Rianna memandang lembar jadwal kerja di tangannya untuk satu bulan ke depan. Selain jadwal menjadi asisten Dokter Akara, sisanya ia memiliki jadwal kerja malam. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. "Hanna, Mama harus apa?" Tanyanya pada diri sendiri.
"Ada masalah?"
Rianna menoleh dan menatap Yunita, perawat baru yang sama-sama baru masuk dengannya. Ia tersenyum kecil dan menggelengkan kepala. "Gak." Jawabnya.
Meskipun profesi sebagai seorang perawat mengharuskannya bisa mudah bergaul. Faktanya, Rianna adalah orang yang pilih-pilih dalam mencari teman. Keramahannya hanya ia berikan pada pasiennya saja. Sementara diluar itu, ia sudah biasa mendengar orang memanggilnya jutek atau gadis berparas kecut.
Bukannya Rianna tak ingin punya banyak teman. Hanya saja, posisinya sebagai seorang anak yatim piatu seringkali dijadikan bahan diskriminasi oleh orang-orang. Jadi sebelum ia mendapatkan perlakuan tak menyenangkan, terlebih rasa dikasihani, lebih baik ia menjaga jarak sejak dini.
"Besok, kalian sudah bekerja sesuai dengan jadwal yang ada di kertas yang saat ini kalian pegang." Suara kepala perawat membuat Rianna kembali mendongakkan kepala. "Saya harap kalian mengerti." Ucapnya lagi dan Rianna turut mengangguk.
Semua perawat kemudian membubarkan diri. Namun sebelum Rianna keluar, bu Asyifa memanggilnya.
"Ya, Bu?" Rianna memandang kepala perawatnya dengan tatapan ingin tahu.
"Saya hanya ingin memperingatkan, bahwa kamu akan bekerja dengan dokter yang katakanlah teramat perfeksionis di rumah sakit ini." Ucap bu Asyifa tanpa basa-basi. "Dokter Akara itu dokter bedah jantung terbaik di rumah sakit ini. Keberadaannya sangatlah penting dan kehandalannya memang tidak diragukan lagi. Saya tidak ingin mengatakan ini, tapi memang beliau merupakan anak mas di rumah sakit ini. Dan saya ingin memberitahu kamu kalau bekerja dengan beliau tidaklah mudah."
Rianna mengerutkan dahinya tak mengerti. Ia tahu, setiap dokter memiliki karakter mereka sendiri. Dan selama dua tahun bekerja sebagai perawat, dia berusaha sebaik mungkin menjadi kolega yang baik untuk mereka.
"Begini, saya tidak ingin membebani kamu apalagi menakut-nakuti. Tapi sampai sejauh ini, memang sudah banyak perawat yang minta dipindahtugaskan dan bahkan mengundurkan diri karena sikap dokter Akara. Terlebih perawat perempuan."
"Maksudnya?"
"Maksud saya, ini bukan pekerjaan yang mudah. Tapi mendengar karaktermu dari atasanmu sebelumnya, saya akhirnya memercayakan tugas ini buat kamu. Berharap kamu tidak akan menyerah di tengah tugas." Lanjut bu Asyifa lagi. "Saya melihat kamu memiliki kepribadian yang tegas. Itulah yang saya suka. Dokter Akara tidak suka pada perempuan yang suka tebar pesona. Dia tidak suka jika ada orang yang mengulik masalah pribadinya. Selebihya nanti kamu akan tahu seperti apa karakternya. Saat ini dia sudah memiliki asisten pria yang bertahan cukup lama dengannya. Tapi kamu tahu sendiri, tidak sedikit juga pasien wanita yang datang pada ahli jantung. Dan sebagian dari mereka suka dirawat oleh sesama perempuan. Jadi mau tak mau perawat perempuan itu dibutuhkan.
Intinya, saya harap kamu bisa bersabar dengan karakter dokter Akara. Kamu mengerti maksud saya?"
Rianna memandang Suster Asyifa. Sudut mulutnya terangkat sebelum kemudian mengangguk. "Jadi intinya, beliau itu memiliki antipati terhadap perempuan?" Tanya Rianna lagi.
Suster Asyifa mengangguk. "Beliau pria yang ramah sebenarnya. Sopan juga. Hanya saja, jangan usik kehidupan pribadinya. Selain itu, kau akan baik-baik saja bekerja dengannya."
