Bab 2. Pria Bermata Elang

1277 Kata
“Gini nih, contoh manusia yang nafsunya lebih gede daripada rasa malunya. Belum ada dua minggu jadi duda udah gelar pesta pernikahan aja.” Bianca menggerutu kesal. Jempolnya bergulir di atas layar ponsel yang menampilkan foto-foto pernikahan mantan suaminya dan selingkuhannya yang diunggah ke media sosial. “Yang cewek juga herannya mau-mau aja. Padahal kayak gitu malah jadi kelihatan kalau mereka udah ada hubungan dari sebelum cerai kan?” Zita yang sedang rebahan di sebelahnya ikut berkomentar. Hening sejenak, keduanya sama-sama sibuk dengan ponsel masing-masing. Hingga tiba-tiba, Bianca beranjak dari tidurnya lalu melempar ponselnya kesal. “Lo mau ke mana?” tanya Zita. “Pergi.” “Ya pergi ke mana, Bianca?” “Harmoni paling. Nggak tahu, kepala gue penuh banget.” Bianca masuk ke kamar mandi, mengganti pakaiannya. “Lo mau mabok, Bi?” Zita ikut bangkit, menyusul sahabatnya. “Gue butuh alkohol buat ringanin kepala gue, Zi,” seru Bianca dari dalam kamar mandi. “Jangan gila, Bianca! Besok lo ada interview kerja,” ujar Zita mengingatkan. Sejak diusir dari rumah Rey, Bianca memang aktif memasukkan lamaran kerja ke perusahaan-perusahaan. Beberapa di antaranya memberikan penolakan. Namun tak sedikit juga yang menawarkan interview lanjutan. Seperti yang satu ini, tawaran interview datang dari perusahaan kosmetik tempat Zita bekerja. “Masih jam delapan kan interviewnya? Santai, gue jam dua belas malem paling udah balik. Nggak bakal lama,” sahut Bianca enteng. Ia keluar dari kamar mandi mengenakan mini dress hitam dengan dua tali spaghetti menggantung di bahunya. “Bukan masalah baliknya jam berapa, tapi masalah maboknya, Bianca.” Bianca tak menggubris. Ia terus bersiap-siap, memoles wajahnya dengan make up tipis yang semakin menonjolkan kecantikannya. “Atau lo mau ikut, Zi?” tawar Bianca sebelum memoleskan lipstik ke bibirnya. “Enggak, besok gue kerja.” Zita duduk di tepi ranjang, memperhatikan gerak-gerik Bianca. “Lo kalau sakit hati ngelihat pernikahan mantan suami lo, bukan gini caranya, Bi.” “Terus gimana?” tantang Bianca, kesal. “Lo buktikan kalau lo tetep bisa bahagia tanpa mantan suami lo yang laknat itu.” “Makanya gue sekarang mau berangkat ke Harmoni, Zita. Gue mau seneng-seneng di sana.” “Gimana cara lo seneng-seneng di sana? Tidur sama stranger?” cetus Zita yang emosinya mulai ikut terpancing. “Nah, bagus juga ide lo. Lagian gue mandul, tidur sama stranger nggak bakal bikin gue hamil,” celetuk Bianca asal. Zita mendengus, tapi ada rasa iba yang terbit di hatinya. “Terserah lo deh. Pokoknya besok lo nggak boleh telat. Gue nggak bisa nolongin lo buat diterima kerja di sana. Gue juga cuma staf, Bi.” Lagi-lagi Bianca tak merespons. Ia mengambil jaket kulit berwarna hitam dari lemari dan segera mengenakannya. “Gue berangkat dulu.” Ia berpamitan sekilas. Zita diam, namun ketika Bianca sudah mencapai pintu, ia berseru. “Telepon gue kalau ada apa-apa!” Bianca tersenyum. “Oke.” *** Wanita berparas cantik itu duduk di depan meja bartender, tersenyum menerima gelas ketiganya. Tubuhnya bergerak pelan mengikuti irama musik yang memekakkan telinga. Sejak datang tadi, ia belum turun ke lantai dansa. Bianca meneguk habis minumannya, tubuhnya mulai terasa memanas. Ia melepas jaket kulitnya, meletakkannya sembarangan di kursi. Bianca mulai turun ke lantai dansa. “Wuhuuuuu!” serunya bahagia. Melihat penampilannya malam ini, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa ia sebenarnya adalah seorang janda. Mini dress hitam yang membalut tubuhnya mampu menambah kesan seksi yang tidak berlebihan. Bianca mulai menari mengikuti irama musik yang dimainkan oleh seorang DJ lokal. Melepaskan beban yang beberapa pekan terakhir membuat tidurnya tak nyenyak. Melupakan sejenak luka batin akibat perceraiannya. Terhanyut dalam perasaan ringan dan senang sesaat, ditambah alunan musik yang sesuai selera, Bianca melupakan sekitarnya. Ia tak menyadari bahwa sejak kedatangannya tadi, ada sepasang mata yang terus mengawasinya dari balkon lantai dua. Sementara itu, seorang pria yang berdiri tak jauh dari Bianca terlihat mulai mendekati wanita itu. Pria itu menari mengikuti suara musik, tangannya terulur, menyentuh pinggang ramping Bianca. Bianca tak peduli, tubuhnya tetap bergoyang mengikuti irama. Instingnya tak lagi peka, dan itu membuat pria yang menari bersamanya menyeringai jahat. Dari balkon lantai dua, semua hal yang terjadi di lantai dansa tentu terlihat jelas. Termasuk tangan pria yang menari bersama Bianca mulai meraba di bagian tubuh tertentu milik wanita itu. Kalandra Alvandara, pria bermata elang yang sejak tadi tak melepaskan tatapannya dari Bianca mendengus kasar. “Dia emang nggak nyadar atau pura-pura nggak nyadar sih?” gerutunya kesal. Pria itu masih terus menatap ke bawah. Tangannya mencengkram kuat gelas berisi minuman memabukkan. Darahnya mulai terasa mendidih, efek dari minuman yang ia tenggak sekaligus rasa kesal melihat pemandangan di bawah sana. Kala menghabiskan minumannya dalam sekali teguk lantas mulai turun ke lantai dansa. Ia menyibak lautan manusia yang menggila bersama alunan musik yang semakin kencang. Mata elangnya masih terpaku pada wanita bergaun hitam pendek itu. Wajah tampan Kala seketika mengeras saat pria di samping Bianca hendak mencuri satu ciuman dari bibir wanita itu. Kala merangsek maju. “Minggir,” desisnya tajam. Pria yang masih menari di sisi Bianca itu mengernyit. “Siapa lo?” “Gue pacarnya, jadi lo minggir sekarang!” Entah ide dari mana, tiba-tiba Kala sudah mengaku-ngaku sebagai kekasih wanita yang sejak tadi menarik perhatiannya itu. Pria itu mendengus, kemudian berlalu pergi. Tiba-tiba, tawa Bianca meledak, membuat Kala menautkan alis bingung. “Lo udah mabuk? Atau udah gila?” tanya Kala heran. “Pacar?” Bianca tertawa. “Gue aja dicampakkan gimana mau punya pacar?” Kedua mata Kala membulat. “Really? Cewek kayak lo dicampakkan?” Bianca mengangguk, kemudian lanjut menari. Tak memedulikan kehadiran pria jangkuk dan tampan itu. Seruan Bianca semakin kencang. “Bego sih, laki-laki yang udah dapetin lo malah ninggalin lo gitu aja,” ujar Kala memberi komentar. Melihat Bianca menari membuat pria itu juga ingin menari. Ia mulai menggerakkan tubuhnya, tapi tetap waspada mengawasi wanita di hadapannya. Bianca berbalik, tersenyum mendapati Kala masih ada di belakangnya. Mereka menari berhadapan. Kala mengulurkan tangannya, menyentuh pinggang ramping wanita itu, persis seperti yang dilakukan pria tadi. Tapi bedanya, kali ini Bianca membalas dengan mengalungkan lengannya di leher Kala. Sebelah alis Kala terangkat melihat respons wanita itu. Tapi ia tersenyum, suka. Keduanya menari sembari saling melempar tatap. Sampai akhirnya, tidak ada yang tahu siapa yang memulai lebih dulu, kedua belah bibir mereka telah berpagut. Kala tersenyum di sela ciumannya, bibir Bianca terasa manis. Mungkin karena wanita itu habis minum minuman manis. Tubuh keduanya semakin merapat. Ciuman mereka semakin dalam dan panas. Namun pagutan mereka harus terlepas karena ada seseorang yang menabrak bahu Kala. “Ck, jangan di sini, lanjut nyewa kamar sana!” ucap seseorang yang barusan menabrak Kala. Tawa Kalandra terurai, tapi tidak dengan Bianca. Wanita itu justru menatap Kala intens, membuat sang pria menelan ludah gugup. “Haruskah kita menuruti nasehatnya?” bisik Bianca dengan tatapan yang semakin sayu. Kala menggigit bibir dalamnya, berusaha sekuat tenaga agar tidak tersenyum, saking senangnya. Kala memajukan tubuhnya, berbisik di telinga Bianca. “Gue bisa sewa private room di lantai paling atas, gimana?” “Then do it!” sahut Bianca enteng. Senyum di bibir Kala tak lagi bisa ditahan. Ia merengkuh pinggang Bianca, membawanya keluar dari lantai dansa. Keduanya bahkan sempat meneruskan ciuman mereka yang tadi sempat terputus. Seolah tak ingin atmosfer panas yang menggila di antara keduanya menguap. “Tapi gue nggak bawa pengaman,” ujar Kala sesaat sebelum membuka pintu private room. “Nggak masalah, gue nggak bakal hamil, kok. Gue mandul.” “Lo yakin?” Bianca mengangguk mantap kemudian kembali bergelayut manja di leher Kala, melanjutkan permainan panas mereka. Kala menerimanya dengan senang hati, tangan kirinya menyanggah tubuh Bianca yang bersandar padanya, sementara tangan kanannya mengunci rapat pintu kamar itu. Tak boleh ada yang mengganggunya malam ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN