.
“Habis ini, datang ke rumah, kita makan malam di rumahku untuk merayakan proyek baru ini,” kata Pak Tjandra sambil menepuk pundak Baskara.
Baskara menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas undangan bosnya.
=====
Baskara turun dari mobilnya. Dia tak mengenakan pakaian yang terlalu formal dan lebih casual. Bukankah ini acara makan malam, bukan kerja.
Saat dia memperhatikan sekelilingnya, dia sedikit heran. Kok nggak ada mobil-mobil rekan kerjanya yang lain, bukannya si Bos mau merayakannya di rumah?
“Mungkin mereka belum datang,” kata Baskara dalam hati.
Baskara pun berjalan menuju ke pintu rumah. Ini bukan kali pertama dia ke rumah bosnya. Sekalipun tak bisa dianggap sering, tapi dia tak asing dengan rumah ini. Seringkali Pak Tjandra menyuruh Baskara menemuinya di rumah, saat ada kerjaan urgent dan si Bos tak masuk kantor.
“Om Basssss…”
Tiba-tiba terdengar teriakan riang seorang anak kecil. Suara Irene, anak tunggal Pak Tjandra.
“Sini gendong,” kata Baskara sambil membuka kedua tangannya dan dengan cepat, Irene masuk ke dalam pelukan Baskara. Baskara pun menggendong gadis kecil berusia empat tahun itu.
Irene adalah seorang putri. Bagi Pak Tjandra, Irene adalah sosok paling penting di dunia ini. Dia sering mengajak Irene ke kantor saat bekerja dan tentu saja, karyawan yang paling diakrabi oleh sang Putri adalah Baskara.
“Om Bas, sudah ditunggu sama Papi,” kata Irene.
“Hu um,” kata Baskara sambil mencium kening Irene yang ada dalam gendongannya. Irene pun tertawa senang.
Beberapa menit kemudian, Baskara sudah sampai di meja makan. Dia hanya melihat tiga orang disana. Pak Tjandra, Bu Tjandra dan seorang asisten rumah tangga yang sedang menyiapkan hidangan di atas meja.
Melihat Irene yang ada dalam gendongan Baskara, Pak Tjandra tertawa, “Turun Sayang, kasihan Om Bas, Sayang kan sudah besar.”
Irene terlihat tak suka tapi dia tetap turun dari gendongan Baskara. Baskara lalu duduk di meja makan, “Saya pikir sama kawan-kawan yang lain Pak,” katanya.
“Tadinya gitu, tapi mungkin lain kali saja,” jawab Pak Tjandra, “Udah, langsung aja,” lanjut Pak Tjandra mempersilakan.
Baskara melirik sekilas ke arah Bu Tjandra lalu tersenyum sopan sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian, dia mengambil piring di depan meja dan mulai menikmati hidangan di depannya tanpa basi-basi.
Berbeda dengan Pak Tjandra atau Irene, Baskara hampir tak pernah berinteraksi dengan istri bossnya. Setiap kali bertemu, dia hanya menyapa dengan anggukan kepala, atau sepatah dua patah kata.
Jika orang berkata, uang adalah raja, maka Baskara bisa menggunakan Bu Tjandra sebagai contohnya.
Bu Tjandra adalah seorang wanita yang cantik. Wajah, postur tubuh dan perilakunya nyaris sempurna untuk seorang wanita di mata Baskara. Mungkin itulah yang dimaksud oleh Pak Tjandra dengan kata-kata ‘istri terbaik dari keluarga yang terbaik’.
Makan malam mereka pun berakhir lebih banyak dalam diam. Hanya sesekali Irene yang berteriak meminta dilayani dan diambilkan sesuatu.
Setengah jam kemudian, Baskara dan Pak Tjandra menikmati kopi dan cemilan di kursi santai pinggir kolam renang belakang rumah. Sekalipun ini malam hari, tapi cuacanya gerah. Irene berenang ditemani oleh pengasuhnya.