Rianna kembali tersenyum dan mengangguk. Setelah yakin Rianna mengerti penjelasannya, ia menginjinkan Rianna untuk meninggalkan ruangannya.
Rianna kembali ke kontrakannya dengan harapan Bu Hanum tak keberatan jika ia akan sering meninggalkan Hanna padanya.
*****
Akara meletakkan jarum hecting nya. Suara dentingan jarum lengkung di atas nampan stainless menandakan bahwa operasinya sudah selesai. Ia memandang asistennya dan menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia memberikan tugas akhir padanya. Setelahnya ia berjalan meninggalkan ruangan. Membuka sarung tangan bedahnya dan membuangnya pada tempat sampah yang ada di luar ruang operasi beserta apron medis, masker dan tutup kepalanya yang ia kenakan diluar seragam scrub nya. Sudah seharusnya pakaian operasi dibuang setelah operasi selesai dilakukan sebelum ia keluar menuju ruangan umum lainnya.
Dengan langkah lelah dan pundak yang pegal, ia berjalan menuju luar ruang operasi untuk memberitahukan keadaan pasien pada keluarga yang sedang menunggu kabar darinya dengan wajah cemas. Dan sesungguhnya, merubah kecemasan itu menjadi binar bahagia adalah salah satu kebanggaan tersendiri untuknya.
Waktu menunjukkan pukul tiga pagi saat ia kembali ke ruangannya. Beberapa jam selanjutnya, dia harus mengisi jadwal pagi di rumah sakit yang sama. Sementara pulang ke rumah atau apartemennya pun tidak memungkinkan lagi untuknya. Alhasil Akara memilih untuk berbaring di ranjang pasien yang ada di ruangannya setelah ia mengunci diri dari dalam.
Alarm ponselnya berdering kencang. Dengan kuap lebar, Akara bangkit dari tidur pendeknya dan meraih ponselnya. Pukul lima pagi. Dengan kantuk yang masih menggodanya untuk kembali terlelap, ia akhirnya bangkit. Berjalan menuju kamar mandi yang juga ada di dalam ruangannya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian baru yang masih bersih yang selalu ia letakkan di loker di ruangannya. Setelahnya ia berjalan meninggalkan ruangannya menuju masjid yang letaknya masih berada di area rumah sakit. Ya, Akara harus menunaikan sholat subuhnya. Meskipun tak bisa ia lakukan secara berjamaah, maksimal ia tidak melewatkannya.
Pukul enam pagi ia memutuskan untuk mencari sarapan dan dua jam setelahnya ia kembali mengurung diri di ruangannya sambil membaca jurnal medis yang baru saja didapatnya dari hasil seminar yang diikutinya.
Suara ketukan pintu membuat Akara mendongakkan kepala. "Selamat pagi, Dokter tampan." Sapa Raffi dengan kehangatan yang membuat Akara mengangkat sebelah alisnya. Ada dua hal yang membuat asistennya itu kegirangan. Satu, makanan enak dan kedua, wanita cantik. Dan karena mereka tidak sedang menyediakan makanan apapun, otomatis hal yang kedua lah yang membuat pria itu tersenyum seperti itu.
Akara menutup jurnalnya dan menyandarkan punggungnya pada punggung kursi. Matanya tak beralih dari Raffi yang masih saja cengar cengir sendiri. "Pagi." Jawab Akara datar.
"Bagaimana operasi Anda semalam?" Tanya pria itu lagi, masih dengan cengirannya.
"Alhamdulillah, lancar." Jawab Akara lagi. Karena memang Raffi tidak mendampinginya semalam, jadi itu pertanyaan yang wajar untuk diajukan. Tapi tetap saja, cengirannya membuat Akara curiga.
"Jadi, Anda sudah bertemu dengan suster Rian?" Tanya Raffi lagi.
Akara mengerutkan dahinya. Suster Rian? Perawat yang akan menggantikan suster Selma? "Belum." Jawabnya datar. Apa itu yang menjadi alasan Raffi cengar-cengir? Tapi Rian laki-laki kan?
"Jadi, dia belum datang kesini." Itu jelas bukan pertanyaan lagi. "Saya harap, kali ini Anda bisa bekerja sama dengan baik, Dok." Ucapnya, lebih terdengar seperti permohonan di telinga Akara.
"Memangnya aku selalu membuat masalah dengan perawat-perawat sebelumnya?" Tanya Akara ketus.
Mendengar Akara bertanya seperti itu, Raffi memilih mengunci mulutnya. Masih terlalu dini untuk membuat Akara marah. Jam kerja mereka masih akan bertahan selama delapan jam kemudian. Suara ketukan di pintu membuat keduanya menoleh bersamaan.
Sesosok wanita cantik, dengan tubuh tinggi semampai, rambut hitam yang disanggul rapi dengan seragam perawat berlogo rumah sakit mereka tampak berdiri di sana dan memandang Akara serta Raffi bergantian. Tidak seperti perawat sebelum-sebelumnya yang memberikan senyum manisnya kala bertemu Akara, perawat tersebut hanya memandangnya dengan tatapan yang datar namun sarat dengan aura tegas.
"Pagi." Sapanya dengan sopan.
"Pagi." Jawab Raffi dengan keramahan yang berlebihan. Baiklah, pikir Akara. Inilah alasan kenapa asistennya itu tersenyum lebar sejak tadi. "Suster Rian?" Tanyanya lagi.
Perawat yang masih berdiri di ambang pintu itu mengangguk seraya tersenyum sopan. "Iya. Saya Rianna." Ucapnya memperkenalkan diri. Tangannya terulur sebagai bentuk perkenalan resmi, dengan antusias, Raffi menyambutnya. "Dokter Akara?" Tanya Rianna bingung. Matanya memandang Raffi dan Akara bergantian.
Raffi menggelengkan kepala. "Saya Raffi, Dokter Raffi. Saya belum menjadi dokter spesialis, namun saya sedang mempelajari spesialis jantung dari beliau. Saya asisten Dokter Akara." Cerocos Raffi tanpa sedikitpun menyembunyikan kekagumannya. Mendengar ocehan itu, sedikit membuat sudut mulut Rianna berkedut. Jelas sekali perempuan di hadapan mereka sedang berusaha menahan senyum. Berbeda dengan ekspresi Akara yang malah memutar bola mata.
Rian? Rianna? Sial sekali dia, dipikirnya dia akan mendapatkan perawat laki-laki, ternyata malah kembali mendapatkan perawat perempuan. "Beliau inj Dokter Akara." Ucap Raffi memperkenalkan. Uluran tangan berkulit putih berjemari lentik itu kini berpindah ke hadapan Akara.
"Pagi, Dokter. Saya Rianna. Perawat yang ditugaskan menjadi asisten Anda." Ucapnya dengan nada tegas.
Akara menyambut uluran tangan itu dan merasakan genggaman kuat dan tegas dari si pemilik tangan. Percaya diri, itulah pikiran pertama yang terlintas di benak Akara.
"Suster Rian." Raffi kembali memanggil nama perawat itu. Rianna menoleh dan memusatkan perhatiannya pada Raffi. "Biar saya jelaskan cara kerja kami di poli jantung." Ucap pria itu dan kemudian membimbing Rianna menuju meja kerja perawat yang berada tepat di seberang ruang kerja Akara. Hampir sepuluh menit kemudian, pria itu kembali. Masih dengan wajah sumringah dan senyum yang tak pudar dari wajahnya. "Cantik, putih, menawan dan jelas cerdas. Benar-benar sosok wanita idaman." Ucapnya dengan penuh kekaguman.
Akara memandang pria yang usianya lebih muda darinya itu dengan sebelah alis terangkat. "Kau mengatakan itu pada suster Selma saat pertama kali dia datang kesini." Ucapnya mengingatkan.
Raffi memandang Akara dengan dahi berkerut. Atasannya memang sedikit skeptis jika berurusan dengan makhluk berjenis kelamin perempuan. Membuat Raffi heran sendiri dan kadang bertanya apa mungkin Dokter Akara nya ini memiliki kelainan seksual. Tapi lantas ia menggelengkan kepala. Menolak pikirannya sendiri. Akara jelas pria normal, hanya saja dia tidak menyukai perempuan. Tidak semua perempuan, hanya perempuan dengan karakteristik tertentu.
Raffi mengangkat sudut mulutnya dan tanpa sadar terkekeh. Dalam benaknya, ia membayangkan seperti apa Akara saat pria itu menemukan pujaan hatinya. Raffi yakin, pria yang tidak pernah jatuh cinta sebelumnya, akan menjadi bucin pada akhirnya.
_______________________________________________
Jangan lupa komen
TBC