8

1158 Kata
Ponsel Akara berdering pada menit-menit selesainya jam istirahat. Ia yang masih berada di masjid rumah sakit merogoh saku dan melihat nomor ibunya di layar persegi tersebut. "Assalamualaikum, Ma." Salamnya. "Waalaikumsalam, A. Aa masih di rumah sakit?" Tanya ibunya dengan suara cemas. "Masih, Ma. Kenapa?" "Mama sama Oma lagi di perjalanan. Mama barusan bujuk Oma supaya mau periksa dan kebetulan Oma mau. Kalo misalkan Mama ke rumah sakit sekarang, bisa?" Lanjut ibunya lagi. Selalu dengan nadanya yang lemah lembut. Akara mengerti maksud perkataan ibunya. Bukan bermaksud ingin di spesialkan. Tapi memang mengingat neneknya yang sudah lanjut usia dan pikirannya yang mudah berubah, jika dibiarkan mengantri cukup lama, pada akhirnya, neneknya itu akan memilih untuk pulang tanpa sempat di periksa. "Mama sama Oma datang aja. Nanti Aa bilang sama perawatnya." Ucap Akara lagi. "Iya, Mama langsung kesana sekarang ya A." Ucap ibunya lagi. "Iya. Aa tunggu." Jawab Akara sebelum kemudian menutup telepon dengan salam. Ia menatap layar ponselnya, bermaksud untuk menghubungi Rianna untuk mengonfirmasi kedatangan ibu dan juga neneknya. Namun sialnya, ia lupa kalau ia tidak memiliki nomor ponsel perawat barunya itu. Akan lebih menjadi pertanyaan jika Akara menghubungi bagian administrasi. Akhirnya ia dengan bergegas memilih untuk segera keluar dari masjid dan mencari Rianna dengan harapan perawatnya itu beristirahat di area rumah sakit. Ia sedang berjalan menuju rak dimana sepatunya berada ketika ia melihat sosok wanita yang dicarinya. Gadis itu tengah duduk di tangga teratas teras masjid dengan ponsel di tangannya. Seragam putihnya tersembunyi dibalik cardigan rajut berwarna merah muda yang membuat kulit putihnya semakin bersinar di bawah sinar matahari. Dan wanita itu, tampak tengah tersenyum ke arah layar ponsel. Akara menduga dia sedang bercermin, tapi kemudian, sayup-sayup dia mendengar perawatnya itu bersuara. "Iya, Mama juga kangen sama Hanna." Ucapnya dengan begitu lembut. Mama? Jadi perawat barunya itu sudah menikah dan punya anak? Sebuah senyum seketika muncul di wajah Akara. "Iya, nanti pas pulang Mama bawain. Tapi Hanna jangan nakal. Jangan bikin Oma repot ya." Akara bukan berniat untuk menguping. Tapi memang dia ada maksud untuk berbicara dengan perawatnya. Alhasil dia duduk di tempat yang tak jauh dengan tempat Rianna duduk. Dengan harapan, setelah Rianna mematikan video call nya, dia bisa langsung mengatakan maksudnya. "Iya, Sayang. Mama kerja lagi ya. Dadah Hanna." Lalu wanita itu memberikan ciuman jauh untuk sang anak yang berada dikejauhan sana. "Suster Rian." Panggil Akara sesopan mungkin. Rianna yang baru saja hendak masuk ke bagian dalam masjid menahan langkahnya dan memandang langsung atasannya yang berdiri satu anak tangga di bawahnya. Namun karena tinggi badannya yang berada di atas Rianna, pria itu tampak sejajar dengannya. "Iya, Dok?" "Setelah makan siang, akan ada dua orang wanita yang datang ke poli kita. Namanya Bu Agisna dan Bu Karin. Mereka tidak ada di dalam daftar tunggu pasien, tapi tolong, langsung konfirmasikan kedatangan mereka pada saya dan tahan kedatangan pasien selanjutnya. Suster mengerti?" Tanya Akara dengan sopan. Rianna mencoba mengingat kedua nama yang atasannya itu sebutkan. Ia kemudian mengangguk sebagai jawaban. Akara tersenyum dan kemudian turut menganggukkan kepala sebelum berbalik badan dan meninggalkan area masjid. Rianna tertegun. Bagaimana tidak, sejak ia memperkenalkan diri sebagai perawat pria itu tadi pagi. Tak pernah sekalipun pria itu menatapnya dengan ramah. Apalagi tersenyum. Pria itu hanya bersikap sopan dan datar. Senyum dan keramahannya hanya ditujukan pada asisten dokternya, Raffi dan juga pasien yang mereka temui. Tapi sekarang? Apa yang membuat atasannya itu berubah seketika? Entahlah, Rianna tak ingin terlalu banyak berpikir meskipun ia masih merasa kebingungan. Yang pasti, dia hanya harus bekerja secara teliti dan sesuai dengan prosedur. Sepuluh menit kemudian. Ketika jam istirahat selesai, Rianna sudah kembali ke belakang mejanya dan bersiap bekerja. Sebelumnya dia menuliskan nama dua orang wanita yang tadi sempat disebut oleh dokter Akara. Masih ada beberapa pasien yang duduk dalam antrian. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga saat akhirnya Akara memandang Rianna dan bertanya. "Apa tidak ada wanita yang mencari saya?" Tanyanya setelah pasien keluar. Rianna memandang atasannya itu dan menggelengkan kepala. "Tidak ada, Dok." Jawab Rianna apa adanya. Akara mengerutkan dahi. Begitu juga dengan Raffi yang tampaknya malah tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Akara. "Anda menunggu seseorang, Dok?" Tanyanya bingung. Akara mengangguk mengiyakan. "Mama sama Oma bilang kalau mereka mau kesini sejak dua jam lalu." Ucapnya menjelaskan. Rianna yang mendengarnya turut mengerutkan dahi. Tadi ia sempat melihat sosok wanita yang ia duga merupakan ibu dan anak. Wajah wanita yang lebih muda itu memang tampak mirip dengan Akara. Tapi ia tidak menduga sampai sejauh itu kecuali semuanya hanya kebetulan. Rianna melihat Dokter Raffi yang berjalan meninggalkan ruangan. Ia lantas mengikutinya. Saat Dokter Raffi celingukan memandangi orang-orang yang duduk, tatapan Rianna tertuju pada dua wanita yang tadi terlintas dalam pikirannya. "Apa mungkin dua wanita itu, Dok." Tanyanya ragu pada Raffi. Raffi melihat arah yang ditunjuk oleh Rianna. Dua orang wanita berbeda usia yang ditunjuk Rianna itu tengah duduk bersisian dengan kedua tangan saling menggenggam. Keduanya tampak asyik mengobrol dengan orang asing yang Raffi duga adalah pasien. Raffi kembali menatap Rianna dan mengangguk. "Lanjut aja panggil pasien selanjutnya. Biar mereka saya yang handle." Perintah Raffi yang dijawab anggukan Rianna. Ia kembali ke mejanya dan mulai memanggil nama pasien yang ada dalam daftar. "Tante Gisna, Oma." Seketika Raffi mendekati keduanya yang mendongak kala dipanggil. "Raffi?" Wanita yang lebih muda itu tersenyum pada teman baik putranya itu. Raffi mengulurkan tangan dan mencium tangan kedua wanita itu bergantian. "Tante sama Oma ngapain disini?" Tanyanya dengan suara pelan. "Maksud Raffi, Dokter Aka udah nungguin tante sama Oma daritadi. Kenapa tante sama Oma nya malah disini?" "Oma yang minta." Jawab wanita yang lebih tua itu. Raffi mengernyit sekilas sebelum kemudian mengerti maksud Nyonya Karin dan kemana arah tatapan wanita lanjut usia itu. "Dia perawat baru, Oma. Namanya Rianna." Ucap Raffi kemudian. "Dia cantik, kan?" Godanya yang dibalas anggukan Nyonya Karin. "Tapi kali ini dia jatahnya Raffi, Oma." Lanjutnya, yang dibalas tatapan tajam Nyonya Karin. "Bukannya kamu itu ngeceng perawat yang sebelumnya? Kamu bilang dia cantik, ramah, pintar trus panjang yang lainnya?" Tegur Nyonya Karin yang seketika membuat wajah Raffi merah padam. "Itu masa lalu, Oma." Jawab Raffi malu-malu. Nyonya Agisna, menantu Nyonya Karin hanya tersenyum mendengarnya. "Udah deh Oma, Oma mendingan ngalah aja. Nungguin dokter Akara dapet jodoh itu sama aja kayak nungguin bebek melahirkan." Jawab Raffi seenaknya, yang dibalas Nyonya Karin dengan pukulan keras di lengannya. Sehingga mau tak mau Raffi mengaduh. "Jadi kamu ngedoain supaya cucu Oma itu jomblo seumur hidup, begitu?" Raffi nyengir. "Lagian, cucu Oma nya sendiri yang maunya begitu. Sampe Raffi sendiri heran, bahkan sesekali Raffi tanya sama diri Raffi sendiri," ucapnya seraya mendekat dan berbisik di telinga Nyonya Karin. "Raffi sering tanya sama diri Raffi sendiri, apa Dokter Akara itu normal?" Bisiknya yang kembali dihadiahi cubitan keras. "Bu Karin? Bu Agisna?" Rianna memanggil kedua wanita itu dengan sopan. Tiga pasang mata langsung menatap ke arahnya. "Panggil saja Oma." Ralat Nyonya Karin. Rianna memandang Raffi yang kemudian menjawab pertanyaan tanpa suaranya dengan anggukan. __________________________________ Panggil aja Oma,, kalo aq panggil aja Mimin,, Jangan lupa tap ♥️ ya,, melipir juga ke Carina sama Meyra
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN