Lembur, part 3

1844 Kata
“Bas…” panggil Pak Tjandra. Baskara menolehkan kepalanya ke samping. “Aku susah mau ngomong ini Bas, tapi gimana lagi…” kata Pak Tjandra terlihat ragu-ragu. “Ngomong apa Pak?” tanya Baskara. “Aku butuh bantuanmu, Bas,” kata Pak Tjandra. Baskara mengrenyitkan dahi. Nggak biasa-biasanya si Bos kek gini. Kan dia anak buah Pak Tjandra, biasanya juga main suruh nggak perlu pake nanya duluan. “Kalau memang saya bisa bantu, saya pasti bantu, Pak,” jawab Baskara diplomatis. Pak Tjandra menarik napas dalam-dalam. Dia lalu menolehkan kepalanya dan melihat ke arah Irene yang asyik bermain air bersama pengasuhnya. “Irene itu spesial, Bas,” kata Pak Tjandra tiba-tiba mengalihkan topik. Baskara bingung tapi dia memilih untuk diam. “Dulu, aku bingung. Kupikir Irene itu agak rewel. Setiap kali sama pengasuh baru atau orang baru, dia sering nangis dan rewel. Tapi lama kelamaan aku perhatikan, semua itu ada alasannya.” “Itu karena Irene peka. Dia peka terhadap orang-orang di sekitarnya. Saat kecil, ketika ada orang yang memiliki niat tak baik ke keluarga kami, secara naluriah, Irene pasti rewel. Kalau sekarang tentunya agak beda, dia akan bilang ‘Irene benci orang itu Papi’ tanpa alasan jelas.” “Memang tak masuk akal, tapi aku percaya sepenuhnya dengan intuisi Irene,” kata Pak Tjandra. “Dan…” “Bagi Irene untuk bisa dekat dengan seseorang selain aku dan Mami-nya. Itu luar biasa.” “Itu sebenarnya alasan utama aku sering mengajak Irene ke kantor.” “Hahahahahahahaha.” “Jadi Bapak menggunakan kemampuan Irene sebagai detector karyawan yang tidak baik begitu?” tanya Baskara sambil menggaruk-garuk kepalanya setelah mendengar penjelasan Pak Tjandra. “Hei, jangan buruk sangka. Justru itu sebenarnya aku gunakan untuk mengetes kemampuan Irene. Setiap kali dia menemukan target, aku tak serta merta percaya. Aku selidiki dulu semuanya dengan lebih dalam dan detail. Baru setelah mendapatkan bukti yang jelas, aku berani mengambil tindakan ke karyawan tersebut. Kau sendiri kan tahu, aku tak bisa memecat seseorang tanpa alasan,” bantah Pak Tjandra. “Dan tahukah kamu, intuisi Irene 100% akurat,” lanjutnya dengan senyuman bangga. Baskara hanya tersenyum kecut. Dia masih ingat kejadian itu. Awal-awal Pak Tjandra mengajak Irene ke kantor. Masa-masa itu dikenal oleh orang-orang di kantornya sebagai ‘sweeping’. Satu persatu karyawan nakal yang menggelapkan dana perusahaan dibantai oleh Pak Tjandra. Banyak rekan-rekan sekantor yang saling mencurigai satu sama lain dan saling tak percaya. Mereka merasa, pasti ada mata-mata yang memberikan informasi ke Pak Tjandra. Tapi ternyata semuanya salah besar, Pak Tjandra hanya memanfaatkan putri semata wayangnya saja. “Bas… Aku tahu kamu orang baik. Irene sudah membuktikannya. Aku juga sudah memperhatikanmu selama beberapa bulan belakangan ini,” kata Pak Tjandra. “Aku butuh bantuanmu, Bas.” Baskara diam. Pak Tjandra juga diam. Setelah mereka berdua saling terdiam selama beberapa menit, Pak Tjandra akhirnya membuka mulutnya lagi, “Aku sudah tua, Bas. Aku tak seperti dulu lagi.” “Aku menikah di usia 49 tahun, istriku saat itu berumur 21 tahun. Lima tahun kami menikah, Irene hadir di tengah-tengah kami. Kini Irene sudah berumur 4 tahun. Tahun depan, umurku kepala enam, Bas.” “Istriku…” “Dia…” “Dia, wanita yang sedang mekar-mekarnya.” “Aku sudah tak bisa, Bas.” Mendengar kata-kata Pak Tjandra yang semakin menjurus, telinga Baskara memerah. Dia mulai bisa menebak kemana arah pembicaraan ini. “Kau tahu kan sekarang maksudku?” tanya Pak Tjandra sambil melihat ke arah Baskara dengan tatapan memohon. “Saya tak bisa, Pak. Ini… Ini terlalu nyeleneh untuk saya. Saya ndak bakalan punya muka lagi untuk kerja di perusahaan Bapak,” tolak Baskara. “Bas… Justru itu… Aku tahu kalau kamu sama sekali tak pernah berpikiran ke arah sana. Mungkin kalau aku menawari kawan-kawanmu yang lain, mereka akan setuju dengan senang hati tanpa berpikir dua kali,” kata Pak Tjandra sambil tersenyum. ===== “Matiin lampunya ya, Beb?” bisik Pak Tjandra ke arah istrinya yang terlihat sedang mengulum kemaluan suaminya. “Tumben sih, Ko?” tanya Bu Tjandra sedikit heran. “Ndak pa-pa, sekali-sekali nyoba yang beda,” jawab Pak Tjandra. “Iya,” Bu Tjandra menganggukkan kepalanya. Pak Tjandra pun berdiri dan menuju ke arah jendela kamar dan menutup tirainya rapat-rapat. Setelah itu dia berjalan dan mematikan sakelar lampu di dekat pintu. Ruangan seketika menjadi gelap gulita. Pak Tjandra lalu berjingkat dan membuka pintu kamarnya. Di depan kamar, Baskara berdiri dengan tubuh gemetar karena gugup. Saat Baskara melihat Pak Tjandra keluar dari kamarnya dalam keadaan telanjang bulat, dia kaget. Pak Tjandra memberi isyarat agar Baskara masuk ke kamar. Baskara ragu-ragu dan berdiri kaku. Pak Tjandra mendelik ke arah Baskara dan akhirnya Baskara pun masuk ke dalam kamar diiringi tatapan mata Pak Tjandra. “Ko, kok lama sih?” bisik Bu Tjandra. “Mhhhhhh…” Sesaat kemudian, Bu Tjandra hanya bisa mendesah. Mahkotanya tiba-tiba saja dijilat oleh seseorang. Bu Tjandra menggelinjang kegelian ketika tiba-tiba sebuah lidah menusuk masuk ke sela-sela klitorisnya. Reflek, pantatnya terangkat ke atas dan menekan mahkotanya ke wajah sang suami yang masih asyik menjilati miliknya. “Koooooo…. Enak Koooooo… Yang dalem jilatinnyaaa…” Bu Tjandra mulai meracau tak karuan. Baskara yang tadinya sempat gugup karena takut ketahuan oleh Bu Tjandra, menjadi sedikit tenang setelah mendengar teriakan Bu Tjandra. Wanita seksi itu tak curiga kalau bukan suaminya yang sekarang menikmati mahkotanya. Wangi. Baskara suka sekali. Mahkota ini wangi, lebih wangi dibandingkan wanita-wanita BO yang sering dia sewa untuk melampiaskan nafsunya. Dan tentunya jauh lebih terawat dan bersih. “Kooooo… Udah ya? Please?? Masukin aja Kooo,” rengek Bu Tjandra. Baskara tak menuruti kemauan wanita yang sedang dia nikmati itu. Semua kegugupan dan ketakutan yang tadi melanda Baskara, kini sudah hilang tergantikan nafsu lelaki yang membara. Dia tak ingin semuanya ini cepat berakhir. Baskara lalu pelan-pelan merangkak naik dan menciumi tubuh Bu Tjandra. Dari paha, naik ke perut, d**a, leher, dan akhirnya berhenti di bibir. Baskara paling suka mencium bibir dan saling mengulum lidah. Entah kenapa, dia merasa intim sekali saat melakukan itu, sekalipun dia melakukannya dengan pelacurr. “Mhhhhhhh…” Bu Tjandra terlambat bereaksi ketika Baskara mengulum bibirnya, tapi hanya untuk sesaat. Tak lama kemudian, dia membalas dengan lebih ganas dibandingkan serangan Baskara. Baskara tak kalah bernafsu, dia membuka bibirnya dan menjulurkan lidahnya masuk ke dalam rongga mulut mungil milik Bu Tjandra. Saat itulah, Bu Tjandra mencium aroma yang berbeda. Rokok. Suaminya tak merokok. Tubuh Bu Tjandra menjadi diam dan kaku. Baskara tak menyadari gerakan tiba-tiba Bu Tjandra, dia masih tetap asyik mengulum bibir Bu Tjandra dan menggunakan lidahnya untuk menjelajahi rongga mulut Bu Tjandra penuh nafsu. Selama beberapa detik tak mendapatkan balasan, akhirnya Baskara sadar. Wanita yang ada di bawah tubuhnya diam tak bereaksi. “Bas?” Sebuah bisikan pelan dan hanya satu kata tapi meruntuhkan semuanya yang ada di dalam kepala Baskara. Nafas Baskara dan Bu Tjandra masih tersengal-sengal karena pengaruh birahi yang belum sepenuhnya mereda. Tapi mereka berdua sama-sama terdiam dengan posisi tubuh saling menindih. Baskara sama sekali tak berani bergerak. Sekalipun miliknya masih tegak berdiri dan menempel ke paha Bu Tjandra yang mulus. “Namaku Nadine…” bisik Bu Tjandra. Baskara diam. “Aku tak mau dipanggil Sayang, Beb, Honey, atau sebutan lain. Aku mau dipanggil Nadine.” Baskara mendekatkan kepalanya dan berbisik pelan di telinga Nadine, “Nadine…” Tubuh Nadine bergetar. Suara itu, aroma rokok yang menyertainya, otot tubuh yang jauh lebih keras dari tubuh tua suaminya, dia kini yakin sepenuhnya. Tangan Nadine yang tadinya diam, kini memeluk punggung Baskara dengan erat. Pahanya yang tadi sedikit merapat, kini terbuka lebar. Dia bergeser sedikit agar posisi Baskara yang tadi agak ke samping saat menindih tubuhnya kini benar-benar pas di atasnya dengan posisi tombak yang tak lagi di paha tapi tepat ke mahkota miliknya. Tangan kanan Nadine bergerak keatas, ke arah leher Baskara lalu menekan kepala Baskara ke bawah mendekat ke arah wajah Nadine. “Masukkan punyamu ke tubuhku Bas. Mulai sekarang, mulai malam ini, Nadine milikmu.” Tubuh Baskara bagai tersengat listrik ketika mendengar kata-kata Nadine. Itu tantangan, sekaligus pengakuan. Laki-laki mana yang tak akan bangga saat seorang wanita mengakui kalau dia miliknya. Wanita secantik dan sesempurna Nadine. Baskara tak peduli lagi. Tak ada lagi nama Pak Tjandra dikepalanya. Dia bergerak turun dan memposisikan miliknya agar pas di mahkota Nadina yang merekah sempurna. Dengan gerakan ayunan pelan, perlahan-lahan, tubuh Baskara masuk ke dalam tubuh Nadine dan mereka bersatu. Nadine menggigit bibirnya dan memejamkan matanya. Suara dengusan napas tertahan keluar dari mulutnya dengan bau napas yang wangi. Sekalipun gelap gulita, Baskara bisa menebak ekspresi wajah Nadine sekarang dari desah napasnya yang tertahan. Dia menundukkan kepalanya dan membuka bibir Nadine dengan bibirnya. Nadine tak melawan dan membiarkan rongga mulutnya terbuka. Sesaat kemudian, lidah Baskara masuk menyerang ke rongga mulutnya, seperti tadi. Tapi kali ini, lebih ganas dan bernafsu. Nadine mengimbanginya. Dia memainkan lidahnya saling melumat dengan lidah Baskara. “Mhhhhhhhh,” tiba-tiba Nadine menggigit bibir Baskara. “Hah hah hah hah hah,” nafas Nadine tesengal-sengal. Sedetik kemudian, mereka berdua saling melepaskan ciuman. “Sakit?” tanya Nadine. “Nggak,” jawab Baskara. “Salah sendiri,” sungut Nadine. “Kok?” protes Baskara, tapi dia hanya pura-pura, dia jelas tahu sebabnya. Dia benar-benar tak tahan tadi. Saat mereka berdua saling mengulum lidah, nafsunya memuncak. Dengan sekali sentak, miliknya yang tadi baru masuk sedikit di bagian ujung, melesak ke dalam tubuh Nadine sempurna. Akibatnya, Nadine menggigit bibir Baskara. “Diem dulu ya, Bas,” bisik Nadine. “Napa?” tanya Baskara. “Nadine pengen nikmati momen ini dulu. Ini pertama kalinya kita jadi satu kan?” jawab Nadine. Baskara tersenyum dalam kegelapan. Melupakan sedikit perih di bibirnya, dia menunduk dan mencium kening Nadine yang ada di bawahnya. Nadine memejamkan matanya. Perlahan-lahan, pantatnya bergerak memutar. Membuat Baskara merasakan nikmat luar biasa dari miliknya yang terbenam di dalam tubuh Nadine. “Mhhhhhh…” Nadine mendesah keenakan. Napas Baskara tersengal-sengal. Dia sebenarnya sudah tak tahan. Semua pengalaman aneh yang dilaluinya malam ini, benar-benar membuat birahinya tak terkendali. Baskara lalu duduk bersimpuh dengan kedua lututnya, dengan mudah dia mengangkat Nadine yang terbaring di kasur lalu memangkunya. Semuanya dia lakukan dalam keadaan tubuh mereka berdua masih menjadi satu. “Aaaahhhhhhh,” Nadine mengerang ketika Baskara memegang pinggangnya yang ramping, mengangkat tubuhnya ke atas lalu menekannya ke bawah, tepat ke arah milik Baskara yang sudah tegak menunggu. “Nadine, aku pengen pipis,” bisik Baskara. “Hu um,” jawab Nadine. Tangan Nadine lalu melingkar di belakang leher Baskara. Tubuhnya condong ke depan dan kakinya bertumpu di atas kedua lututnya. Dia menarik leher Baskara agar kepala Baskara terbenam di kedua payudaranya. Setelah itu, Nadine mulai bergerak binal. Dengan kedua lutut sebagai tumpuan. Dia bergerak naik turun dengan cepat. “Basssssss….” “Nadineeee….” Nadine melenguh panjang sambil mendekap kepala Baskara kuat. Tubuhnya turun ke bawah dengan cepat, membuat Baskara masuk sempurna ke dalam tubuh Nadine hingga tubuh mereka saling berhimpitan erat. Tubuh Nadine mengejang pelan disertai napas yang tak beraturan. Beberapa detik kemudian, Nadine terkulai lemas sambil memeluk Baskara yang memangkunya. Dalam kegelapan kamar tanpa penerangan itu, Nadine dan Baskara sama-sama terdiam, tapi mereka berdua tahu, ini adalah permulaan dari petualangan panjang yang akan mereka lalui setelah ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN